AI: Pemasok Apple, Sony, Samsung Gunakan Pekerjakan Anak
Cherie Chan, afp (youtube)19 Januari 2016
Amnesty International (AI) melaporkan, industri kobalt di Kongo mempekerjakan anak di bawah umur. Industri ini memasok perusahaan teknologi dan mobil perusahaan Cina yang dipasarkan secara global.
Foto: Amnesty International/Afrewatch
Iklan
"Saya menghabiskan waktu 24 jam di dalam terowongan. Saya tiba pada pagi hari dan akan pulang keesokan harinya. Ibu angkat saya tadinya ingin menyekolahkan saya , tapi ayah angkat saya menentangnya, ia memaksa saya bekerja di tambang." Ungkap Paulus, seorang anak yatim piatu berusia 14 tahun yang mulai bekerja di pertambangan kobalt pada usia 12 tahun. Ia menceritakan kisah hidupnya pada para peneliti dari Amnesty International (AI) tentang kondisi kerja yang berbahaya yang dihadapi oleh penambang kobalt di selatan Republik Demokratik Kongo (DRC).
Laporan terbaru yang dirilis organisasi yang bermarkas di London itu mendokumentasikan kondisi berbahaya yang dialami anak-anak - sebagian masih berusia tujuh tahun - dan orang dewasa yang bekerja di tambang kobalt.
Rantai pasokan dunia
Kobalt adalah mineral kunci dalam baterai lithium-ion yang dapat diisi ulang. Mineral ini digunakan untuk kebutuhan baterai ponsel pintar, laptop dan mobil listrik. Diperkirakan bahwa lebih dari setengah dari total pasokan kobalt di dunia berasal dari Kongo.
Dengan menelusuri bagaimana mineral itu diperdagangkan, laporan tersebut mengungkapkan bahwa penambang di wilayah selatan Kongo menjual bijih kobalt untuk pedagang independen, yang kemudian menjualnya kepada perusahaan besar untuk pengolahan dan ekspor.
Berupah Minim: Nasib Buruh Anak di Asia
Mereka bekerja di bidang pertanian, pertambangan, pabrik atau bidang pelayanan. Menurut perkiraan Organisasi Buruh Internasional (ILO), di seluruh dunia sekitar 168 juta anak terjerumus jadi pekerja berupah minim.
Foto: AFP/Getty Images
Peringatan Tiap Tahun
Tiap tanggal 12 Juni, PBB memperingatkan nasib pekerja anak-anak di seluruh dunia yang diperkirakan 168 juta. Tahun 1999 negara anggota Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyepakati konvensi menentang bentuk terburuk pekerjaan anak-anak. Kesepakatan itu ditujukan bagi anak-anak di bawah 18 tahun dan antara lain melarang perbudakan serta prostitusi.
Foto: imago/Michael Westermann
Handuk "Made in India"
Pekerja anak-anak di Tamil Nadu, India Selatan. Di pabrik ini misalnya diproduksi handuk. Anak ini hanya satu dari jutaan lainnya. ILO memperkirakan, di Asia jumlahnya hampir 78 juta. Dengan kata lain, hampir 10% anak-anak antara lima dan 17 tahun dipaksa bekerja.
Foto: imago/imagebroker
Bekerja, bukan Bersekolah
Mereka tidak bisa membaca serta menulis, dan mereka harus membuat batu bata. Akibat kemiskinan, banyak anak India harus ikut mencari nafkah bagi keluarga. Anak-anak bekerja sepuluh jam per hari, dan upah harian hanya sekitar 10.000 Rupiah.
Foto: imago/Eastnews
Tenaga Kerja Murah
Menurut data sensus terakhir di India, sekitar 12,6 juta anak menjadi pekerja. Mereka menjajakan dagangan di jalanan, menjahit, memasak juga membersihkan restoran, memetik kapas di ladang atau membuat batu bata. Semua itu hanya untuk upah sedikit. Upah pekerja anak-anak hanya sepertiga dari yang diperoleh pekerja dewasa untuk pekerjaan sama.
Foto: imago/imagebroker
Kondisi Sesuai Harkat Sebagai Manusia
Setengah dari seluruh pekerja anak-anak melakukan pekerjaan yang dianggap berbahaya. Demikian laporan ILO tahun 2013. Mereka mencari nafkah di tambang batu atau perkebunan komersial. Mereka juga bekerja di malam hari, bekerja terlalu lama dan sebagian diperlakukan seperti budak. Di samping itu semua, tidak ada kontrak kerja dan jaminan sosial.
Foto: AFP/Getty Images
"Made in Bangladesh"
Di Bangladesh pekerja anak-anak juga ada di mana-mana. Menurut keterangan Badan PBB urusan Anak-Anak (UNICEF), di negara itu sekitar lima juta anak harus ikut mencari nafkah dan bekerja dalam kondisi seperti budak. Misalnya di industri tekstil, sektor ekspor terbesar negara itu. Hasil kerja mereka dibeli konsumen di negara industri kaya.
Foto: imago/Michael Westermann
Sendirian di Kota Metropolitan
Di Kamboja, hanya sekitar 60% anak-anak bersekolah. Lainnya sudah ikut mencari nafkah bersama orang tuanya. Ribuan lainnya mencari uang sendirian di jalan-jalan, misalnya di ibukota Phnom Penh.
Foto: picture-alliance/dpa
Daftar Panjang
Memang jumlah pekerja anak-anak di seluruh dunia berkurang sejak tahun 2000. Pekerja anak perempuan berkurang 40%, dan anak laki-laki 25%. Tetapi pekerja anak-anak masih bisa dijumpai di banyak negara Asia. Di samping India, Bangladesh dan Kamboja, juga di Afghanistan (foto), Nepal dan Myanmar.
Foto: AFP/Getty Images
8 foto1 | 8
Salah satu pembeli kobalt terbesar dari wilayah ini adalah Congo Dongfang Mining International (CDM). Perusahaan ini merupakan anak perusahaan Cina yang bermarkas di Zhejiang: Huayou Cobalt - salah satu produsen kobalt terbesar di dunia.
Produk kobalt yang diproduksi di Huayou Cobalt kemudian dijual ke produsen komponen baterai di Cina dan Korea Selatan. "Mereka lalu menjuanyal kepada pembuat baterai yang mengaku memasok perusahaan teknologi dan otomotif, termasuk Apple, Microsoft, Samsung, Sony, Daimler dan Volkswagen," demikian ungkap organisasi hak asasi manusia tersebut.
Kondisi pekerja anak
Anak-anak yang bekerja berjam-jam di tambang kobalt ini juga harus mengangkut beban berat bijih yang ditambang, kisarannya antara 20-40 kilogram. Mereka juga bekerja tanpa alat pelindung seperti sarung tangan dan masker wajah.
Menurut Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), paparan butiran halus dalam kandungan kobalt bisa mengakibatkan penyakit paru-paru yang berpotensi fatal. DCD menyebutkan, menghirup partikel kobalt juga dapat menyebabkan "gangguan pernapasan, asma, sesak napas, dan penurunan fungsi paru.“
Meskipun penambang anak tidak bekerja langsung untuk CDM, menurut AI, mereka merupakan bagian aktif dari rantai pasokan mineral perusahaan.
Penggunaan pekerja anak di pertambangan-pertambangan di Kongo, telah tertangkap media sejak beberapa tahun lalu. seperti dalam video berikut ini:
Peraturan saat ini
Saat ini ada pedoman internasional yang mewajibkan perusahaan multinasional untuk mengamati perlindungan hak asasi manusia dalam rantai pasokan mereka, terlepas dari lokasi di mana perusahaan-perusahaan itu beroperasi dan terlepas dari kemauan negara tuan rumah untuk memenuhi kewajiban HAM-nya. Namun panduan itu tidak mengikat secara hukum.
Dr. Zhang Yihong, seorang peneliti di University of Helsinki yang fokus pada hukum perburuhan Cina, menyebutkaan, perusahaan Cina cenderung mengeksploitasi lemahnya supremasi hukum di negara-negara tuan rumah dalam mengejar keuntungan mereka. "Ini berarti jika hukum lokal tidak memadai atau dirancang untuk menegakkan HAM dan hak-hak anak, sangat mungkin bahwa beberapa perusahaan akan dapat keuntungan dari menurunkan standar lingkungan kerja dan operasional mereka," dikatakan Dr. Zhang Yihong.
Menanggapi permintaan AI tentang kebijakan uji kepatutan perusahaan, Huayou Cobalt berdalih bahwa perusahaannya "telah menyeleksi ketat" pemasok mereka dan menyatakan bahwa mereka telah mengembangkan kode etik bagi pemasoknya, guna memastikan bahwa "tidak ada pekerja anak yang diizinkan bekerja dalam proses penyediaan barang dan jasa."
Namun, menurut AI, Hauyou gagal untuk memberikan rincian tentang bagaimana mereka memilih pemasok dan memeriksa sumber pasokan yang tepat dari mineral yang mereka beli.
AI mengkritik kegagalan perusahaan-perusahaan global dalam memastikan bahwa kobalt yang ditambang oleh pekerja anak tidak boleh digunakan dalam produk mereka. "Banyak perusahaan multinasional mengatakan, mereka menerapkan kebijakan toleransi nol pekerja anak. Tapi janji ini tidak ada artinya dalam dokumen tertulis, jika perusahaan tidak menyelidiki pemasok mereka. Klaim mereka tidak kredibel," ungkap peneliti AI, Mark Dummett.
Potret Muram Buruh Anak di Indonesia
Di mana kemiskinan merebak, di situ anak-anak dipekerjakan. Kesimpulan Organisasi Buruh Dunia itu juga berlaku buat Indonesia. Negara kita menampung hingga 2,3 juta buruh anak. Dan pemerintah kewalahan.
Foto: picture alliance/C. Leimbach/Robert Harding
Konsentrasi di Timur Indonesia
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, saat ini terdapat sekitar 2,3 juta buruh anak di Indonesia. Data tersebut mencakup bocah yang berusia antara 5 hingga 17 tahun. Menurut badan PBB itu, sebagian besar pekerja anak di Indonesia terdapat di bagian timur.
Foto: WEDA/AFP/Getty Images
Papua dan Sulawesi
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, buruh di bawah umur di Papua mencapai 34,7 persen dari total pekerja. Sementara di tempat kedua adalah Sulawesi Utara yang menampung 20,4 persen buruh anak dan Sulawesi Barat sebesar 19,82 persen.
Foto: picture alliance/M. Norz
Bertani Atau Jadi Buruh
Sebagian buruh anak di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Sementara sisanya terbagi antara sektor jasa dan manufaktur. ILO mengklaim, bocah yang bekerja di sektor jasa kebanyakan menjadi pembantu rumah tangga.
Foto: picture alliance/C. Leimbach/Robert Harding
Nol Buruh Anak di 2022
Kementrian Ketenagakerjaan berambisi menghapus buruh anak di Indonesia hingga tahun 2022. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memberikan perlindungan sosial buat anak di bawah umur dan pelatihan buat masyarakat, serikat pekerja dan perusahaan.
Foto: picture alliance/dpa/M. Irham
Lingkaran Kemiskinan
Tantangan terbesar dalam mengurangi pertumbuhan buruh anak adalah minimnya akses pendidikan dan kemiskinan. Dari jumlahnya yang mencapai jutaan, pemerintah baru berhasil menyekolahkan hingga 50.000 buruh anak.
Foto: picture alliance/Robert Harding
Potret Bocah Miskin Perkotaan
Sebagian bocah dipaksa bekerja sebagai anak jalanan. Data Kementerian Sosial menyebut terdapat sekitar 230.000 anak jalanan di Indonesia. 8000 di antaranya berada di Jakarta. Dari jumlah tersebut, tidak sampai setengahnya yang masuk dalam jaringan pengaman sosial.
Foto: B. Ismoyo/AFP/Getty Images
Rumah Penampungan
Dinas Sosial pemerintahan DKI sejauh ini telah membuka 56 rumah singgah buat anak-anak jalanan. Jumlah yang bisa ditampung sekitar 3000 bocah. Namun seringkali anak-anak itu kembali ke pekerjaan lama, ketimbang duduk di bangku sekolah.
Foto: picture alliance/dpa/A. Rante
Membantu Ekonomi Keluarga
Penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2009 silam mengungkap, 71 persen anak jalanan mengaku bekerja secara sukarela untuk membantu perekonomian keluarga, enam persen lain mengklaim dirinya dipaksa dan 15 persen buat membiayai sekolah. Ketika mengemis dan mengamen tidak lagi mendatangkan uang, anak-anak terkadang menjadi pemulung.
Foto: picture alliance/AP Photo/B. Bakkara
Rentan Kemiskinan
Kemiskinan anak adalah masalah lain yang dihadapi Indonesia. Menurut sensus penduduk terakhir, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mencatat 51 persen bocah di Indonesia rentan kemiskinan, sementara 28 persen lain saat ini tergolong miskin.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
Tanpa Gizi, Tanpa Pendidikan
Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menyebut saat ini 17,9 persen balita di Indonesia mengalami kekurangan gizi. Situasi muram juga bisa ditemui di bidang pendidikan. Menurut data Profil Anak Indonesia 2011 lalu: 8,12 persen anak usia 5-17 tahun masih berstatus tidak sekolah dan 9,3 persen malah belum pernah sama sekali mengecap pendidikan.