Pemanasan global yang memicu lumernya es kutub dan pemanasan air laut picu kenaikan muka air laut dan suhu laut. Permukaan laut yang makin panas picu makin seringnya badai dengan kekuatan makin hebat.
Iklan
Pemanasan Global Picu Badai Makin Sering dan Kuat
04:09
Pemanasan global memicu terus naiknya muka air laut rata-rata 3 milimeter per tahun. Di satu sisi, kenaikan muka air laut itu akibat lumernya lapisan es di kutub. Dan di sisi lain, dampak pemuaian air laut akibat naikkya suhu. Terutama negara kepulauan seperti Indonesia dan Bangladesh yang terancam fenomena ini.
Dampak Perubahan Iklim Sudah Landa Dunia
Efek perubahan iklim sudah terasa. Pakar iklim peringatkan, jika kenaikan suhu global lebihi rata-rata 2 derajat Celsius, dampaknya akan fatal. Inilah beberapa bukti bencana yang sudah melanda akibat perubahan iklim:
Foto: picture-alliance/dpa
Kabut Asap Cekik Asia Tenggara
Kebakaran hutan di Indonesia yang dipicu fenomena iklim El Nino, durasinya bertambah panjang dari biasanya. Akibatnya negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand dicekik kabut asap berbulan-bulan. Kuala Lumpur disergap asbut berminggu-minggu (foto). Beberapa kali pemerintah negara jiran terpaksa meliburkan sekolah dan Kantor pemerintahan, akibat kadar cemaran lebihi ambang batas aman.
Foto: MOHD RASFAN/AFP/Getty Images
Masalah Kesehatan Dipicu Kabut Asap
Kalimantan dan Sumatra sudah langganan disergap kabut asap akibat kebakaran hutan. Tapi serangan kabut asap tahun ini jauh lebih hebat dan panjang dibanding tahun tahun sebelumnya. NASA melaporkan penyebabnya: fenomena iklim El Nino yang Alami perubahan pola. Akibatnya lebih 500.000 warga menderita infeksi saluran pernafasan akibat kabut asap.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Smog di Cina Berkategori Berbahaya
Kadar Smog di Cina telah lewati ambang batas aman yang ditetapkan WHO. Ibukota Beijing dan sejumlah kota besar lainnya menderita tercekik Smog yang terutama berasal dari pambakaran batubara secara intensif. Ekonomi Cina sangat tergantung dari pembangkit listrik batubara. Dampaknya adalah masalah kesehatan bagi jutaan warga
Foto: Getty Images/K. Frayer
Neraka Kebakaran Hutan
Amerika juga tak luput dilanda dampak perubahan iklim. Kebakaran hutan di California September 2015 melalap kawasan ribuan Hektar. Lebih 10.500 pemadam kebakaran dikerahkan. Tapi tetap saja api melumat 1400 rumah milik warga. Api menyala sendiri akibat kemarau panjang dan kekeringan hutan yang dipicu fenomena iklim El Nino.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Sosial Dipicu Kemarau Panjang
Kemarau panjang dan kekeringan dipicu perubahan iklim, timbulkan masalah sosial berat di negara berkembang. Terutama anak perempuan yang jadi korban. Organisasi bantuan "Kindernothilfe" mencatat, kasus perkawinan dini meningkat. Pasalnya orang tua tak mampu lagi memberi makan keluarganya. Menikahkan dini anak perempuan berarti satu beban berkurang dan dari uang mahar anak lain bisa diberi makan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
Banjir Makin Kerap Datang
Di belahan bumi lainnya terjadi fenomena kebalikan. Curah hujan makin tinggi dan badai makin sering melanda. Banjir yang tak kenal musim memaksa jutaan orang bermigrasi. Angka kemiskinan hingga 2030 diramalkan meningkat drastis. Bencana lingkungan di kawasan Afrika dan Asia Selatan memicu gagal panen, kelaparan dan wabah penyakit.
Foto: picture-alliance/dpa
Angin Topan Membuat Sengsara
Ini bukan pemandangan mistis, melainkan citra udara dari atas pulau Luzon di Filipina yang tergenang banjir setelah dilanda angin topan. Ratusan tewas akibat tanah longsor dan banjir. 50.000 warga jadi tuna wisma dan terpaksa mengungsi. Filipina dilanda 20 topan hebat setiap tahunnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Eropa Juga Terimbas
Pemanasan global dan perubahan iklim juga berdampak di Eropa. Sungai Rhein yang melintasi beberapa negara dan penting sebagai urat nadi lalu lintas air, kini nyaris kering akibat tak turun hujan selama berbulan-bulan. Dampak ekonominya, transportasi barang kini mengandalkan moda darat yang jauh lebih mahal.
Foto: picture-alliance/dpa
Terumbu Karang Mati massal
Kematian massal terumbu karang juga melanda kawasan luas di bawah laut. Terumbu karang ini berwarna pucat, sebuah indikasi koloni binatang ini nyaris mati. Koral Yang sehat berwarna indah cemerlang. Pemicu kematian massal terumbu karang adalah makin hangatnya suhu air laut, yang memicu stress dan pertumbuhan ganggang beracun.
Foto: imago/blickwinkel
Beruang Kutub Terancam Punah
Beruang kutub menjadi simbol bagi perubahan iklim. Akibat lumernya lapisan es abadi di kutub utara, binatang ini kehilangan habitat alaminya. Tidak ada lapisan es, berarti beruang kutub tidak bisa berburu mangsanya dan akan mati kelaparan. Ramalan pesimistis menyebutkan: hingga 2050 populasi beruang kutub akan menyusut hingga tinggal 30 persen dari populasi saat ini.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Sejauh ini, ada anggapan bahwa naiknya muka air laut, hanya dipicu lumernya lapisan es di kutub. Tapi, dampak pemuaian air laut di samudra antara benua, jauh lebih besar ketimbang perhitungan sebelumnya.
Prof. Jürgen Kusche dari Institut Geodesi dan Geoinformasi di Bonn menjelaskan : Kami memonitor 12 tahun terakhir ini. Dalam kurun waktu ini air laut naik 3 milimeter pertahun.
Dulu, diduga seperempatnya dipicu pemuaian air laut yang suhunya naik. Tapi belakangan kami menyimpulkan, bahwa kontribusi pemuaian air laut mencapai 50 persen."
5 Penyakit yang Bisa Dipicu oleh Pemanasan Global
Suhu lebih hangat berarti virus yang beku bisa meleleh, serangga pembawa penyakit bisa bepergian lebih jauh dan penyebaran penyakit akan menjadi global. Berikut lima penyakit yang bisa dipicu oleh perubahan iklim.
Foto: Reuters/P. Askin
Antraks
Agustus 2016, seorang anak meninggal dunia di Siberia akibat antraks dan 20 warga didiagnosa terjangkit bakteri berbahaya itu. Antraks juga membunuh 2300 rusa di wilayah tersebut. Antraks berasal dari bangkai rusa yang mati 75 tahun lalu saat terakhir kali antraks menyebar disana. Bangkai yang selama ini membeku mencair akibat naiknya suhu dan mengaktifkan kembali bakteri yang ada di dalamnya.
Foto: Reuters
Kolera
Menurut pakar penyakit menular Dr. David M. Morens: "Kolera ada berada dalam peringkat teratas di daftar penyakit yang harus diwaspadai karena perubahan iklim. Kolera mudah mewabah di suhu hangat. Jadi semakin hangat bumi, semakin berbahaya."
Foto: AP
Zika dan Virus Nil Barat
Nyamuk Aedes aegypti adalah pembawa utama virus Zika. Para ilmuwan memperingatkan, dengan suhu yang terus meningkat dan sebanding dengan daerah tropis, nyamuk akan lebih luas jangkauan penyebarannya. Menurut hasil studi UCLA, hal yang sama akan terjadi dengan penyebaran virus Nil Barat yang dibawa oleh nyamuk Culex.
Foto: Reuters/U. Marcelino
Penyakit Lyme
Jumlah penderita penyakit Lyme meningkat drastis. 11.700 kasus dilaporkan tahun 1995, dan di tahun 2013 jumlahnya 27.203. Penyakit bakterial ini menyebabkan kelelahan, demam, sakit sendi, ruam kulit dan komplikasi pada sistem saraf. Udara yang lebih hangat berarti telur caplak akan lebih cepat menetas, sehingga caplak punya kesempatan lebih besar untuk mencari manusia yang bisa diinfeksi.
Foto: AP
Virus Tak Dikenal
Semakin banyak virus "kuno" yang terbangun dari tidurnya akibat pemanasan global. Sejak 2003 setidaknya ada 4 yang diketahui. Virus terakhir adalah Mollivirus sibericum, virus raksasa berumur 30.000 tahun yang hanya bisa menginfeksi organisme bersel tunggal, tidak manusia maupun hewan. Walau demikian, ilmuwan memperingatkan akan kemunculan virus-virus patogen baru. vlz/yf (berbagai sumber)
Foto: Reuters/P. Askin
5 foto1 | 5
Menghitung efek pemanasan via satelit
Tim peneliti dari Universitas Bonn menghitung berdasarkan data terbaru dari satelit. Efek pemanasan dalam 12 tahun terakhir, ternyata dua kali lebih tinggi dari perkiraan semula. Penghitungan menggunakan proses yang didukung satelit, mampu melacak rinci pemuaian air laut.
Pertanyaannya: jika pemuaian air laut kontribusinya lebih besar pada kenaikan muka air laut, apakah berarti 12 tahun terakhir volume es yang lumer lebih sedikit? Logika ini muncul, karena kenaikan muka air laut tetap konstan pada level 3 milimeter per tahun.
Namun hitungannya tidak begitu. Sebab samudra juga menyerap panas dalam jumlah besar. Dr.-Ing. Roelof Rietbroek dari Institut Geodesi dan Geoinformasi di Bonn menjelaskan lebih lanjut: “Artinya, samudra suhunya lebih panas dari perkiraan. Ini menarik, karena samudra yang lebih panas, adalah sumber badai. Kita bisa meramal, samudra yang lebih panas, akan lebih sering memicu badai lebih kuat.“
Seiring naiknya suhu air laut, makin banyak panas dilepas dalam bentuk uap air. Sebuah suntikan energi untuk atmosfir. Ini memicu munculnya siklon, dibarengi hujan lebat dan banjir. Pasalnya uap air kembali ke bumi berupa hujan.
Pemenang dan Pecundang Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim tak hanya merugikan keragaman hayati. Ada juga yang diuntungkan. Serangga adalah indikator dari pemenang dan pecundang dampak perubahan iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Tawon Kepanasan
Pemanasan global menciutkan habitat tawon besar di Amerika Utara dan Eropa. Hewan penyerbuk ini gampang kepanasan dan mati gara-gara tubuhnya yang berbulu dan elatif lebih besar ketimbang lebah serta warna gelapnya. Tawon besar juga sulit melakukan migrasi ke kawasan lebih sejuk karena pakannya tergantung pada spesies tanaman tertentu.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Lebah Madu Bersaing Ketat
Lebah madu bisa selamat dalam ekosistem lebih panas. Tapi dampak perubahan iklim bisa membingungkan lebah madu, karena tanaman berbunga jauh lebih awal. Jika terlambat bereaksi, jumlah nektar yang tersedia di saat lebah aktiv mengumpulkan madu sudah jauh menurun. Akibatnya terjadi persaingan ketat dengan serangga jenis lain dalam memanen nektar.
Foto: Colourbox.com
Kupu-Kupu Menderita
Kupu-kupu bersayap motf kotak (lat. Euphydryas editha) habitatnya di kawasan pantai Pasifik di Amerika Utara, dan makanan utamanya adalah bunga tumbuhan semak. Akibat pemanasan global, tumbuhan ini dewasa lebih dini. Akibatnya ulat yang akan jadi kepompong terlambat menggemukan diri. Dampakny, populasi kupu-kupu menurun drastis.
Center for Biological Diversity memprediksi lalat glasial (Zapada glacier) akan terancam musnah. Habitat serangga ini adalah aliran air lelehan glasial di taman nasional Montana AS. JIka kualitas air memburuk, serangga ini bisa terancam musnah.
Foto: picture-alliance/dpa/Joe Giersch/U.S. Geological Survey via AP
Belalang Kritis
Belalang Beydaglari (lat. Psorodonotus ebneri) kondisinya kini kritis. Hewan ini habitatnya sempit di Gunung Tantali pada ketingian 1.800 meter. Belalang ini tidak bisa terbang hingga sulit melakukan migrasi ke kawasan lain yang masih menunjang kehidupannya.
Foto: Battal Ciplak
Kutu Sengkenit Berkembang Biak
Perubahan iklim juga bisa menguntungan serangga tertentu. Kutu sengkenit (lat. keluarga Ixodes ) justru berkembang biak lebih cepat pada kondisi suhu lebih hangat. Vektor penyakit Lyme yang berbahaya bagi manusia, kini habitatnya makin meluas di kawasan bermusim empat. Penyebabnya, musim dingin yang makin pendek. Pengidap Lyme di AS kini berlipat dua.
Semut Merak Merebak
Pemanasan global juga mendorong perkembangbiakan semut merah (lat. genus: Solenopsis). Semut omnivora ini terkenal agresif dengan mangsa dari mulai serangga, cacing, kutu serta laba-laba. Teritorial semut merah makin meluas, karena perubahan iklim memungkinkan binatang ini hidup di kawasan yang dulunya mematikan mereka.
Foto: Colourbox/P. Chaisanit
Hama Kepik Rakus
Kepik hijau (lat. familiy Pentatomidae.) habitat aslinya adalah kawasan hangat di Laut Tengah, Timur Tengah, Afrika, Australia dan Amerika Utara. Tapi beberapa tahun silam, binatang hama ini ditemukan di Inggris yang habitatnya lebih dingin dan secara teoritis tidak memungkinkan kehidupannya. Hama ini merugikan petani Inggris karena menggagalkan panen.
Foto: imago/blickwinkel
Nyamuk Aedes Berkembang Pesat
Nyamuk Aedes yang jadi vektor penyakit demam berdarah Dengue, chikungunya, dan West Nile diuntungkan dengan makin hangatnya temperatur global. Populasi nyamuk meningkat drastis dan habitatnya juga meluas hingga ke kawasan Eropa. wabah penyakit yang dulunya khas Asia atau Afrika kini juga mulai jadi masalah di Eropa.
Foto: picture alliance/Mary Evans Picture Library
9 foto1 | 9
Intensitas badai makin meningkat
Makin tajam perbedaan suhu, maka badai juga akan makin kuat. Para ilmuwan memperingatkan, akibat perubahan iklim, fenomena cuaca ekstrim juga akan makin sering melanda. Kerugian akibat badai dan banjir, akan berlipat dua hingga tahun 2100.
Kawasan pesisir Asia Selatan yang terutama akan dilanda fenomena ini. Muka air laut naik lebih cepat di India dan Bangladesh. Hingga akhir abad ke 21 ini, sedikitnya 500 juta orang di seluruh dunia, akan menderita dampak naiknya muka air laut.
Mengurangi Emisi Global
Kalangan pakar berkali-kali menekankan bahwa emisi gas rumah kaca global terus meningkat. Tanpa perubahan yang radikal, generasi penerus akan hidup di bumi yang jauh lebih hangat. Namun ini masih bisa dicegah.
Foto: dapd/O. Lang
Membantu Generasi Penerus
Tren kenaikan emisi gas rumah kaca masih bisa dibalikkan. Menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), energi terbarukan dapat memenuhi hampir 80 persen kebutuhan energi global pada tahun 2050.
Foto: Frederico di Campo - Fotolia.com
CO2: Keprihatinan Utama
Karbondioksida dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim. Kalau manusia terus menghasilkan CO2 seperti sekarang, rata-rata suhu bumi akan naik 6 derajat Celsius pada akhir abad ini, menurut temuan sebuah studi.
Foto: dapd/O. Lang
Harus Berpikir Ulang
Meski ingin keluar dari energi nuklir, Jerman masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Menurut IPCC, umat manusia hanya dapat menghentikan pemanasan global dengan meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Karena alasan ini, 80-90 persen cadangan batubara, minyak bumi dan gas yang masih ada tidak boleh disentuh.
Foto: Sean Gallup/Getty Images
Energi Bebas CO2
Tim riset dari Pusat Penerbangan dan Antariksa Jerman (DLR) memprediksi kombinasi sumber energi global pada tahun 2050. Dari total energi yang dibutuhkan, 28 persen bisa tertutupi oleh tenaga surya, 24 persen datang dari energi panas bumi, 15 persen dari biomassa, 10 persen terpenuhi dari tenaga angin dan 4 persen dari tenaga air.
Foto: picture-alliance/dpa
Membangun ke Atas
Teknologi yang diperlukan untuk transisi energi global sudah tersedia. Nantinya lebih banyak rumah akan terlihat seperti Solar Settlement ini di Freiburg, bagian barat daya Jerman. Dalam komunitas 59 rumah ini, setiap bangunan memproduksi lebih banyak energi ketimbang yang dikonsumsi.
Foto: Rolf Disch Solararchitektur
Harus Lebih Efisien
Kompleks menara dari tahun 1968 ini baru saja diinsulasi ulang dan setiap apartemen dilengkapi sistem ventilasi baru, mengurangi biaya energi hingga 80 persen. Bangunan ini juga terletak di Freiburg.
Foto: PresseCompany GmbH Stuttgart/DW Fotomontage
Aturan Penghematan Energi
Standar aturan dan standar energi juga dapat membantu menghemat penggunaan energi. Lampu LED modern hanya membutuhkan sepersepuluh energi yang diperlukan bohlam lampu tradisional. Pelarangan secara bertahap dalam menjual bohlam tradisional di Uni Eropa telah berhasil mempercepat peralihan.
Foto: Lightcycle.de
Efisiensi Skala Besar
Taman energi angin ini memenuhi kebutuhan energi sekitar 1.900 rumah di Jerman. Tenaga angin saat ini menyuplai 30 persen kebutuhan listrik di Denmark, 10 persen di Jerman dan 3 persen di Cina. Di tingkat global, energi angin merupakan sumber energi yang berpotensi besar untuk tumbuh.
Foto: Jan Oelker
Tumbuh Tanpa Pemanasan Global
Seperti di Ethiopia, pekerjaan baru dan energi murah tanpa emisi CO2 adalah sesuatu yang mungkin, menurut para ahli. Tidak hanya penting dalam menghentikan pemanasan global, namun mereka berargumen bahwa transisi ke ekonomi hijau juga dapat membantu pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.
Foto: Stiftung Solarenergie
9 foto1 | 9
“Kita perlu beragam strategi. Ada kawasan yang bisa melakukan adaptasi, dengan mempertinggi tanggul. Ada juga kawasan yang harus ditinggalkan. Kita harus mengkaji kawasan per kawasan, untuk menghitung ongkosnya. Kita harus memikirkannya dari sekarang", papar Prof. Jürgen Kusche lebih lanjut.
Kenaikan terus menerus muka air laut kini sudah tidak bisa direm lagi. Jika membangun tanggul terlalu mahal, warga harus diberi stimulasi agar meninggalkan kawasan yang akan tenggelam. Baik lewat pemberian pekerjaan maupun rumah baru di daratan yang jauh dari kawasan pantai.
Kontroversi Teknik Rekayasa Iklim Bumi
Sebuah evaluasi terhadap reaksi publik atas konsep rekayasa iklim bumi menunjukkan bahwa banyak orang memandang negatif manipulasi yang disengaja terhadap lingkungan untuk mengatasi perubahan iklim. Mengapa?
Foto: Reuters
Menangkal Perubahan Iklim
Riset menunjukkan bahwa iklim bumi berubah akibat kenaikan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fossil. Periset tengah mengerjakan teknik rekayasa iklim bumi - manipulasi lingkungan berskala besar yang disengaja - untuk melawan perubahan iklim. Namun sebuah studi memperlihatkan bahwa tidak semua pendekatan disetujui publik.
Foto: AP
Tidak Mungkin Kembali
Studi Universitas Southampton dan Universitas Massey menyatakan: "Perubahan iklim sedang terjadi. Dampak dan biayanya akan sangat besar, serius dan tersebar tidak merata." Suhu beku di Amerika Utara, topan di Asia dan suhu musim semi saat musim dingin di Jerman merupakan contoh-contoh konsekuensi perubahan iklim. Solusinya? Kalangan peneliti menawarkan rekayasa iklim bumi.
Foto: Getty Images
Memantulkan Sinar Matahari
Salah satu teknik rekayasa adalah menaruh kaca-kaca di luar angkasa yang diarahkan ke matahari. Teknik manajemen radiasi surya ini berusaha mengimbangi dampak gas rumah kaca dengan mengurangi jumlah sinar matahari yang mencapai permukaan bumi. Namun menurut studi, publik menganggap pendekatan ini terlalu mahal dan berisiko, mengkhawatirkan kemungkinan efek samping.
Foto: Meek Tore/AFP/Getty Images
Partikel di Stratosfer
Pendekatan lain dari manajemen radiasi surya adalah menggunakan balon terikat untuk menaruh partikel di stratosfer. Partikel-partikel ini dapat menciptakan efek peredupan global, sehingga perlahan mengurangi jumlah irradiansi langsung pada permukaan bumi. Namun studi memperlihatkan bahwa publik tidak yakin dengan ide ini dan lebih memilih pendekatan yang memanfaatkan proses alamiah.
Foto: picture-alliance/dpa
Mencerahkan Awan
Contoh pendekatan yang lebih diterima adalah pencerahan awan. Teknik ini termasuk menyiramkan air laut ke atmosfer, sehingga mengubah jumlah air yang terdistribusi di awan, membuatnya lebih putih dan tebal. Dengan begini, radiasi berlebihan dari matahari terpantulkan. Namun efek negatif dari teknik ini belum dapat ditentukan dan menurut studi, teknik ini masih harus diriset lebih lanjut.
Foto: magann - Fotolia.com
Meningkatkan Pelapukan
Pendekatan lain yang disetujui oleh publik tersurvei adalah memperbaiki kerusakan karena iklim. Teknik ini melibatkan penggilingan atau memanaskan mineral untuk meningkatkan laju peluluhannya selama ini oleh karbondioksida dalam atmosfer. Batu kapur yang diciptakan akan menjebak karbondioksida selama ribuan tahun. Sisi buruknya? Proses ini membutuhkan banyak air.
Foto: Dave Craw
Biochar atau Arang Hayati
Salah satu pendekatan rekayasa iklim bumi yang disukai publik adalah menciptakan biochar, yakni arang yang terbuat dari vegetasi untuk mengikat karbondioksida. Biochar bahkan dapat menyimpan gas rumah kaca dalam jumlah besar di dalam tanah selama berabad-abad, berpotensi mengurangi pertumbuhan tingkat gas rumah kaca. Namun mungkin kontroversial apabila lahan untuk pangan digunakan untuk biochar.
Foto: picture-alliance/dpa
Dibutuhkan Tindakan
Riset rekayasa iklim bumi masih berada dalam tahap awal dan butuh waktu hingga efek negatif dikesampingkan dan sejumlah teknik dapat diterapkan. Sementara para pemimpin global, seperti terlihat pada konvensi PBB di Warsawa, terus membahas cara mengurangi emisi gas rumah kaca. Debat mengenai rekayasa iklim bumi kemungkinan besar akan melebar ke berbagai penjuru bumi.