1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pembatalan Pemilu Presiden Turki

2 Mei 2007

Pembatalan pemilu presiden oleh mahkamah konstitusi dinilai merupakan indikasi masih kuatnya cengkraman militer di Turki.

PM Erdogan dalam pidatonya mengusulkan pemilu presiden tanggal 24 Juni
PM Erdogan dalam pidatonya mengusulkan pemilu presiden tanggal 24 JuniFoto: AP

Krisis politik dalam negeri di Turki menyangkut pemilu presiden, tetap menjadi tema komentar sejumlah harian internasional. Harian Swiss Tages-Anzeiger yang terbit di Zürich dalam tajuknya menulis : Keputusan mahkamah konstituasi itu sesat. Diduga vonisnya tidak memperhatikan pertimbangan para pelapor, yang tidak melihat adanya landasan hukum untuk pembatalan pemilu tsb. Barang siapa menilai, vonis mahkamah agung itu merupakan kemenangan kelompok sekuler terhadap kelompok Islam, mereka salah besar. Di sini tidak ada pertempuran antara ideologi dunia melawan kelompok religius. Melainkan pertempuran antara kelompok otoriter anti-demokrasi dari masalalu, melawan masadepan demokrasi di Turki.

Sementara harian Jerman Hamburger Abendblatt yang terbit di Hamburg menulis : Pembatalan pemilu presiden itu, merupakan indikasi dari kekuatan militer yang bermain di belakang layar. Namun, keputusan itu tidak mengakhiri pergulatan antara militer dan pemerintah, menyangkut orientasi kemasyarakatan Turki. Harus diakui di bawah pemerintahan partai Islam konservatif AKP, terjadi percepatan reformasi, yang membuka jalan ke Eropa. Namun silang sengketa politik itu menunjukan, Turki masih amat jauh dari Eropa.

Harian Jerman lainnya Tagesspiegel yang terbit di Berlin berkomentar : Belum diketahui siapa pemenang dari pergulatan politik tsb. Tapi pecundangnya kini sudah jelas, yakni militer yang mengancam akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Dengan begitu, para jenderal mempertaruhkan kepercayaan yang sudah diperolehnya dari kalangan sipil. Kini para demonstran di Istanbul, tidak hanya memprotes calon presiden Abdullah Gül, melainkan juga dengan tegas menolak rencana kudeta militer.

Harian Denmark Politiken yang terbit di Kopenhagen berkomentar : Krisis di Turki itu, tidak benar-benar mencerminkan konflik antara kelompok sekuler barat melawan faham Islam konservatif dari Timur Tengah. Sama halnya, jika di masa depan presiden perempuan di Turki boleh memakai jilbab, yang tidak berkaitan dengan demokrasi atau keanggotaan dalam Uni Eropa. Yang menjadi pokok persoalan adalah, para hakim dan militer Turki harus menghormati hak warganya pria maupun wanita untuk menjadi presiden.

Terakhir harian Austria Wirtschaftsblatt yang terbit di Wina menulis : Krisis di Turki memunculkan peluang bagi oposisi. Jika partai-partai oposisi yang kebanyakan gagal menembus kuota suara minimal 10 persen, untuk masuk ke parlemen itu bersatu, maka kelompok sekular dapat meraih suara mayoritas. Namun di sisi lain Eropa juga harus tetap waspada. Sebab garis pemisah antara pemerintahan diktatur militer dan revolusi Islam, dalam demokrasi Turki amatlah tipis.