Dugaan tindakan genosida dan pembersihan etnis yang dilakukan militer Myanmar terhadap kaum minoritas Rohingya dikhawatirkan akan memicu konflik regional yang berbasis agama.
Iklan
Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Zeid Ra'ad Al-Hussein memperingatkan bahwa kemungkinan tindakan "genosida dan pembersihan etnis" terhadap kaum minoritas Rohingya di Myanmar dapat memicu konflik berbasis agama yang menyebar keluar perbatasan negara.
Ancam keamanan regional
"Myanmar menghadapi krisis yang sangat serius - dengan dampak yang berpotensi parah terhadap keamanan kawasan ini," kata Zeid dalam sebuah pidato saat kunjungannya di Jakarta.
Krisis Rohingya Bisa Meluas Jadi Konflik Keamanan Regional
00:55
Ucapannya menyusul publikasi sebuah laporan pekan lalu tentang kuburan massal Rohingya di negara bagian Rakhine yang alami krisis, di mana tentara pemerintah diduga melakukan pembersihan etnis terhadap kaum minoritas tersebut.
"Terkadang pelanggaran HAM yang dilakukan saat ini bisa menjadi konflik di esok hari. Jika krisis Rohingya telah memicu konflik yang lebih luas berdasarkan identitas keagamaan, perselisihan selanjutnya bisa menjadi lebih besar," katanya.
Myanmar berdalih
Hampir 700.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke perbatasan Bangladesh sejak Agustus lalu. Myanmar membantah laporan kuburan massal tersebut dan tuduhan pelanggaran HAM, dengan mengatakan bahwa pihaknya melakukan tindakan keras yang proporsional terhadap pemberontak Rohingya.
Myanmar juga memblokir wartawan dan penyelidik PBB untuk secara independen mengakses zona konflik dan menyelidiki klaim para pengungsi tentang genosida.
Penampungan Khusus Bagi Janda dan Anak Rohingya di Bangladesh
Sejak Agustus lalu, sekitar 600 ribu warga Rohingya mengungsi dari kekerasan di Myanmar ke Bangladesh. Badan Pengungsi PBB UNHCR mendirikan penampungan khusus bagi pengungsi janda dan anak Rohingya.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Wajah derita pengungsi
Inilah Roshid Jan. Salah satu perempuan Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dengan lima anaknya. Setelah militer Myanmar membakar desanya, mereka menempuh perjalanan selama sepuluh hari untuk mencapai perbatasan. Sekarang mereka ditampung di Cox's Bazar, di sebuah penampungan khusus bagi janda dan anak.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Suaminya ditahan entah di mana
Roshid Jan tidak tahu suaminya ada di mana. Suaminya adalah pemimpin agama di desa Phansi, dekat negara bagian Rakhine di Myanmar. Militer di tempat itu menuduh suami Rosyid Jan sebagai anggota kelompok militan sehingga ia pun ditahan sebelas bulan lalu. Sejak itu Roshid Jan tidak pernah melihat suaminya lagi.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Penampungan Janda
Tempat penampungan Balukhali berada di kota perbatasan Cox's Bazar. Tempat ini memang khusus dibuat untuk menampung para janda dan anak Rohingya. Badan Pengungsi PBB UNHCR dan organisasi lain menyumbang tenda. Sekitar 230 perempuan dan anak-anak sekarang ditampung di sini. Mereka menyebut tempat ini "Penampungan Janda".
Foto: Reuters/D. Sagolj
Saling memberi semangat
Di tempat penampungan ada dapur bersama. Para perempuan bisa bertemu, saling berkenalan dan memasak bersama-sama. Kontak sosial ini penting. Mereka bisa saling memberi semangat dan mengelola pengalaman buruk dan trauma kekerasan yang mereka alami. Makanan dan minuman di penampungan ini merupakan sumbangan dari lembaga-lembaga bantuan internasional.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Momen menyenangkan
Memasak bersama anak-anak. Ibu dan anak ini kelihatan menikmati momen yang menyenangkan di tempat penampungan. Mereka sekarang bebas dari rasa takut, sekalipun tempat tinggalnya hanya sementara dan masa depan mereka masih belum jelas.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Korban sindikat perdagangan manusia
Tidak semua perempuan bisa diterima di penampungan ini. Karena penampungan ini disediakan bagi mereka yang membutuhkan perlindungan khusus. Kebanyakan perempuan dan anak-anak yang ada di sini adalah korban eksploitasi seksual. Reporter DW Arafatul Islam mengunjungi penampungan pengungsi di Cox's Bazar ini dan berbicara dengan para korban dan wakil-wakil lembaga bantuan.
Foto: DW/Arafatul Islam
Penampungan bagi warga Rohingya
Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan mengenai pemulangan para pengungsi ke Myanmar. Namun kapan hal itu dilaksanakan masih belum jelas. Uni Eropa akan membantu para pengungsi yang memang ingin pulang, sehingga mereka bisa hidup layak, kata pejabat urusan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini. (Foto dan teks: Arafatul Islam/hp/ts)
Foto: Reuters/S. Vera
7 foto1 | 7
Zeid juga mengatakan bahwa Myanmar telah menikmati pertumbuhan sosio-ekonomi yang kuat di wilayah Rakhine, namun hal ini tidak dapat menutupi "diskriminasi yang dilembagakan" terhadap etnis minoritas.
Zeid dijadwalkan bertemu dengan Presiden Indonesia Joko Widodo serta pejabat tinggi pemerintah dan kelompok hak asasi manusia selama kunjungan tiga hari di Indonesia tersebut. Beberapa isu yang akan didiskusikan adalah penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama, kekerasan yang diterima penduduk asli Papua dan tindakan keras terhadap komunitas LGBT di Indonesia.
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)