1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pelecehan Seksual di tempat Kerja

24 Oktober 2017

Topik kekerasan seksual dengan tagar #MeToo trending setelah dosa-dosa pelecehan seksual Harvey Weinstein. Bagaimana pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia? Anda pernah mengalami juga? Opini Uly Siregar.

Kampagne #MeToo
Foto: picture-alliance/dpa/B. Pedersen

Lebih dari satu dekade lalu, saat usia saya masih dua puluhan dan baru memulai karier sebagai wartawan, saya pernah dipanggil ke ruang wakil pemimpin redaksi. Di ruang tertutup itu saya dinasihati untuk lebih ‘menjaga diri' karena ada tiga wartawan laki-laki senior di kantor yang sangat dekat dengan saya ternyata memiliki perasaan romantis terhadap saya. "Suasana kantor belakangan jadi nggak enak hanya gara-gara kamu. Putuskan saja mana yang mau kamu pilih, jangan kamu dekati semua. Tak baik juga untuk reputasimu,” kata dia.

Saya merasa dipermalukan dan dilecehkan. Dipermalukan, karena dipanggil oleh pimpinan untuk urusan di luar pekerjaan. Dilecehkan, karena kedekatan saya ditafsirkan jauh dari apa yang sesungguhnya terjadi, apalagi dua dari tiga laki-laki yang dimaksud bos saya sebenarnya sudah beristri. Seorang pimpinan menganggap saya sebagai sumber kekacauan di tempat kerja, padahal mereka yang sesungguhnya tertarik pada saya secara romantis dan seksual. Bos saya juga menutup mata atas fakta bahwa ketiga wartawan tersebut adalah senior sekaligus atasan, yang secara struktural menempatkan saya pada posisi subordinat dan rentan.

Penulis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Dalam dunia kerja yang kental dengan budaya patriarki, entah kenapa selalu perempuan yang disalahkan. Perempuan yang atraktif secara seksual dianggap berpotensi menjadi sumber konflik di tempat kerja. Mereka pun kerap jadi bahan candaan yang mengandung pelecehan seksual. Di salah satu kantor pers tempat dulu saya bekerja, saya sempat dikenal dengan ‘itu lho, yang dadanya subur' seolah-olah faktor paling signifikan dalam diri saya adalah ukuran payudara. Ini jelas tak ada hubungannya dengan pekerjaan saya sebagai wartawan dan kemampuan saya menembus narasumber atau menulis berita dengan memenuhi standar jurnalistik. Jangan tanya berapa banyak komentar bernada seksual yang pernah saya terima di lingkungan kerja, baik di kantor maupun saat menemui narasumber.

Pernah saat hendak mewawancarai narasumber—seorang politisi—dengan entengnya dia memeluk saya dan berkomentar, "Kamu cantik. Kapan-kapan 'ngopi' yuk.” Yang menyedihkan, saat berbagi pengalaman dilecehkan secara seksual, sebagian justru menganggap aksi itu sebagai wujud pujian yang sebaiknya diterima perempuan ikhlas dan tanpa rewel.

#MeToo, saya juga

Topik kekerasan seksual dengan tagar #metoo baru-baru ini trending di Amerika Serikat setelah dosa-dosa pelecehan seksual Harvey Weinstein—salah satu orang paling berpengaruh di industri film Hollywood—diekspos. Harvey dituduh melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual pada lebih dari 40 aktris perempuan yang pernah berurusan dengan dia. Terakhir, aktris pemenang Oscar Lupita Nyong'o menuliskan pengalaman buruknya berhadapan dengan Harvey di koran New York Times. Warganet mendukung pengakuan korban dengan berbagi kisah personal pelecehan seksual yang pernah mereka alami.

Pelecehan seksual di tempat kerja ternyata memang bukan hal yang langka. "Tempat kerja adalah salah satu lokus pelecehan seksual (kekerasan seksual). Sebagai sebuah entitas, tempat kerja seharusnya memiliki sistim yang memungkinkan pelecehan seksual dihilangkan. Iklim zero tolerance of violence against women penting untuk dijadikan aturan internal tertulis dalam lingkungan kerja dalam bentuk paket tertulis welcoming package untuk semua karyawan dan code of conduct tentang zero tolerance yang ditandatangani oleh seluruh stakeholder,” papar Rotua Valentina Sagala, feminis dan juga tokoh pembentuk Institut Perempuan.

Kasus kekerasan seksual, termasuk di dalamnya kekerasan seksual, terjadi karena cara pandang patriarki yang menempatkan tubuh perempuan sebagai subordinat dalam relasi kuasa, dengan laki-laki sebagai superordinat. Dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan dianggap  sebagai obyek karena itu consent (persetujuan) tidak diperlukan. Jangankan sikap keberatan non verbal, pernyataan ‘tidak' dari perempuan pun bisa diabaikan, bahkan dilencengkan sebagai ‘ya', sebuah persetujuan.

Tak menyadari jadi korban

Yang juga menyedihkan, sedemikian mengakarnya pelecehan seksual di masyarakat patriarki, ada kalanya perempuan sendiri tak sadar bahwa ia sebenarnya menghadapi pelecehan seksual. Padahal pada prinsipnya ketika seseorang merasa tidak nyaman terhadap tindakan seksual pelaku terhadap dirinya, ia sebenarnya korban pelecehan seksual. Dalam banyak kasus, sangat berat bagi korban dan butuh waktu relatif lama untuk mengungkapkan pengalamannya. Apalagi dengan cara pandang patriarki, pengalaman korban tak hanya diabaikan namun justru ia menjadi korban kesekian kali dengan menyalahkan korban (victim blaming). Akibatnya korban sering menyalahkan diri sendiri, merasa malu, aib, bahkan takut.

Bagi perempuan korban pelecehan seksual, tindakan melaporkan pun sudah hal yang luar biasa dan harus didukung. Karena itu sistim hukum berikut aparatnya harus mampu mereaksi kondisi korban dengan sikap yang lebih gender-friendly. Jangan sampai muncul pertanyaan tidak sensitif seperti, ‘apa pakaian yang Anda kenakan saat perkosaan', atau ‘apakah Anda bersikap menggoda' atau ‘mengapa Anda perempuan kok masih di luar rumah padahal sudah malam' atau yang terakhir seperti yang diungkapkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian: apakah nyaman selama perkosaan? Sudah saatnya menanamkan pemahaman dasar bahwa dalam pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang bersalah selalu pelaku, bukan korban.

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz) 

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.