Media Jerman menyoroti pelaku pengeboman yang berasal dari satu keluarga. Hal ini adalah kejadian pertama kali di Indonesia. Perlu upaya keras dari berbagai pihak untuk mencegah ini menjadi tren terorisme di tanah air.
Iklan
Headline media Jerman mengenai tragedi pengeboman yang terjadi di Indonesia menyoroti pelaku pengeboman yang berasal dari satu keluarga. Media Die Welt menulis Islamistische Familie sprengt sich in Kirchen in die Luft atau "Keluarga Islamis Melakukan Bom Bunuh Diri di Gereja." Situs berita terkemuka Jerman Der Spiegel di spiegel.de mengangkat judul Familie soll für tödliche Explosionen verantwortlich sein (Satu Keluarga Bertanggungjawab atas Ledakan Mematikan). Sementara harian Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ) menulis Eine Familie, drei Anschläge, zehn Minuten (Satu Keluarga, Tiga Serangan, Sepuluh Menit) di situsnya, faz.net.
Pada Minggu dan Senin (13 dan 14/05) terjadi rangkaian serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo, yang pelakunya berasal dari satu keluarga. Kapolri Tito Karnavian melalui konferensi pers telah menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, yang terjadi Minggu pagi (13/05) dilakukan oleh pasangan suami istri Dita Supriyanto dan Puji Kuswati, yang mengikutsertakan empat anak mereka, tiga diantaranya masih dibawah umur.
Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin mengungkapkan pada Senin (14/05) bahwa aksi pengeboman Minggu malam di Sidoarjo juga dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari orang tua dan empat anak. Tiga anak selamat dan dua diantaranya dirawat di RS Bhayangkara, Surabaya.
Di kejadian bom bunuh diri Senin pagi (14/05) di depan Polrestabes Surabaya lagi-lagi satu keluarga yang menjadi pelakunya. Empat anggota keluarga tewas, sementara satu anak selamat karena terlempar, ungkap Kapolri Tito, seperti dilansir detik.com.
Bagaimana hal ini bisa terjadi dan mengapa perempuan dan terlebih anak-anak di bawah umur juga diikut sertakan oleh orang tua mereka? Dalam wawancara dengan DW, Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT, berpendapat bahwa sosok perempuan sebagai seorang istri dan ibu, memiliki pengaruh yang besar untuk meradikalisasi suami dan anak-anaknya. "Sekalinya perempuan terlibat, ia bisa libatkan semua keluarganya, seperti kasus Joko Wiwoho. Dia adalah pejabat eselon 2 di Batam. Pada saat saya wawancara, dia tidak mengerti konteks jihad, hijrah dan semacamnya. Dia dengan mudah meninggalkan jabatannya karena pengaruh istrinya, tanpa memikirkan mudarat yang akan mereka dapat."
Aksi Serangan Teror Bom Guncang Surabaya
Aksi teror kembali menyelimuti Indonesia. Setelah tiga gereja di Surabaya, rusunawa di Sidoarjo, hari ini markas polrestabes Surabaya diserang bom kendaraan. Belasan jiwa melayang, puluhan orang terluka.
Foto: Reuters/Beawiharta
Ledakan di Mapolrestabes Surabaya
Juru bicara Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung Mangera mengatakan, ledakan di Mapolrestabes Surabaya berasal dari sepeda motor. Rekaman CCTV menunjukkan ledakan terjadi ketika mobil Avanza dan dua motor mendekati pintu masuk Maporestabes di Krembangan. Kapolda Jawa Timur Irjen Machud Arifin menambahkan, pelaku juga berasal dari satu keluarga.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/A. Ibrahim
Presiden Jokowi tinjau lokasi
Minggu sore (13/05), Presiden Joko Widodo meninjau Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, Surabaya, salah satu dari tiga gereja di Surabaya yang diserang bom bunuh diri. Presiden didampingi Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Tito Karnavian dan Kepala BIN Budi Gunawan.
Foto: Biro Pers Setpres
Perang terhadap terorisme
Presiden Jokowi menyatakan teror bom di Surabaya sebagai tindakan di luar batas kemanusian yang tidak terkait agama manapun. "Semua agama menolak terorisme, apapun alasannya," kata Jokowi Minggu (13/05). Selain memerintahkan pengusutan tuntas jaringan pelaku yang mengikutsertakan dua anak sebagai pelaku bom bunuh diri, Jokowi juga meminta masyarakat memerangi terorisme dan radikalisme.
Foto: Biro Pers Setpres
Dua dekade lalu dan kini
Dua dekade lalu, duka menyelimuti Indonesia dengan guncangnya kerusuhan Mei 1998. Hari Minggu, 13 Mei 2018, kepedihan kembali melukai Indonesia. Tiga gereja di Surabaya menjadi sasaran serangan bom.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Asim
Tiga gereja jadi sasaran
Tiga gereja di mana terjadi serangan bom adalah: Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya atau GPPS Jemaat Sawahan dan di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro 146.
Foto: Reuters/Antara Foto/Surabaya Government
Tampak luar gereja
Puing-puing akibat ledakan bom tampak berserakan di depan Gereja Santa Maria Tidak Bercela, Surabaya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Trisnadi
Diduga pelakunya satu keluarga
Polisi menduga kuat, pelaku pengemboman di tiga gereja yang ada di Surabaya, Jawa Timur berasal dari satu keluarga, yang baru kembali dari Suriah.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. R. Hidayat
Bahu-membahu padamkan api
Para anggota tim pemadam kebakaran bersama masyarakat berusaha memadamkan api akibat ledakan bom di Gereja Pantekosta Surabaya.
Foto: Reuters/Antara Foto/Surabaya Government
Kendaraan bermotor rusak
Beberapa kendaraan bermotor mengalami kerusakan akibat ledakan.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Asim
Mencari anggota keluarga
Polisi tampak membantu seorang perempuan yang mencari anggota keluarganya di dekat tempat kejadian perkara (TKP) di Gereja Pantekosta Surabaya.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Asim
Peningkatan keamanan
Polisi meningkatkan kewaspadaan. Tampak para petugas berjaga-jaga di sekitar lokasi kejadian. Pasca ledakan bom di Surabaya, ibukota DKI Jakarta pun kini salam status siaga 1.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Asim
Membantu korban
Korban-korban berjatuhan. Tampak beberapa warga bersama tim medis saling membantu untuk menolong korban insiden.
Foto: Reuters/Antara Foto/D. Suhartono
Puluhan orang terluka
Tim paramedis tampak memberikan pertolongan pertama kepada seorang pria yang terluka akibat salah satu ledakan yang mengguncang gereja di Surabaya. (Ed.: ap/ml)
Foto: picture-alliance/AP Photo/Trisnadi
13 foto1 | 13
Modus baru terorisme di Indonesia
Irfan Idris mengatakan modus teror satu keluarga ini bisa ditiru oleh kelompok teroris lain. "Kalau misalnya dikatakan menjadi pendorong, menjadi pemicu untuk yang lainnya, mungkin bisa saja bagi sel-sel yang tertidur. Yang sudah tidak sabar lagi untuk menuju sorga, mewujudkan keinginan mereka, hanya menunggu waktu saja. Bisa lebih cepat dia lakukan, makanya kewaspadaan perlu ditingkatkan," ujarnya kepada DW.
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam, Hasibullah Satrawi, menilai aksi bom bunuh diri dengan melibatkan anak-anak sebagai modus baru terorisme di Indonesia. Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA) itu mengatakan, "Kalau cuma kakak-beradik sebenarnya ada. Tapi yang kemudian satu keluarga, termasuk dengan anak-anaknya, ini baru di Indonesia," seperti dimuat di detik.com.
Kapolri Tito menyampaikan pendapat senada. "Di Suriah dan ISIS, mereka sudah lakukan. Namun, fenomena menggunakan anak-anak, ini baru pertama kali di Indonesia, anak 9 dan 12 tahun dilengkapi bom di pinggang", ujarnya dalam jumpa pers di Mapolda Jawa Timur Senin (14/05) mengacu kepada pelaku Puji Kuswati dan dua anaknya, yang menyerang Gereja Kristen Indonesia, Surabaya, menggunakan bom pinggang.
Pakar terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan pelibatan anak-anak dan perempuan bertujuan untuk mengelabui aparat dan mengkhawatirkan modus keluarga sebagai pelaku bom ini akan ditiru oleh teroris lainnya. "Ini model baru tapi sudah saya duga sebelumnya karena mereka mudah mengelabui petugas dan intelijen," katanya pada detik.com.
Rekaman Video Amatir Bom Surabaya
00:40
Kantor berita Antara memuat pernyataan Kapolri Tito yang menyatakan bahwa kejadian teror bom Surabaya-Sidoarjo saling terkait dan pelaku berada dalam satu jaringan. "Kita sudah mengindentifikasi kelompoknya, yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sudah saya sampaikan kemungkinan motifnya terkait dengan serangan ini karena ada instruksi dari ISIS yang mendesak dan memerintahkan sel-sel lainnya," ujarnya.
Kembali dari Suriah
ISIS melalui agensi beritanya, Aamaq, melegitimasi serangan bom gereja Surabaya dengan menulis "tiga serangan martir menewaskan sebelas orang Kristen dan melukai 41 lainnya di kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia." Menurut keterangan Kapolri Tito, keluarga Dita Supriyanto termasuk 500 WNI yang kembali dari Suriah setelah bergabung dengan ISIS. Diduga kuat, Dita adalah ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang pendirinya Aman Abdurrahman saat ini ditahan di Mako Brimob dan merupakan pendukung ISIS di Indonesia.
Terpaparnya WNI yang pernah bergabung dengan paham radikalisme ISIS menjadikan mereka menganggap apa yang dilakukan adalah tugas mulia. Bersama ISIS, situs merdeka.com melansir, keluarga pengebom gereja belajar strategi teror, kemiliteran dan membuat bom.
Presiden Jokowi Perintahkan Kapolri Tegas Basmi Terorisme
01:55
This browser does not support the video element.
Menurut Kapolri, kelompok militan ini "terlatih untuk menghindari deteksi" aparat keamanan, namun kekuatan mereka tidak besar. "Mereka tidak mungkin mengalahkan negara, polisi, TNI dan kita semua." Untuk itulah, Kapolri meminta "dukungan" DPR agar segera menyelesaikan revisi UU antiterorisme karena polisi mengetahui keberadaan sel-sel JAD atau JAT, tetapi mereka tidak bisa ditindak, demikian BBC.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, mengatakan Kementeriannya melakukan upaya pencegahan radikalisasi bekerja sama dengan lembaga terkait, seperti Kepolisian, dan akan memberikan rehabilitasi sosial kepada anak-anak yang menjadi korban, termasuk anak pelaku pengeboman. "Semua warga negara Indonesia akan menjadi perhatian negara. Untuk itu mereka akan diberi rehabilitasi sosial termasuk juga penyembuhan traumanya," ujarnya seperti dilansir situs antaranews.com.
Anak Mantan Teroris Merajut Masa Depan di Pesantren al-Hidayah
Seorang mantan teroris mendidik anak-anak terpidana terorisme agar menjauhi faham radikal. Mereka kerap mengalami diskriminasi lantaran kejahatan orangtuanya. Kini mereka di tampung di pesantren al-Hidayah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Ujung Tombak Deradikalisasi
Seperti banyak pesantren lain di Sumatera, pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, didirikan ala kadarnya dengan bangunan sederhana dan ruang kelas terbuka. Padahal pesantren ini adalah ujung tombak program deradikalisasi pemerintah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Mantan Teroris Perangi Teror
Perbedaan paling mencolok justru bisa dilihat pada sosok Khairul Ghazali, pemimpin pondok yang merupakan bekas teroris. Dia pernah mendekam empat tahun di penjara setelah divonis bersalah ikut membantu pendanaan aktivitas terorisme dengan merampok sebuah bank di Medan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Tameng Radikalisme
Bersama pesantren tersebut Al-Ghazali mengemban misi pelik, yakni mendidik putra mantan terpidana teroris agar menjauhi faham radikal. Radikalisme "melukai anak-anak kita yang tidak berdosa," ujar pria yang dibebaskan 2015 silam itu. Jika tidak dibimbing, mereka dikhawatirkan bisa terpengaruh ideologi teror.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Derita Warisan Orangtua
Saat ini Pesantren al-Hidayah menampung 20 putra bekas teroris. Sebagian pernah menyaksikan ayahnya tewas di tangan Densus 88. Beberapa harus hidup sebatang kara setelah ditinggal orangtua ke penjara. Menurut Ghazali saat ini terdapat lebih dari 2.000 putra atau putri jihadis yang telah terbunuh atau mendekam di penjara.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Uluran Tangan Pemerintah
Pesantren al-Hidayah adalah bagian dari program deradikalisasi yang digulirkan pemerintah untuk meredam ideologi radikal. Untuk itu Presiden Joko Widodo mengalihkan lebih dari 900 milyar dari dana program Satu Juta Rumah untuk membantu pembangunan pondok pesantren yang terlibat dalam program deradikalisasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Perlawanan Penduduk Lokal
Meski mendapat bantuan dana pemerintah buat membangun asrama, pembangunan masjid dan ruang belajar di pesantren al Hidayah tidak menggunakan dana dari APBN. Ironisnya keberadaan Pesantren al-Hidayah di Deli Serdang sempat menuai kecurigaan dan sikap antipati penduduk lokal. Mulai dari papan nama yang dibakar hingga laporan ke kepolisian, niat baik Ghazali dihadang prasangka warga.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Peran Besar Pesantren Kecil
Al-Hidayah adalah contoh pertama pesantren yang menggiatkan program deradikalisasi. Tidak heran jika pesantren ini acap disambangi tokoh masyarakat, entah itu pejabat provinsi atau perwira militer dan polisi. Bahkan pejabat badan antiterorisme Belanda pernah menyambangi pesantren milik Ghazali buat menyimak strategi lunak Indonesia melawan radikalisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Trauma Masa Lalu
Melindungi anak-anak mantan teroris dianggap perlu oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius. Abdullah, salah seorang santri, berkisah betapa ia kerap mengalami perundungan di sekolah. "Saya berhenti di kelas tiga dan harus hidup berpindah," ujarnya. "Saya dikatai sebagai anak teroris. Saya sangat sedih." Pengalaman tersebut berbekas pada bocah berusia 13 tahun itu. Suatu saat ia ingin menjadi guru agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Stigma Negatif Bahayakan Deradikalisasi
Stigma negatif masyatakat terhadap keluarga mantan teroris dinilai membahayakan rencana pemerintah memutus rantai terorisme. Terutama pengucilan yang dialami beberapa keluarga dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kondisi kejiwaan anak-anak. Ghazali tidak mengutip biaya dari santrinya. Ia membiayai operasional pesantren dengan beternak dan bercocok tanam, serta menjual hasil panen.