1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEtiopia

Pemberontak Tigray Duduki Situs UNESCO

6 Agustus 2021

Pemberontak Tigray masih bercokol di situs warisan dunia, Lalibela, yang terletak di negara bagian Amhara, Etiopia. Mereka menolak desakan AS untuk mundur dan menuntut pencabutan blokade bagi akses kemanusiaan.

Gereja Bete Giyorgis di Lalibela, Ethiopia
Gereja Bete Giyorgis di Lalibela, EthiopiaFoto: picture alliance / Sergi Reboredo

Fron Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) semakin merangsek ke selatan dan kini menduduki salah satu kota bersejarah di kawasan etnis Amhara. Mereka menolak desakan Amerika Serikat (AS) untuk meninggalkan lokasi yang menjadi situs warisan budaya dunia UNESCO tersebut.

"Kami tidak akan beranjak sampai blokade diakhiri,” kata Getachew Reda, juru bicara TPLF. Dia merujuk pada aliran bantuan kemanusiaan yang terhenti. 

Sembilan bulan setelah Perdana Menteri Abiy Ahmed mendeklarasikan perang terhadap TPLF, pertumpahan darah di utara Etiopia itu belum juga mereda. TPLF mendominasi percaturan politik di Addis Ababa selama hampir tiga dekade dan tergolong berdaya gempur tinggi. 

Pertempuran sempat menyusut ketika PM Abiy Ahmed mengumumkan gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan Etiopia. Situasi ini membuka ruang bagi TPLF untuk merebut kembali ibu kota Tigray, Makele, dan sejak itu merangsek ke timur di kawasan Afar dan selatan di Amhara.

Pemerintah AS sebelumnya mengimbau TPLF untuk menaati gencatan senjata dan fokus menanggulangi "bencana kemanusiaan” di Tigray

Namun, TPLF berdalih pendudukan Lalibela merupakan langkah strategis. Kota tersebut dilintasi jalan utama menuju Makele. Dengan menguasai kota tersebut, TPLF mengaku ingin memotong jalur logistik pasukan pemerintah dan mengamankan daerah sendiri.

"Anda tahu kami sedang dikepung. Kami berada di bawah blokade. Apapun yang bisa digunakan Abiy untuk mencekik rakyat kami, kami ingin pastikan hal itu tidak menciptakan ancaman serius,” kata Getachew.

Kawasan etnis di Ethiopia

Saling tuding pelanggaran HAM

Langkah TPLF ditanggapi pemerintahan Amhara dengan mengirimkan ancaman balas dendam. Lalibela menyimpan sebuah gereja dari abad ke-12 yang menjaring peziarah dari penjuru negeri dan dilengkapi sebuah bandar udara. Kota itu selama ini berada di bawah kekuasaan etnis Ahmhara.

TPLF menuduh pemerintah Etiopia menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke Tigray. Namun, juru bicara pemerintah mengatakan gencatan senjata sejak Juni silam justru diberlakukan untuk membuka akses bantuan. Addis Ababa sebaliknya menilai serangan balik TPLF yang mengalangi kerja kemanusiaan.

PBB mewanti-wanti terhadap bencana kemanusiaan yang bereskalasi di kawasan sekitar. Pertempuran teranyar di Amhara dan Afar misalnya diklaim mengusir 300.000 warga dari kampung halaman.

Wakil Presiden Amhara, Fanta Mandefro, menuduh pemberontak TPLF melakukan pelanggaran kemanusiaan berupa pembantaian dan kekerasan seksual. Namun, hal ini dibantah Getachew. "Kami bahkan bekerjasama dengan warga agar mereka bisa menjalankan kehidupan secara normal sebisa mungkin,” katanya.

Dia juga menepis kekhawatiran AS dan UNESCO perihal kerusakan akibat perang di Lalibela. "Kami tahu apa cara melindungi situs bersejarah,” tukasnya. "Lalbela juga warisan budaya kami. Mereka tidak seharusnya mengkhawatirkan hal itu.”

Sejumlah situs ibadah bersejarah di Tigray mengalami kerusakan parah akibat perang. TPLF sejauh ini menyalahkan pasukan pemerintah bertanggungjawab atas kerusakan tersebut.

rzn/hp (afp,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya