Tahun 2019 Merupakan Tahun Kedua Terpanas Sepanjang Sejarah
16 Januari 2020
Sejak tahun 1980-an, tercatat suhu udara setiap dekadenya selalu lebih panas dibandingkan dekade sebelumnya. PBB pun telah memperingatkan bahwa emisi karbon harus turun 7,6% per tahun untuk menyelamatkan bumi.
"Sejak tahun 1980-an setiap dekade lebih hangat dari dekade sebelumnya," Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan dalam sebuah pernyataan. WMO juga mengatakan bahwa "tren ini diperkirakan akan terus berlanjut."
Laporan WMO berdasarkan kumpulan data terkemuka dari seluruh dunia.
"Tahun 2020 telah dimulai dimana tahun 2019 meninggalkan serangkaian peristiwa kondisi cuaca dan iklim," tutur kepala WMO, Petteri Taalas.
"Sayangnya, kami memperkirakan akan melihat banyak cuaca ekstrem sepanjang 2020 dan beberapa dekade mendatang, diakibatkan oleh tingginya tingkat gas rumah kaca yang memerangkap panas di atmosfer," lanjut Taalas.
Taalas secara khusus merujuk peristiwa kebakaran hutan hebat yang melanda Australia, yang telah menewaskan sedikitnya 28 orang, membuat puluhan ribu orang mengungsi, dan membunuh hingga 1 miliar hewan.
PBB telah mengatakan bahwa emisi buatan manusia perlu turun sebanyak 7,6% per tahun sampai tahun 2030 sebagai upaya membatasi naiknya suhu menjadi 1,5 derajat Celsius, sesuai yang tercantum dalam Perjanjian Paris 2015 yang ditandatangani oelh banyak negara.
Taalas menyebut bahwa proses pencatatan cuaca modern sudah dimulai sejak tahun 1850. Dan sejak saat itu suhu global telah meningkat rata-rata sebesar 1,1 derajat Celcius. Karena sebagian besar panas dunia berada di lautan, kehidupan laut dan ekosistemnya merupakan yang paling terkena dampak panas global, dibuktikan dengan kematian massal ikan dan pemutihan karang yang meluas.
"Dengan kondisi emisi karbondioksida saat ini, kita tengah menuju peningkatan suhu tiga hingga lima derajat Celcius pada akhir abad ini," papar Taalas.
rap/vlz (AFP, Reuters)
Apa Yang Terjadi Kalau Suhu Samudera Naik?
Tahun 2016 resmi jadi tahun terhangat. World Meteorological Organization melaporkan samudra memanas jauh lebih cepat dari dugaan sebelumnya. Ini berdampak pada banyak hal, termasuk cuaca dan terumbu karang.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Gierth
Atlantis 2.0
Akibat pemanasan global, permukaan air laut naik. Tahun 2004 sampai 2010 permukaan laut naik sekitar 15 mm. Antara 2010 sampai 2016 jumlahnya dua kali lipat. Kawasan tropis di Pasifik Barat yang terutama terkena dampaknya. Kawasan pantainya terancam terendam air, dan pulau-pulau terancam hilang tertelan laut akhir abad ini.
Foto: picture alliance / Photoshot
Es Abadi Lumer
Naiknya suhu samudera dan atmosfir, memicu pelumeran gletser dan kawasan es abadi. 2016 laut es dekat kutub luasnya berkurang 4 juta kilometer persegi. Konsekuensinya, air dari es yang lumer mengalir ke sungai dan samudera. Ini juga menambah cepat kenaikan muka air laut.
Foto: picture-alliance/dpa/U.Mauder
Nemo Menghilang
Sebagian kawasan dunia menghangat lebih dari 3°C, dan mengganggu ekosistem laut. 72% spesies ikan yang hidup di dekat dasar laut, di kawasan timur laut Samudra Atlantik sejauh ini sudah kena dampaknya. Suhu yang menghangat membatasi penyebaran ikan. Spesies yang hidup di kawasan laut tropis populasinya juga makin berkurang akibat gangguan pada habitatnya.
Foto: imago/OceanPhoto
Terumbu Karang Memucat
Naiknya suhu dan keasaman air laut berdampak merusak terumbu karang tempat ikan memijah. Terumbu karang termasuk ekosistem laut yang paling sensitif. Kenaikan suhu air 3°C bisa memicu matinya terumbu karang dan hewan yang tinggal di dalamnya. Bagian utara Great Barrier Reef sudah alami kematian terumbgu karang sekitar 50%.
Foto: imago/blickwinkel
Badai Dahsyat Makin Sering
Seiring meningkatnya suhu samudra, badai tropis dahsyat lebih sering terjadi. Satu contohnya, siklon tropis Matthew, yang menghantam Haiti Oktober 2016. Menurut pemerintah Haiti, jumlah korban tewas 546. Siklon tropis juga sebabkan kerugian ekonomi sekitar 15 milyar Dolar di Haiti, AS, Kuba dan kepulauan Bahama.
Foto: Reuters/NASA/Alexander Gerst
Turbulensi Udara
Antara pola angin di atmosfer dan suhu samudra ada korelasi erat. Air laut yang menghangat juga bisa menyebabkan arus angin makin kuat. Ini bisa berdampak pada penerbangan, karena angin bisa jadi hambatan atau sebaliknya dorongan kuat. Akibatnya pesawat bisa makin cepatnya, atau juga lebih lambat dan turbulensi makin sering terjadi. Penulis: Jessie-May Franken (ml/hp)