Walaupun pembebasan wartawan Jerman Deniz Yücel patut dirayakan, kita tidak boleh lupa, bahwa lebih dari 100 wartawan lain masih dipenjara di Turki. Berikut opini pemimpin redaksi DW, Ines Pohl.
Foto: Reuters/H. Aldemir
Iklan
Saya sudah kenal lama kenal Deniz. Saya bekerja bersama Deniz hampir setiap hari selama enam tahun. Bersama Deniz saya bertengkar soal berita sampul atau berita utama dan judul terbaik. Tidak selalu menyenangkan, tapi selalu intensif. Dan saya belajar banyak dari pengabdiannya. Deniz adalah wartawan hebat, tidak penakut dan istimewa. Ia bisa menggambarkan situasi dengan sangat baik lewat gayanya yang sensitif dan hampir puitis. Tapi ia juga tahu bagaimana caranya membangkitkan kekesalan, menarik perhatian dan membuat orang terus tertarik.
Kekuatan publisitas
Banyak rekannya juga punya kemampuan ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berhenti menabuh genderang publisitas, mengorganisir konser-konser solidaritas dan berparade dengan mobil di seluruh negeri. Hashtag #FreeDeniz ada di mana-mana dan selalu terlihat.
Deniz Yücel bersama Istrinya Dilek ketika baru dibebaskanFoto: Twitter/Veysel Ok
Daya besar publisitas juga menyebabkan politisi Jerman tidak bisa mengelak dari tanggungjawabnya. Nampaknya, semalam sebelum Yücel dibebaskan, diadakan negosiasi di tingkat politik paling tinggi. Perincian dari perjanjian yang tercapai sekarang belum diketahui.
Setelah satu tahun dan dua hari berlalu, Deniz Yücel akhirnya dibebaskan dari tahanan. Ketika saya mendengarnya, saya tidak bisa menahan tangis. Jiwanya yang mencintai kebebasan sebelumnya dipaksa untuk berada di balik terali besi siang-malam, dan sendirian!
Tidak ada akhir menyenangkan
Ketika foto-foto pertama Deniz ketika memeluk istrinya Dilek di luar tahanan dipublikasikan, banyak orang tersentuh. Perasaan sakit tercermin jelas di wajah Deniz. Seperti orang yang tenggelam di lumpur, ia berpegang pada perempuan yang dinikahinya ketika di tahanan. Apakah ini cerita menyentuh dengan akhir menyenangkan?
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim
Benarkah radikalisme agama ikut mengancam kebebasan pers? Berikut peringkat negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional versi Reporters Sans Frontières.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner
#120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
#124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kurniawan
#139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Foto: Getty Images/AFP/F. Naeem
#144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Foto: Getty Images/R. Roslan
#155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
#161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Foto: Reuters/A.A.Dalsh
#165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Foto: MEHR
#168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)
Foto: imago/Mauersberger
9 foto1 | 9
Tidak juga. Walaupun ada perasaan senang dan lega, satu hal tidak boleh dilupakan, masih ada lebih dari 100 wartawan yang dipenjara di Turki.
Semua orang yang mengira Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan memulai era pelonggaran ketegangan dengan pembebasan Yücel, ternyata salah.
Berita pembebasan Deniz Yücel baru saja keluar, ketika hakim-hakim Turki memutuskan hukuman seumur hidup bagi enam wartawan Turki lainnya. Ketika itu Deniz belum meninggalkan penjara.
Ines PohlFoto: DW/P. Böll
Perjuangan tidak boleh berakhir
Fakta bahwa mereka bukan warga negara Jerman berperan penting bagi diplomat Jerman. Tapi ini bukan berarti organisasi sosial boleh menghentikan perjuangan.
Ini memang menyentuh perasaan, bahkan mungkin mengejutkan, bagaimana banyak orang berkampanye untuk pembebasan Deniz tahun lalu. Kini perjuangan harus dilanjutkan. Di seluruh dunia ada lebih dari 300 wartawan yang dipenjara. Sebagian dari mereka disiksa, karena mereka menyokong kebebasan pers.
Walaupun ada kebahagiaan dan kelegaan, selama masih ada wartawan yang dipenjara karena bersikap kritis, kita harus tetap konsisten untuk mengingatkan orang tentang hal itu. Kita juga harus menyerukan politisi untuk bangkut dan berjuang bagi pembebasannya. Saya yakin, ini juga yang diinginkan Deniz sekarang.
Penulis: Ines Pohl (ml/ap)
Pameran Sejarah Jurnalisme Foto di Berlin
Hampir seabad lalu, muncul jurnalisme foto yang mengubah lanskap pers pada masa itu. Sebuah pameran di Museum Sejarah Berlin memperlihatkan foto-foto pers pada masa-masa awal.
Foto: Ullstein
Musim panas di danau Wannsee, 1910
Sejak dulu, Wannsee dekat kota Berlin dikenal sebagai danau tempat mandi yang populer bagi keluarga. Banyak warga Berlin yang piknik dan santai di sini pada cuaca cerah. Ini foto Conrad Hünich, hasil bidikannya tahun 1910.
Foto: Ullstein
Tentara di atap Brandenburger Tor, 1919
Suasana mencengkam di Berlin saat aksi pemogokan umum melumpuhkan ibukota, hampir seabad lalu. Kelompok-kelompok milisi berkeliaran. Selama aksi makar "Spartacus" Januari 1919, fotografer Walter Gircke memotret tentara pemerintah yang mengambil posisi di atap Gerbang Brandenburg di sebelah Reichstag.
Foto: Ullstein Bild
Pasangan di Kanu, 1929
Martin Munkácsi memotret pasangan ini di sebuah kanu tahun 1929. Gambar itu lalu diterbitkan di "Berliner Illustrirte Zeitung", sebuah majalah yang terbit setiap hari Kamis. Martin Munkácsi seorang Hongaria Yahudi, yang kemudian pergi ke Amerika dan menjadi fotografer fesyen.
Foto: Ullstein Bild
Perempuan lari rintangan, 1912
Adegan perempuan yang melompati rintangan kayu dan jerami dari tahun 1912 ini dibuat wartawan foto Robert Sennecke. Robert kemudian menjadi fotografer perang pada Perang Dunia I dan menjadi terkenal. Dia lalu mendirikan biro agen foto yang memasok gambar untuk pers Jerman dan internasional.
Foto: Ullstein
Tentara Jerman di Libya, 1941
Fotografer perang Erich Borchert meninggal tak lama setelah mengambil gambar ini, tentara Jerman di Libya yang sedang menjaga parit ke kota Tobruk yang diduduki Inggris tahun 1941. Erich tidak berhasil lari dari kota ini yang menjadi sasaran serangan militer.
Foto: Ullstein Bild
Buaya tertangkap, 1906
Otto Haeckel dan saudaranya Georg adalah perintis fotografi pers yang paling terkenal di Jerman. Otto Haeckel menghasilkan sekitar 1.000 foto perjalanan studi selama sebulan oleh anggota parlemen ke daerah-daerah di Afrika Timur. Gambar ini menunjukkan anggota ekspedisi yang memeriksa seekor buaya yang tertangkap.
Foto: Ullstein Bild
Masa Keemasan tahun 1920an
Aktris Hertha Schroeter pada sebuah pesta kostum dengan saksofon, pakaian berkilauan dan stoking nilon. Foto ini muncul di "Berliner Illustrirte Zeitung" tahun 1928. Tak lama setelah itu, Hitler dan Nazi berkuasa. Mereka menganggap musik jazz sebagai "musik rendahan" dan melarangnya.
Foto: ullstein bild
Propaganda Hitler, 1935
Max Ehlert, seorang fotografer resmi di bawah Nazi, mengambil gambar propaganda khas Adolf Hitler ini tahun 1935. Foto itu lalu menjadi alat propaganda Nazi bagi kaum tani Jerman. Propaganda ini bertujuan untuk memperkuat hubungan Hitler dengan para pekerja pertanian.
Foto: ullstein bild
Kantin tentara Prusia, 1898
Tentara Prusia duduk atau berdiri sambil mengobrol dan minum bir di kantin barak. Fotografer Waldemar Titzenthaler memotret adegan ini tahun 1898. Dia lalu bekerja untuk majalah "Die Dame," sebuah majalah bergambar untuk kalangan perempuan modern terbitan Ullstein Verlag. Teks: Stefan Dege (hp/ml)