1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peluang Terakhir Perundingan Libanon

20 Mei 2008

Dialog perdamaian Libanon belum bisa disebut gagal. Para mediator dari Qatar dan Liga Arab telah memberikan batas waktu terakhir kepada kedua pihak yang bertikai.

Pertemuan di QatarFoto: AP

Ini kesempatan terakhir, agar Libanon terhindar dari kehancuran perang saudara dan juga menyepakati jalan keluar dari kebuntuan politik.

Sejak hari Jumat lalu, pemerintah Beirut yang pro barat dan oposisi yang dipimpin kaum Hisbullah berunding di Doha. Dengan menggelar perundingan itu, para diplomat negara-negara Arab berhasil menghentikan kerusuhan berdarah di Libanon yang mengakibatkan 80 orang tewas.

Namun tanda-tanda positif di awal perundingan akhirnya terbentur jalan buntu. Hari Senin (19.5), negosiasi bukan hanya macet. Dikhawatirkan, jembatan dialog perdamaian itu akan ambruk. Menteri Luar Negeri Qatar, Ahmad Abdullah al Mahmud tampak sedikit lega, ketika menyatakan bahwa jurus diplomasi yang dijalankan sepanjang malam Selasa, berhasil mengamankan perundingan yang sudah menyerempet tanda kegagalan.

"Kini masing-masing pihak harus mencerna dua saran yang diajukan oleh para mediator. Menurut kami solusi yang ditawarkan merupakan kemungkinan paling ideal untuk menyelesaikan krisis Libanon. Bahkan apabila kedua pihak bisa sedikitnya menyepakati satu saran saja, hasilnya akan baik. Kami belum bisa mengumumkan apa persisnya isi saran tersebut, karena salah satu pihak telah meminta masa berpikir yang lebih lama. Dan mereka berhak mendapatkannya, sampai besok."

Demikian Menlu Qatar, Ahmad Abdullah al Mahmud. Nota perundingan menunjukan bahwa pihak oposisilah yang membutuhkan waktu berpikir yang lebih banyak. Sementara pemerintah Libanon tampaknya lebih dapat menerima upaya negosiasi itu.

Dua tema besar perundingan itu meliputi saran mengenai pembagian jabatan di kabinet. Setelah para menteri pro-Hisbullah dua tahun lalu mengundurkan diri dari kabinet, pemerintah Libanon hanya terdiri dari pihak pro Amerika Serikat yang berada di sekeliling Perdana Menteri Siniora. Kini kaum Hisbullah dan sekutunya bersedia untuk kembali masuk Kabinet. Dengan catatan, akan mendapatkan lebih dari sepertiga jabatan di kabinet. Bagi pihak oposisi, ini akan memperkuat hak veto mereka.

Persoalan lain terkait dengan undang-undang pemilihan yang baru. Banyaknya kepentingan yang mengacu pada pengelompokan agama menyulitkan pembagian wilayah pemilihan. Keseimbangan antara kelompok Kristen, Drusus dan Muslim di Libanon merupakan masalah yang sensitif. Tahun depan akan berlangsung pemilihan parlemen baru.

Bila kedua pihak, pemerintahan dan oposisi yang bertikai ini bisa menyepakati satu saja tawaran solusi, maka baik para mediator maupun bangsa Libanon akan merasa telah meraih buah keberhasilan. Juga karena perundingan alot yang menetapkan panglima militer Libanon Suleiman sebagai Presiden negara itu, akan tidak lagi menjadi hambatan.

Yang jelas, perundingan untuk Libanon ini harus terus bergulir dan membahas sejumlah tema lebih jauh. Antara lain dengan membahas masalah senjata yang dimiliki oleh kaum Hisbullah. Pemerintah Libanon saat ini ingin agar peraturan jelas. Namun kelompok Hisbullah menolaknya, padahal sebenarnya mereka mengalami tekanan besar, pasalnya milisi Hisbullah itu untuk pertama telah membiarkan rakyat Libanon menjadi sasaran tembakan. (ek)