1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEtiopia

PBB: Kekerasan Seksual Jadi Strategi Perang di Tigray

17 April 2021

PBB mengabarkan tindak kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan dijadikan senjata dalam perang di Tigray. Eritrea kembali didesak untuk menghentikan kekejaman dan menarik mundur pasukannya.

Pengungsi di Tigray
Pengungsi di TigrayFoto: Nariman El-Mofty/AP/picture alliance

Krisis kemanusiaan di wilayah Tigray, Etiopia, dengan cepat memburuk apabila pasukan Eritrea tidak ditarik mundur dari kawasan perbatasan tersebut.

Koordinator Bantuan PBB, Mark Lowcock, mengatakan di hadapan Dewan Keamanan, bahwa kekerasan seksual dan pemerkosaan dijadikan senjata di Tigray. Tidak sedikit perempuan yang melaporkan diri menjadi korban pemerkosaan massal selama berhari-hari.

Lowcock mengatakan pihaknya mengumpulkan laporan dan aduan korban dari berbagai wilayah di Tigray, kebanyakan dilakukan oleh pria berseragam tentara. Dia menambahkan korban perempuan paling muda masih berusia delapan tahun.

"Untuk lebih jelas, konflik belum berakhir dan situasinya tidak membaik,” kata dia di hadapan 15 anggota DK dalam sebuah pertemuan virtual tertutup.

Peta Tigray dan kawasan Amhara di utara Etiopia, berbatasan dengan Eritrea

Menurut PBB, sebanyak 4,5 dari 6 juta warga Tigray membutuhkan bantuan kemanusiaan. Setidaknya 91% populasi membutuhkan bantuan darurat bahan pangan dan obat-obatan.

Dia mengatakan pihaknya menerima aduan adanya kasus kelaparan baru awal pekan ini, ketika empat orang dinyatakan meninggal dunia akibat malnutrisi. Di distrik Ofla yang berada di selatan ibu kota Tigray, Mekelle, sudah sebanyak 150 penduduk dilaporkan tewas akibat kelaparan.

"Ini seharusnya menjadi bel alarm buat kita semua,” tutur Lowcock. "Laporan ini menggambarkan apa yang akan terjadi jika kita berdiam diri. Kelaparan sebagai senjata perang adalah pelanggaran HAM berat.”

Tidak ada penarikan mundur militer

Konflik di Tigray berawal dari upaya pemerintah pusat mendongkel pemerintahan lokal. Sejak November silam, ribuan nyawa telah melayang, sementara angka pengungsi sudah mencapai 1,7 juta orang pada Maret, kata Lowcock. 

Ketika pemerintah Eritrea menepis tuduhan keterlibatan militernya, Perdana Menteri Etiopia, Abiy Ahmed, mengindikasikan dirinya mengetahui adanya pasukan jiran di kawasan perang. 

Atas tuntutan PBB dan Amerika Serikat, dia berjanji pasukan Eritrea akan hengkang selambatnya bulan Maret.

Pada Selasa (14/04), Lowcock mendesak agar Eritrea menepati janjinya dan menarik mundur pasukan dari Tigray. "Sayangnya saya harus katakan, PBB atau lembaga kemanusiaan lain tidak ada yang melihat pemulangan pasukan Eritrea,” kata dia.

"Tanpa gencatan senjata, krisis kemanusiaan yang sudah parah ini hanya akan bertambah buruk,” imbuhnya. "Saya tegaskan lagi betapa pentingnya tentara Eritrea menghentikan kekejaman ini dan hengkang dari Tigray. Mengumumkannya tidak sama dengan melakukannya.”

Atas tuduhan tersebut Menteri Informasi Eritrea, Yemane Gebremeskel, mengatakan kekerasan seksual dan pemerkosaan "adalah sebuah kekejian di dalam masyarakat Eritrea” dan harus dihukum seberat-beratnya jika terjadi.

rzn/ae (rtr,ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait