1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman: Pelajaran dari Kegagalan Misi di Afganistan

4 Juli 2023

Misi di Afganistan gagal mengukuhkan demokrasi dan hak asasi manusia. Yang terjadi adalah kemiskinan dan teror. Para pemimpin politik di Jerman mencoba menarik pelajaran dari kegagalan itu.

Serdadu Bundeswehr di Afganistan
Serdadu Bundeswehr di AfganistanFoto: Michael Kappeler/dpa/picture alliance

Misi militer di Afganistan yang dipimpin oleh AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berlangsung selama 20 tahun - dari 2001 hingga 2021. Jerman juga terlibat dalam misi itu. Namun pada akhirnya, misi internasional terusir dan Taliban kembali berkuasa di Afganistan.

Komisi di parlemen Jerman Bundestag, sejak November 2021, mencoba mencari tahu mengapa hal ini terjadi dan pelajaran apa yang dapat diambil dari pengalaman pahit itu. Komisi memanggil para ahli dari bidang politik, militer, kerja sama pembangunan dan otoritas keamanan. Salah satu nara sumber yang paling menonjol adalah mantan menteri luar negeri Joschka Fischer (Partai Hijau).

Dua tahun setelah penarikan militer Jerman Bundeswehr yang tergesa-gesa pada Agustus 2021, dia membela komitmen militer dan kemanusiaan: "Menurut saya itu bukan kesalahan." Ujar Joschka Fischer, yang pada awal misi di Afganistan menjabat sebagai menteri luar negeri. Ketika itu, Jerman berpartisipasi di Afganistan atas dasar "solidaritas tak terbatas" terhadap AS, yang mengalami serangan 11 September 2001, dan sesuai dengan prinsip kesatuan pertahanan NATO.

Joschka Fischer, yang menjabat sampai tahun 2003, menjelaskan kegagalan misi Afganistan sebagai kurangnya kekuatan militer dan akibat kurangnya pengaruh politik. Sebuah pelajaran yang dia ambil dari misi itu: "Bahwa kita harus bersiap untuk misi yang lebih sulit, dan menyiapkan keterampilan." Fischer menekankan bahwa dia tidak melihat kontradiksi antara bantuan sipil, tindakan pengamanan dan kehadiran militer yang kuat.

Menjelang dengar pendapat di komisi parlemen tentang pelajaran dari kegagalan misi di AfganistanFoto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance

Pandangan pesimis tentang Afganistan

Pandangan Joschka Fischer setelah penarikan pasukan internasional cukup pesimis: Afganistan akan tetap menjadi tempat yang tidak aman untuk waktu yang lama, dan bencana kemanusiaan sudah dapat diperkirakan. "Jelas bahwa Taliban tidak akan membiarkan apa pun… yang telah dicapai melalui kesuksesan kecil yang melelahkan dalam proses pembangunan kembali", kata mantan menlu Jerman itu.

Anak perempuan dan kaum perempuan yang paling menderita ketika Taliban kembali berkuasa. Mantan Menteri Kerja Sama Pembangunan Heidemarie Wieczorek-Zeul (SPD) saat itu telah mengkampanyekan hak-hak perempuan secara khusus. "Apakah semuanya sia-sia? Tidak," katanya. Dalam 20 tahun terakhir, "sel-sel benih harapan" telah muncul, yang tidak dapat dikesampingkan oleh siapa pun.

Bagi Wieczorek-Zeul, perjanjian Doha tentang penarikan pasukan Amerika, yang dinegosiasikan Amerika Serikat dengan Taliban pada tahun 2020 tanpa partisipasi pemerintah Afganistan, adalah "keputusan salah, yang tidak dapat dimaafkan, bahkan kejahatan terhadap hak-hak perempuan."

Mantan Menteri Pertahanan Thomas de Mazière (CDU) juga menarik kesimpulan pahit dari keterlibatan Jerman di Afganistan: "Kekuatan militer Taliban diremehkan, dan kekuatan militer dan politik pemerintah dilebih-lebihkan."

Apakah Bundeswehr kewalahan?

"Angkatan bersenjata memang dapat membantu mengamankan perkembangan suatu negara, tetapi mereka tidak dapat melakukannya sendiri", tegas Thomas de Maizière. "Bundeswehr, bagaimanapun  tidak boleh kewalahan untuk hal-hal yang tidak bisa dan tidak boleh dilakukan - tapi situasinya memang begitu."

Meski misi di Afganistan gagal, mantan menteri pertahanan itu juga menyimpulkan: Jerman telah mendapatkan pengakuan sebagai kekuatan keamanan. "Terutama karena Bundeswehr telah menunjukkan bahwa ia dapat memimpin pasukan, dapat berperang, bahwa ia adalah mitra militer yang dapat diandalkan - bahkan di bawah ancaman." Dia mengatakan, ingatan pada para prajurit yang gugur adalah pengalaman yang pahit, namun sangat penting.

Badan Intelijen Federal Jerman, Bundesnachrichtendienst (BND), juga memainkan peran penting di Afganistan. BND bertanggung jawab memberikan informasi tentang situasi keamanan. Tetapi bahkan sepuluh tahun setelah dimulainya misi itu, kondisi kerangka kerja masih belum tepat, kata Gerhard Schindler, Presiden BND dari 2011 hingga 2016: "Jika Anda menginginkan misi luar negeri seperti ini, Anda juga harus mengurus dan menyesuaikan sekrup-sekrup terkecil."

Situasi keamanan Afganistan selalu merupakan "sinyal alarm "

Menurut Gerhard Schindler, BND secara teratur memberi tahu pemerintah federal tentang perkembangan situasi keamanan di Afganistan. Di peta, wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Afganistan ditandai dengan warna hijau, dan wilayah yang diduduki oleh Taliban ditandai dengan warna merah. Dan warna merah menjadi semakin banyak dari waktu ke waktu.

Situasi ekonomi pada saat itu juga tidak pernah berkembang secara positif. "Sebaliknya, budidaya opium poppy dan pengolahannya menjadi heroin berkembang pesat," kata Gerhard Schindler, mengacu pada pasar obat bius, sumber finansial penting bagi Taliban. Selama kunjungan ke Afganistan, dia saat itu mencatat "kemerosotan situasi yang terus-menerus karena militerisasi total di jalan-jalan."

Seseorang hanya perlu melihat "tatapan mata sedih orang-orang" untuk mengetahui bahwa negara itu "sedang merosot", kenang Gerhard Schindler. BND ketika itu semakin sering mempertanyakan manfaat keterlibatan di Afganistan. Dia sendiri memiliki keraguan selama masa jabatannya. "Dan saya masih memiliki keraguan itu hingga hari ini," pungkasnya.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait