1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Pengaturan Social Commerce akan Untungkan Pedagang Offline?

Telly Nathalia | Arti Ekawati
29 September 2023

Pemerintah keluarkan peraturan baru untuk lindungi usaha kecil dengan melarang penjualan barang di platform media sosial seperti TikTok. Apa yang sebenarnya para pedagang harapkan?

Salah satu pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, yang memanfaatkan penjualan via medsos
Salah satu pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, yang memanfaatkan penjualan via medsosFoto: Tatan Syuflana/AP/picture alliance

Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan regulasi baru yang mengatur e-commerce di platform media sosial, dengan alasan merugikan usaha kecil yang sebagian besar menjajakan dagangannya secara offline.

Peraturan ini muncul sebagai tanggapan atas keluhan yang datang dari pedagang offline skala kecil yang mengatakan, pendapatan mereka terganggu oleh meningkatnya penjualan online atau daring.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi pers pada hari Rabu (27/09) mengatakan, langkah tersebut diambil untuk memungkinkan usaha kecil dan menengah bersaing dalam ekosistem bisnis yang adil, sehat, dan bermanfaat.

Berdasarkan peraturan baru yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan tersebut, media sosial hanya dapat digunakan sebagai platform untuk mempromosikan barang dan jasa, dan tidak dapat digunakan untuk transaksi langsung.

"Social commerce boleh beriklan produknya, tapi social media terpisah, tidak boleh sekaligus penggabungan social media dan social commerce," ujar Zulkifli dalam konferensi pers, Rabu (27/09) di Jakarta.

Larangan tersebut berlaku untuk platform media sosial yang mengoperasikan toko online yang berafiliasi langsung, seperti aplikasi media sosial asal Cina, TikTok, yang sangat populer di Indonesia. Menjawab pertanyaan DW, Zulkifli Hasan mengatakan, kementerian tidak secara khusus membahas TikTokShop, dan aturan tersebut "berlaku untuk semua" platform.

TikTok sesalkan keputusan pemerintah

TikTok pun mengatakan bahwa mereka menyesalkan keputusan pemerintah yang melarang transaksi e-commerce di platform media sosial dan khususnya dampaknya terhadap jutaan penjual yang menggunakan TikTok Shop.

Namun TikTok Indonesia mengatakan dalam pernyataannya, mereka akan menghormati peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia dan "akan mengambil jalur ke depan yang konstruktif."

"Kami sangat menyesalkan pengumuman pemerintah, terutama bagaimana hal itu akan berdampak pada mata pencaharian enam juta penjual dan hampir tujuh juta pembuat afiliasi yang menggunakan TikTok Shop," demikian seperti dikutip dari kantor berita Associated Press, Kamis (28/09).

Apa kata pedagang di Tanah Abang?

Nada Agi,25, yang sehari-hari berjualan gamis dan produk kebaya di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengatakan tidak terlalu merasakan dampak yang signifikan dengan adanya TikTok Shop atau sistem penjualan daring lainnya. Menurutnya, penjualannya memang telah terdampak sejak pandemi Covid-19.

"Kalau penjualan kami terdampak, bukan sepenuhnya karena itu (Tiktok Shop), tapi mungkin karena pengaruh lainnya," ujar Nada kepada DW Indonesia.

"Banyak toko yang tutup dan pedagang berhenti jualan. Hal ini berdampak pada toko-toko yang masih buka karena masyarakat tidak begitu tertarik datang ke pasar yang sepi," kata Yasril Umar kepada DW Indonesia.Foto: Kevin Herbian/NurPhoto/picture alliance

Yasril Umar, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Tanah Abang mengatakan, saat ini penjualan offline dan langsung memang merasakan dampaknya. Di masa jayanya Tanah Abang pernah menjadi salah satu pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Namun kini mereka kesulitan menarik pelanggan.

Menurut Yasril, sebagian besar pedagang telah mengalami kesulitan sejak awal pandemi pada Maret 2020. Ia menyebutkan, terdapat sekitar 20.000 toko di kawasan Tanah Abang dan sekitarnya, dan kini sekitar 20% dari toko tersebut tidak beroperasi.

"Banyak toko yang tutup dan pedagang yang berhenti berjualan. Hal ini berdampak pada toko-toko yang masih buka karena masyarakat tidak begitu tertarik untuk datang ke pasar yang sepi," kata Yasril Umar kepada DW Indonesia.

Meski menyambut peraturan baru ini, Yasril mengatakan pemerintah dapat lebih membantu dengan menjadikan berbelanja langsung sebagai pengalaman menyenangkan yang akan menarik pelanggan.

"Misalnya dengan menambah fasilitas untuk meningkatkan pengalaman berbelanja yang menyenangkan, mempermudah pengurusan izin mengadakan acara-acara menarik di pasar, atau menertibkan pedagang ilegal, akan menciptakan lingkungan yang hidup sehingga semakin menarik masyarakat untuk berbelanja offline bersama kami," ujar Yasril.

Menata kembali social commerce

Secara terpisah, Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdanganan Isy Karim mengatakan, media sosial seperti TikTok yang menggabungkan e-commercenya dalam satu platform, harus membuat platform terpisah sebagai solusi terhadap peraturan baru tersebut.

"Prinsipnya, izin portal web dari Kominfo, nanti di Kominfo akan dipecah jadi tiga, sekarang sedang berproses. Jadi ada namanya media sosial, social commerce, e-commerce," jelasnya. 

"Contohnya social commerce yang ada walaupun sekarang belum ada izin, contohnya TikTok Shop sudah memiliki izin sebagai kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing sebagai social commerce, tapi kalau dia ingin transaksi, maka dia harus menjadi e-commerce. Untuk menjadi e-commerce, harus punya entitas badan usaha," jelasnya. 

Sementara Hedy Djaja Ria, wakil ketua umum bidang department store dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) kepada DW mengatakan, sangat mendukung keputusan pemerintah untuk mengatur penjualan daring. Hippindo beranggotakan lebih dari 300 pengusaha department stores se-Indonesia.

"Yang kami rasakan saat ini dampaknya cukup besar, pada penjualan (produk) fashion khususnya. Pasti terdampak karena online itu mempermudah pembeli tentunya dan lebih murah," ujar Hedy.

Walau demikian Hedy percaya cara penjualan secara daring dan luring harus berjalan berdampingan. Yang diinginkan adalah, toko daring harus memiliki legalitas dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana halnya toko luring selama ini.

"Diharapkan (toko) online tidak menjual barang di bawah harga. Itu pasti akan berdampak pada pedagang-pedagang offline," pungkasnya. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait