1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemberian Sanksi Masih Penting dan Berpengaruh

Oliver Rolofs
Oliver Rolofs
15 November 2022

Sanksi menjadi preferensi kebijakan luar negeri AS dan Eropa beberapa tahun terakhir. Di luar nilai simbolisnya, sanksi menciptakan tekanan domestik dan membatasi konflik militer, opini Oliver Rolofs.

Ilustrasi sanksi nuklir Iran oleh Amerika SerikatFoto: Ohde/Bildagentur-online/picture alliance

Seperti yang telah kita lihat dalam beragam kasus seperti Korea Utara, Iran, Kuba, dan sekarang Rusia, rezim-rezim tersebut tidak lantas terguling sebagai akibat dari pemberian sanksi. Namun, kemampuan persenjataan rezim ini telah sangat terpengaruh dan mereka dipaksa untuk memilih antara keberlangsungan kehidupan ekonomi atau tetap mempertahankan tujuan militer mereka.

Di Amerika Serikat (AS) khususnya, penjatuhan sanksi menjadi semakin populer sebagai pendekatan intervensi nonkinetik yang berdampak tinggi, dengan jumlah sanksi yang dijatuhkan telah meningkat lebih dari 1000% selama 22 tahun terakhir. Ada pemahaman bahwa sanksi mungkin tidak selalu mencapai tujuan utamanya, tetapi setidaknya ini dapat memaksa pihak yang dikenai sanksi untuk terbuka melakukan pembicaraan, di mana kompromi dapat disepakati.

Di antara kekuatan nuklir khususnya, konflik tercipta melalui sanksi dan proksi, karena aksi militer langsung dapat membawa konsekuensi yang menghancurkan. Sanksi juga berperan dalam mencegah proliferasi nuklir. Di Iran, sanksi telah menggiring rezim ke meja perundingan.

Dan meskipun JCPOA atau dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran, kini terasa jauh dari jangkauan, tantangan ekonomi di Iran telah berkontribusi pada tekanan yang datang dari populasi yang besar, yang didominasi kaum muda yang kecewa yang sekarang kita lihat di jalan-jalan.

Sanksi masih berpengaruh

Ancaman sanksi dan akhirnya tekanan politik dari Washington, misalnya, adalah salah satu alasan utama mengapa Taiwan meninggalkan aktivitas penelitian senjata nuklirnya pada akhir 1980-an.

Selain itu, pada akhir 1980-an pemberian sanksi telah membuat penguasa Libya saat itu yakni Moammar Gadhafi berpaling dari terorisme internasional. Bahkan Inggris pun mundur dalam menghadapi kebijakan sanksi Washington terhadap sekutunya Tel Aviv dan menyelesaikan konflik Suez dengan Mesir pada tahun 1956.

Di tengah semua contoh keberhasilan ini, tentu saja sangat mudah untuk menunjukkan adanya kegagalan. Hal yang jelas saat meneliti keduanya adalah kebutuhan untuk bersikap realistis dan jelas tentang tujuan yang hendak dicapai. Ketika sanksi gagal mencapai tujuannya, itu terutama karena skala sanksi tidak cukup signifikan atau tidak tepat sasaran untuk mencapai perubahan kebijakan.

Banyak hal yang bisa dipelajari dalam kasus Rusia dan agresinya terhadap Ukraina. Sanksi yang dijatuhkan kepada negara itu dalam delapan bulan terakhir adalah tindakan paling terkoordinasi dan komprehensif yang pernah tercatat. Setelah menyadari bahwa sanksi yang diterapkan pada tahun 2014 atas pendudukan di Krimea tidaklah cukup, AS, Uni Eropa (UE), dan Inggris bekerja keras untuk meningkatkan kerja sama dan memastikan bahwa mereka dapat dengan tepat membidik titik lemah Rusia.

Dampak nyatanya akan terlihat dalam waktu bertahun-tahun. Namun, sanksi tersebut telah secara signifikan mengurangi kemampuan Rusia untuk menggantikan kerugian material mereka, hingga mereka sekarang kian mengandalkan senjata, pakaian perang, dan amunisi dari era Soviet.

Yang harus dilakukan untuk menghindari kesalahan

Namun, ada kesalahan yang masih dilakukan, terutama ketika sanksi menyasar tingkat individu. Kurangnya strategi yang jelas atau terbatasnya kapasitas tim sanksi terkadang membuat individu atau entitas kunci tertentu terlewatkan oleh sanksi, atau sebaliknya terjebak dalam sanksi yang ditetapkan secara sewenang-wenang.

Telah banyak laporan rutin tentang sejumlah departemen di negara-negara Barat yang bertanggung jawab mengidentifikasi siapa yang akan dikenai sanksi sangat kekurangan staf dan tidak punya cukup data untuk senantiasa membuat keputusan tepat.

Terlepas dari beratnya sanksi terhadap Rusia misalnya, banyak bisnis dan pemimpin utama di Rusia tetap tidak tersentuh. Ini termasuk juga industri senjata, dengan laporan menunjukkan bahwa hampir 50 perusahaan senjata dan pertahanan belum dimasukkan dalam sanksi AS atau Eropa. Vladimir Potanin, orang terkaya kedua Rusia, juga belum dikenai sanksi oleh UE dan AS, dan baru diberi sanksi oleh Inggris pada akhir Juni. 

Ada pula banyak contoh kesalahan pemberian sanksi. Pada masa pemerintahan Donald Trump, seorang pemilik restoran Italia dari Verona secara tidak sengaja dimasukkan dalam daftar sanksi AS terhadap perusahaan minyak negara Venezuela karena salah identitas.

Yang lebih serius lagi, sejumlah orang tidak bersalah juga dimasukkan ke dalam daftar sanksi al Qaeda pada tahun 2001, termasuk pengusaha Saudi dan filantropis Sheikh Yassin Abdullah Kadi. Sanksi terhadapnya baru dihapuskan setelah 13 tahun berlaku.

Membuat sanksi lebih efektif

Sanksi jelas memiliki peran penting dalam menahan ekses aktor jahat di tingkat global. Alih-alih langsung menolak sanksi karena terkadang tidak mencapai target yang terlalu ambisius, kita perlu fokus belajar dari kesalahan dan membangunnya menjadi alat yang benar-benar efektif.

Karena sanksi telah menjadi alat kebijakan luar negeri prioritas bagi banyak negara Barat, kita dapat mengharapkan investasi yang lebih besar dalam mengatasi kerumitan dalam proses pemberian sanksi, dan memastikan bahwa sanksi yang dijatuhkan tepat sasaran dan efektif.

Oliver Rolofs adalah pakar keamanan dan komunikasi strategis. Rolofs sebelumnya menjabat sebagai Kepala Komunikasi di Konferensi Keamanan München, di mana dia mendirikan Program Keamanan Siber dan Keamanan Energi. 

(ae/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait