Pemberontak Tigray masih bercokol di situs warisan dunia, Lalibela, yang terletak di negara bagian Amhara, Etiopia. Mereka menolak desakan AS untuk mundur dan menuntut pencabutan blokade bagi akses kemanusiaan.
Iklan
Fron Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) semakin merangsek ke selatan dan kini menduduki salah satu kota bersejarah di kawasan etnis Amhara. Mereka menolak desakan Amerika Serikat (AS) untuk meninggalkan lokasi yang menjadi situs warisan budaya dunia UNESCO tersebut.
"Kami tidak akan beranjak sampai blokade diakhiri,” kata Getachew Reda, juru bicara TPLF. Dia merujuk pada aliran bantuan kemanusiaan yang terhenti.
Sembilan bulan setelah Perdana Menteri Abiy Ahmed mendeklarasikan perang terhadap TPLF, pertumpahan darah di utara Etiopia itu belum juga mereda. TPLF mendominasi percaturan politik di Addis Ababa selama hampir tiga dekade dan tergolong berdaya gempur tinggi.
Pertempuran sempat menyusut ketika PM Abiy Ahmed mengumumkan gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan Etiopia. Situasi ini membuka ruang bagi TPLF untuk merebut kembali ibu kota Tigray, Makele, dan sejak itu merangsek ke timur di kawasan Afar dan selatan di Amhara.
Pemerintah AS sebelumnya mengimbau TPLF untuk menaati gencatan senjata dan fokus menanggulangi "bencana kemanusiaan” di Tigray.
Namun, TPLF berdalih pendudukan Lalibela merupakan langkah strategis. Kota tersebut dilintasi jalan utama menuju Makele. Dengan menguasai kota tersebut, TPLF mengaku ingin memotong jalur logistik pasukan pemerintah dan mengamankan daerah sendiri.
"Anda tahu kami sedang dikepung. Kami berada di bawah blokade. Apapun yang bisa digunakan Abiy untuk mencekik rakyat kami, kami ingin pastikan hal itu tidak menciptakan ancaman serius,” kata Getachew.
Saling tuding pelanggaran HAM
Langkah TPLF ditanggapi pemerintahan Amhara dengan mengirimkan ancaman balas dendam. Lalibela menyimpan sebuah gereja dari abad ke-12 yang menjaring peziarah dari penjuru negeri dan dilengkapi sebuah bandar udara. Kota itu selama ini berada di bawah kekuasaan etnis Ahmhara.
Iklan
TPLF menuduh pemerintah Etiopia menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke Tigray. Namun, juru bicara pemerintah mengatakan gencatan senjata sejak Juni silam justru diberlakukan untuk membuka akses bantuan. Addis Ababa sebaliknya menilai serangan balik TPLF yang mengalangi kerja kemanusiaan.
PBB mewanti-wanti terhadap bencana kemanusiaan yang bereskalasi di kawasan sekitar. Pertempuran teranyar di Amhara dan Afar misalnya diklaim mengusir 300.000 warga dari kampung halaman.
Wakil Presiden Amhara, Fanta Mandefro, menuduh pemberontak TPLF melakukan pelanggaran kemanusiaan berupa pembantaian dan kekerasan seksual. Namun, hal ini dibantah Getachew. "Kami bahkan bekerjasama dengan warga agar mereka bisa menjalankan kehidupan secara normal sebisa mungkin,” katanya.
Harar, Kota Suci Umat Muslim yang Terlupakan
Dianggap sebagai kota suci keempat milik umat muslim, Harar adalah pusat peradaban Islam di Ethiopia. Tapi keunikan terbesar kota ini adalah sikap toleransi antara pemeluk agama yang mengakar kuat di masyarakat
Foto: Z. Abubeker/AFP/Getty Images
Harar Jugol, Kota Purba di Timur Afrika
Harar disebut didirikan oleh migran Arab antara abad ke-10 dan 13. Kota tuanya yang diberi nama Harar Jugol memiliki lima gerbang tua. Kota ini merupakan ibukota negara bagian paling kecil di Ethiopia dan kampung halaman bagi etnis Oromo. Sejak 2006 Harar masuk dalam daftar Warisan Budaya Dunia versi UNESCO.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Situs Ziarah Umat Muslim
Harar tercatat memiliki 82 masjid dan lebih dari 100 kuil. Masjid Jami di pusat kota merupakan yang terbesar. Sekitar sepertiga warga Ethiopia beragamakan Islam. Namun di kota ini, umat muslim mewakili mayoritas penduduk lokal.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Masjid untuk Perempuan
Masjid Jami adalah satu-satunya rumah ibadah yang mengizinkan perempuan melakukan salat di gedung yang sama seperti laki-laki. Mereka masuk melalui pintu kecil di sisi kanan gedung. Tidak jarang juga perempuan terlihat beribadah di bagian luar. Kebanyakan masjid di kota tua berukuran kecil, sehingga hanya digunakan oleh kaum laki-laki.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Kota Perdamaian
Meski berstatus kota suci umat muslim, Harar memiliki dua gereja di kota tua, antara lain Medhane Alem yang dimiliki umat Kristen Orthodoks. Penduduk kota membanggakan fakta bahwa Harar menampung berbagai jenis umat beragama. Pada 2003 kota ini mendapat penghargaan Kota Perdamaian dari UNESCO lantaran kehidupan sejuk antara umat beragama.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Kesucian Melalui Mistik
Kota berpenduduk 120.000 jiwa ini sulit dilepaskan dari hal-hal yang berbau mistis. Salah satu sebabnya adalah pengaruh Sufisme yang kuat. Salah satu situs paling suci di Harar adalah makam Syekih Abadir, salah seorang pendiri kota. Di sini peziarah biasa duduk dan mengunyah daun psikoaktif, Khat, selama berjam-jam untuk berdoa.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Khat yang Berkhasiat
Khat yang awalnya digunakan untuk keperluan spiritual, kini dikonsumsi secara luas di Ethiopia. Kawasan di sekitar Harar hingga kini menjadi pusat perdagangan khat. Daun yang mengandung senyawa psikotropika ini menyumbangkan 70% devisa dari sektor pertanian di kawasan. Khat tidak hanya mengurangi rasa lelah dan menambah nafsu makan, tetapi juga bisa menyebabkan kecanduan.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Ramai Busana Perempuan
Perekonomian Harar juga ditopang oleh pasar tekstil yang dinamakan "Makina Girgir" dalam bahasa lokal, lantaran selalu dipenuhi bunyi mesin jahit. Pasar ini biasanya disambangi kaum perempuan dari pinggir kota. Busana muslim bagi perempuan adalah komoditas yang paling banyak diperdagangkan di Harar.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Ekonomi Skala Kecil
Setiap pagi, warga etnis Oromo berkumpul di kawasan pusat kota untuk berdagang. Mereka terbiasa berjalan kaki selama berjam-jam untuk mencapai tembok kota Harar. Penghasilan yang didapat biasanya dibelanjakan kembali untuk membeli pakaian, daging atau perlengkapan dapur. Harar hidup dari perekonomian skala kecil yang tumbuh di pasar-pasar tradisional.
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
Pasar Unta Saudagar Somalia
Sekitar 40km (24.8 miles) dari Harar, pasar unta yang terkenal digelar dua kali setiap pekan. Di sini pedagang bisa menjual sebanyak 200 ekor unta dalam satu pagi, dengan harga berkisar mulai dari USD 565. Para pedagang biasanya termasuk kaum nomaden Somalia yang hidup dengan beternak unta. (rzn(ap)
Foto: DW/M. Gerth-Niculescu
9 foto1 | 9
Dia juga menepis kekhawatiran AS dan UNESCO perihal kerusakan akibat perang di Lalibela. "Kami tahu apa cara melindungi situs bersejarah,” tukasnya. "Lalbela juga warisan budaya kami. Mereka tidak seharusnya mengkhawatirkan hal itu.”
Sejumlah situs ibadah bersejarah di Tigray mengalami kerusakan parah akibat perang. TPLF sejauh ini menyalahkan pasukan pemerintah bertanggungjawab atas kerusakan tersebut.