1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Peluang Transaksi Syariah dengan Dinar dan Dirham

Monique Rijkers
Monique Rijkers
21 November 2020

Mengembangkan dan mendorong implementasi ekonomi syariah adalah salah satu mantra ekonomi dari pemerintah Indonesia. Sejauh mana implementasi ekonomi syariah?  

Gambar ilustrasiFoto: Fotolia/eugenesergeev

Mengembangkan dan mendorong implementasi ekonomi syariah adalah salah satu mantra ekonomi dari pemerintahan Joko Widodo - Ma’ruf Amin. Kesejahteraan umat ingin dicapai melalui cara-cara islami, tidak bertentangan dengan hukum syariah agama umat mayoritas di Indonesia. Ciri ekonomi syariah yang sudah dikenal publik adalah konsep bank tanpa riba, produk berlabel halal dan investasi dalam bentuk simpanan koin dinar dan dirham yang digunakan di masa Nabi Muhammad SAW pada tahun 600-an Masehi. 

Bak ayam atau telur lebih duluan mana, timbul rasa penasaran saya apakah semakin maraknya kegiatan ekonomi serba islami ini karena mendapat dukungan dari pemerintah atau sebaliknya, pemerintah hanya mengimplementasikan aspirasi publik. Meski belum dilakukan secara konsisten, sinyalemen melakukan transaksi dengan mata uang dinar dan dirham yang dianggap sebagai mata uang yang islami ini sudah mulai bermunculan di masyarakat.   

Sejarah Dinar dan Dirham  

Meski dinar dan dirham diklaim sebagai mata uang Islam sesungguhnya dalam teks kitab suci umat Yahudi dan Kristen sudah muncul penggunaan mata uang dinar dan dirham. Islam lahir di tahun 610 Masehi, 40 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keberadaan Islam sebagai sebuah agama bisa dibilang baru muncul setelah Yahudi dan Kristen eksis di Timur Tengah. Saat hendak membangun Bait Suci, tempat ibadah umat Yahudi pada tahun 970 Sebelum Masehi, bangsa Israel memberikan sumbangan berupa uang, emas, perak atau permata. Menurut Kitab 1 Tawarikh 29:6-8 tertulis: “Lalu para kepala puak dan para kepala suku Israel dan para kepala pasukan seribu dan pasukan seratus dan para pemimpin pekerjaan untuk raja menyatakan kerelaannya. Mereka menyerahkan untuk ibadah di rumah Allah lima ribu talenta emas dan sepuluh ribu dirham, sepuluh ribu talenta perak dan delapan belas ribu talenta tembaga serta seratus ribu talenta besi.”  

Penulis: Monique RijkersFoto: Monique Rijkers

Di masa Romawi berkuasa di Israel, mata uang yang digunakan juga dirham dan dinar. Yesus dan murid-murid dikisahkan harus membayar bea untuk Bait Suci. Dalam Kitab Matius 17:24 tertulis: Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" Lalu pada saat orang banyak mengikuti Yesus, Yesus ingin memberi makan namun tidak ada makanan. Kitab Yohanes 6:7 tertulis, “Jawab Filipus kepada-Nya: "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja." Inilah yang memunculkan kisah lima roti dan dua ikan.  

Sedangkan merujuk pada sejarah Islam, dinar dan dirham diakui digunakan oleh Romawi dan Persia, bukan oleh orang Yahudi. Dari koleksi koin masa Islam milik Museum Inggris di London bisa diketahui gambar dan tulisan pada koin yang meniru bangsa-bangsa di wilayah yang ditaklukkan oleh Arab. Contoh yang ada misalnya dua koin dinar emas yang dicetak di Damaskus, Suriah tahun 690 Masehi.  Koin yang termasuk koin tertua ini meniru koin emas Kaisar Byzantium Heraklius (610-641 Masehi) dan kemudian menjadi standar koin di masa Umayyah. Tentu saja simbol salib, ciri koin Byzantium sudah dihilangkan. Sejak masa Khalifah Abd al-Malik tahun 697 Masehi, gambar pada koin-koin masa Islam mulai berkurang hanya ada tulisan Arab saja. Namun saya tidak menemukan ada koin dari Arab Saudi dalam kurun waktu sebelum 690 Masehi.  

Di masa Abbasiyah koin dinar emas dicetak tahun 750 Masehi di Damaskus, Suriah sebelum masa Umayyah berakhir atau di Kufa, ibukota Abbasiyah pertama. Saat khalifah al-Mansur membangun Baghdad tahun 762 Masehi mulai muncul koin perak yang disebut dirham. Pencetakan koin sangat aktif di masa khalifah Harun al-Rashid tahun 786 karena ada dua percetakan koin yakni di Baghdad, Irak dan Fustat, Mesir. Mata uang generasi awal ini bentuknya koin, uang kertas baru muncul belakangan di era Fatimiyah sekitar abad ke-14.  

Dalam film dokumenter produksi tahun 2018 “From Cairo To Cloud” yang mengangkat penemuan naskah-naskah kuno dari gudang buku sinagoga di kota tua Kairo yang kemudian dikenal sebagai Cairo Geniza, uang kertas sudah mulai digunakan dalam transaksi perdagangan antara orang Yahudi, Kristen dan Islam di masa Fatimiyah yang berpusat di Kairo, Mesir pada abad ke-14. Pada lembaran uang kertas itu akan ada gambar dan angka yang menunjukkan nilai uang tersebut dan tulisan dalam bahasa Koptik (bahasa yang berkembang di Mesir dan digunakan oleh komunitas Kristen di Mesir hingga saat ini). Selain penggunaan uang kertas, disebutkan juga mulai dikenalnya prinsip cek atau kertas yang bisa diuangkan sebagai cara bertransaksi masa itu. Mengacu pada manuskrip sejarah ini maka tidak bisa diklaim penggunaan mata uang kertas itu tidak islami.  

Transaksi dinar dan dirham mungkinkah? 

Jika selama ini dinar dan dirham hanya dianggap cocok untuk investasi, kenyataannya di masyarakat ada antusiasme untuk menggunakan koin dinar dan dirham sebagai mata uang untuk jual-beli. Pada Oktober 2019 silam beredar foto produk yang dijual di sebuah Pasar Muamalah di Tangerang, Banten dengan mencantumkan harga dalam dinar dan dirham. Pembeli yang hendak membeli harus menukar uang rupiah dengan koin dinar dan dirham. Padahal mengacu pada Undang-Undang Mata Uang, alat pembayaran yang di terjadi di Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah sebab hukuman penjara bisa diberikan kepada mereka yang melanggar, termasuk denda  200 juta rupiah. Bank Indonesia sejak tahun 2012 sudah melarang penggunaan mata uang dinar dan dirham sebagai alat tukar namun di Facebook, misalnya bisa ditemukan grup sosialisasi penggunaan koin dirham dan dinar.  

Bahkan sebuah situs menampilkan jumlah produsen atau unit usaha yang bersedia bertransaksi menggunakan dinar dan dirham yang mencapai 2729 unit di seluruh Indonesia per November 2019. Unit usaha terbanyak berada di Bandung, Jawa Barat. Dinar dan dirham yang diterima dalam jaringan perdagangan pada situs daring tersebut mengklaim sebagai koin dinar dan dirham yang resmi diterbitkan oleh para Sultan dan Amir muslimin dan sesuai dengan standar Islam yakni koin emas 4.25 gram berkadar 22 Karat dan koin perak 2.975 gram berkadar 99.9%. 1 dinar ditukar dengan Rp 3.050.000 dan 1 dirham senilai Rp 71.000. Sebuah jilbab misalnya dijual seharga 3 dirham dan sebuah telepon selular dihargai 53 dirham.  

Di Indonesia sendiri, lembaga resmi yang mengeluarkan koin dinar dan dirham adalah PT. Aneka Tambang Tbk. Koin 1 dinar ini didesain dengan gambar Masjidil Haram di bagian depan dan bagian belakang tulisan dua kalimat syahadat. Berat koin 1 dinar 4,25 gram dan bersertifikat. Dalam situs logammulia.com dinar dan dirham disebutkan dapat digunakan untuk pembayaran zakat dan mahar.  

Lebih penting cari duit cara halal  

Kegiatan jual-beli ini tentu perlu dipantau oleh pemerintah. Selain untuk mencegah penipuan penjualan koin dinar dan dirham palsu, juga untuk menghindari investasi bodong dengan dalih tidak akan rugi karena nilai emas yang stabil. Faktanya koin dinar dari emas ini jika dijual kembali nilainya akan berkurang dan dianggap perhiasan sehingga biaya pembuatan tidak akan digantikan. Sebaliknya investasi emas batangan tidak dianggap perhiasan sehingga tidak ada pemotongan biaya pembuatan.  

Di sisi lain, antusiasime masyarakat yang semakin islami dalam segala segmen kehidupan tentu dapat menghilangkan citra Indonesia yang plural. Alih-alih menjadi semakin semakin terbuka, dorongan penggunaan mata uang islami akan memberi kesan eksklusif yang tak perlu. Ukuran halal dan haram tentu bukan dilihat dari jenis mata uang yang digunakan tetapi dari cara mendapatkan uang itu. Mau pakai dinar atau dirham sekalipun…,  jika cara memperoleh uang dengan cara tidak benar, tentu saja tidak dapat membuat uang tersebut menjadi bebas pelanggaran. Uang hasil jualan narkoba dipakai beli dinar dan dirham misalnya tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal.   

Sebenarnya banyak hal yang jauh lebih penting daripada sekadar berurusan dengan jenis mata uang yang digunakan dalam keseharian. Korupsi contohnya. Apakah dengan mengganti mata uang rupiah dengan dinar dan dirham maka Indonesia akan bebas korupsi? Apakah penggelembungan dana anggaran proyek akan berhenti jika menggunakan dinar dan dirham?

Dengan mata uang apapun juga, idealnya kepentingan publik yang menjadi prioritas pemerintah dan uang yang ada itu digunakan sebesar-besarnya demi kebutuhan rakyat. Meski saya bukan pemeluk Islam, saya yakin tidak korupsi itulah prinsip ekonomi paling islami, cara menggunakan uang paling sesuai syariah dan pastinya yang paling halal. 

 

 

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
 
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.