1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pembantu Rumah Tangga Migran Berkualifikasi Tinggi

Jordanova-Duda, Matilda11 Juni 2013

Jutaan tenaga kerja berkualifikasi bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Harga untuk itu mahal: Kondisi kerja yang buruk dan hidup secara ilegal.

ARCHIV - Eine Frau mit Lappen und Eimer putzt am 14.01.2004 (Illustration). Eine in Deutland als Putzfrau arbeitende Polin hat jetzt ein Buch über ihre Arbeit geschrieben. Unter dem Pseudnym Justyna Polanska hat sie "Unter deutschen Betten - Eine polnische Putzfrau packt aus" veröffentlicht. Foto: Ralf Hirschberger dpa/lbn (zum dpa-KORR "Essensreste und tote Hamster - Eine Putzfrau packt aus" vom 18.01.2011) +++(c) dpa - Bildfunk++
Pekerja rumah tangga asal Polandia di JermanFoto: picture alliance/dpa

Rosi Torres berasal dari Amerika Latin. Sejak 10 tahun tinggal ilegal di Jerman dan bekerja gelap. Nama aslinya berbeda dan tidak ingin negara asalnya diketahui. Profesinya sebetulnya pakar topografi, tapi di negara asalnya ia lama menganggur. Ia butuh uang untuk biaya kuliah anaknya, juga obat diabetes dan jantung orang tuanya. Karenanya setiap hari ia membersihkan rumah di berbagai rumah tangga di Jerman dan mengirim sebagian upah untuk keluarganya.

Rosi Torres bukan kasus tunggal. Banyak pembantu rumah tangga berpendidikan tinggi, kata Kyoko Shinozaki. Pakar sosiologi Jepang ini melakukan riset di Universitas Bochum tentang migrasi kerja internasional dan keluarga transnasional Asia-Eropa. "Mereka ingin bekerja sesuai profesinya, tapi di negara asalnya tidak melihat prospek kemajuan karir atau gajinya tidak mencukupi standar hidup kelas menengah." Sebagai PRT di Jerman mereka dapat upah lebih besar dibanding guru atau insinyur di negara asalnya. Tapi karena biaya hidup di Jerman jauh lebih tingi, "mereka hidup sederhana, untuk bisa mengirim sebagian besar uangnya kepada keluarganya," ujar Shinozaki.

Untuk pendidikan yang baik bagi anaknya, orang tua mengambil risiko merendahkan kualifikasinya dan mengorbankan kesempatan melihat perkembangan anaknya. Anak-anak yang ditinggalkannya diurus keluarga atau pembantu dari negara yang miskin. Jadi di dunia ada jaringan pengurusan. Misalnya perawat perempuan dari Polandia mengurus orang tua di Jerman, sementara anaknya di Polandia diurus pekerja perempuan dari Ukraina.

Pembantu rumah tangga membersihkan kamar mandi sebuah rumah di JermanFoto: dpa

Hubungan Lewat Skype

"Penyebaran ponsel juga di kawasan pedesaan dan terutama internet mengubah kontak antara anggota keluarga ini secara radikal." Tutur Shinozaki lebih lanjut, kebanyakan ibu bahkan dari jauh mengawasi anaknya saat mengerjakan pekerjaan rumah dengan Skype. "Hubungan online seperti ini memang bisa dihidupkan dan mungkin bisa berpengaruh amat positif, tapi orang juga dapat mematikannya."

Simbol gambar SkypeFoto: Alterfalter - Fotolia.com

Juga Rosi Torres hampir setiap hari berhubungan via skype dengan putranya. Sejak 10 tahun mereka hanya bertemu lewat Webcam. Karena Rosi tidak punya status legal tinggal di Jerman, ia tidak pernah berani pergi ke kota terdekat, apalagi pulang dengan pesawat ke negara asalnya. Tapi untuk pertama kalinya setelah 10 tahun mereka akan bertemu langsung. "Ia telah lulus sebagai insinyur dan ingin mengambil Master di Jerman dan mencari kerja yang baik. Lalu kami akan bekerja di sini beberapa tahun dan kembali pulang ke rumah," dikatakan Rosi.

PRT asal Indonesia membersihkan kaca apartemen di SingapuraFoto: AP

Eksistensi Tidak Pasti

Pekerjaan orang tua di luar negeri sebagai PRT dalam banyak kasus membuat "anak-anak mendapat pendidikan amat baik, sehingga mereka punya perspektif lebih baik," kata Sabine Ferenschild dari Institut untuk Ekonomi dan Okumene Südwind. "Tapi tentu saja ada juga contoh lain, dimana struktur keluarga hancur sehingga anak-anak tumbuh tanpa ikatan keluarga."

Tidak hanya kawasan kaya di utara menjadi magnet para migran ini. Migrasi Selatan-Selatan juga amat kuat. Misalnya kebanyakan PRT di Hongkong berasal dari Indonesia dan Filipina. "Sebagian besar migrasi pekerja ini di dunia mengalami kondisi kerja buruk," kata Ferenschild. Kebanyakan tidak punya jaminan sosial, dan di negara itu mendapat upah sampai 40 persen lebih rendah dibanding upah pekerja lokal.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait