Dalam aksi persatuan yang jarang terjadi, Dewan Keamanan PBB meminta "penilaian independen" dalam menangani Taliban di Afganistan dan mengatakan bahwa mereka butuh gagasan baru.
Iklan
Dewan Keamanan PBB mengakui bahwa mereka sudah kehabisan cara menghadapi pemerintahan Taliban di Afghanistan yang semakin berkuasa.
Pada hari Kamis (16/03), Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan rekomendasi independen tentang solusi memerangi tantangan-tantangan di negara tersebut, termasuk penindasan Taliban terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan di Afganistan.
"Para dewan tengah mengambil tanggapan yang begitu hati-hati dan terukur dengan para ahli dari luar dan pemikiran baru untuk mengatasi krisis sulit ini, dan pada dasarnya menyatakan bahwa pendekatan bisnis seperti biasa tidak cukup untuk Afganistan," kata Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) untuk PBB, Lana Nusseibeh.
UEA dan Jepang juga turut mensponsori resolusi tersebut, seraya meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk membentuk sebuah panel independen yang dibutuhkan untuk menilai situasi terkini di Afganistan.
"Afganistan telah berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan sejak Agustus 2021," kata Nusseibeh, sambil menambahkan, "harapan kami adalah bahwa penilaian itu akan memberikan saran yang kredibel tentang bagaimana berbagai aktor internasional dan regional yang relevan dapat bersatu pada visi bersama untuk negara itu, dan bagaimana kita dapat memajukan visi itu di Dewan Keamanan PBB."
Masalah dengan Taliban
Ketika pemerintahan Taliban merebut kekuasaan di Afganistan pada tahun 2021, banyak yang memperkirakan kelompok fundamentalis itu akan memerintah dengan cara yang berbeda kali ini.
Iklan
Taliban membuat beberapa pernyataan yang menjanjikan, di mana kelompok tersebut mengisyaratkan adanya perubahan. Namun, mereka justru secara bertahap menerapkan kembali interpretasi keras mereka terhadap hukum Islam atau Syariat Islam yang mereka percayai.
Anak perempuan di Afganistan kini dilarang untuk bersekolah setelah lulus dari kelas enam sekolah dasar. Kaum perempuan di sana juga dilarang dari sebagian besar pekerjaan atau pun aktivitas di ruang publik seperti taman dan pusat kebugaran. Selain itu, para perempuan Afganistan juga tidak diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa ditemani oleh seorang pria mahramnya dan diwajibkan untuk menutupi wajah mereka.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
Resolusi yang tengah dicanangkan itu juga akan mencantumkan sejumlah tantangan lain yang dihadapi Afganistan, termasuk situasi genting kemanusiaan yang begitu keji, masalah agama dan etnis minoritas, situasi keamanan dan aksi terorisme, produksi narkotika dan obat-obatan terlarang, kebutuhan sosial, ekonomi, dan pembangunan, serta mendorong adanya dialog untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan dan supremasi hukum di negara tersebut.
Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara, yang baru-baru ini terpecah-belah dalam sebuah isu lainnya termasuk permasalahan perang Ukraina, dengan suara bulatnya menginstruksikan Guterres untuk segera menyerahkan laporan kepada Dewan Keamanan PBB pada pertengahan November mendatang dengan "rekomendasi yang berwawasan ke depan dengan pendekatan yang terintegrasi dan terpadu bagi para aktor politik, kemanusiaan, dan pembangunan yang relevan, baik di dalam maupun di luar PBB."
Dalam sebuah resolusi terpisah, para dewan juga memperbarui Misi PBB di Afganistan (UNAMA) untuk satu tahun lagi.