1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Pemberontakan Myanmar Kian Sudutkan Junta Militer

1 Februari 2024

Tiga tahun setelah kudeta 1 Februari 2021, junta militer Myanmar terkesan kian kewalahan menstabilkan kekuasaannya di penjuru negeri, akibat sengitnya perang gerilya kelompok pemberontak etnis di wilayah terluar.

Kelompok pemberontak Shan
Senjata artileri kelompok pemberontak di Negara Bagian Shan, Myanmar.Foto: Kokang online media via AP/picture alliance

Kabar perang saudara di Myanmar hanya sayup terdengar, di tengah gemuruh dan derasnya pemberitaan perang di Ukraina dan Jalur Gaza. Padahal, pertikaian bersenjata di sekitaran Basin Sungai Irawaddy itu berkecamuk hebat dan dibanjiri dugaan kejahatan perang. Serangan udara militer misalnya dikabarkan menghanguskan desa-desa dan menewaskan warga sipil, lapor Armed Conflict Locarion & Data Event, sebuah lembaga pemantau konflik di Amerika Serikat.

"Beribu-ribu warga sipil tewas terbunuh. Sebanyak 2,3 juta warga terpaksa mengungsi dan 18,6 juta penduduk Myanmar membutuhkan bantuan segera," kata Tom Andres, pelapor khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar. Menurutnya, kelanjutan perang berpotensi memperparah situasi kemanusiaan bagi warga sipil.

Ketika militer menggulingkan pemerintahan sipil tanggal 1 Februari 2021, Myanmar dianggap akan mudah bertekuk lutut di bawah kekuasaan Jendral Min Aung Hlaing. Nyatanya, kekuasaan junta kian terkikis oleh maraknya perlawanan bersenjata di daerah perbatasan terluar. Hal ini mendorong pemerintahan militer Myanmar bersikap semakin agresif.

Aksi mogok senyap dideklarasikan oleh oposisi Myanmar menyambut peringatan tiga tahun kudeta militerFoto: AFP/Getty Images

"Akibatnya, separuh penduduk kini jatuh miskin. Sistem pendidikan tidak lagi beroperasi untuk jutaan anak-anak dan sistem kesehatan babak belur," kata Andres. Di dalam negeri, oposisi pro-demokrasi mendeklarasikan "aksi mogok senyap" di seluruh negeri, menyambut peringatan tiga tahun kudeta militer. Aksi yang mengajak buruh absen bekerja secara diam-diam itu juga mewarnai peringatan di dua tahun sebelumnya.

Tahun ini, delapan negara, termasuk AS dan Uni Eropa, kembali menerbitkan resolusi yang mendesak junta militer menghentikan tindak kekerasan terhadap warga sipil, membebaskan tahanan politik dan memfasilitasi aliran bantuan kemanusiaan serta membuka dialog perdamaian.

AS juga menerbitkan sanksi baru terhadap dua perusahaan dan empat warga negara Myanmar yang diduga menjadi perpanjangan bisnis militer. Oposisi Myanmar selama ini gencar mendesak embargo bagi semua perusahaan yang membantu jalannya perang, termasuk penyuplai bahan bakar bagi jet tempur.

Gencar gerilaya kaum pemberontak

Di tahun ketiga berkuasa, militer masih sibuk menghadapi pemberontakan yang kian sengit. Perlawanan digalang di hampir semua wilayah etnis minoritas yang masing-masing beroperasi secara independen. Koordinasi nasional diupayakan oleh kelompok pro-demokrasi Myanmar yang bersatu di bawah Pemerintahan Persatuan Nasional, NUG, sebagai pemegang mandat demokratis hasil pemilu.

Perlawanan bersenjata di Myanmar diuntungkan oleh jejaring yang terbangun antara sesama kelompok etnis selama masa pemberontakan di masa lalu. Mereka misalnya membantu pelatihan dan memasok senjata bagi Pasukan Pertahanan Rakyat, PDF, yang dibentuk sebagai sayap militer NUG. Tidak jarang, PDF melakoni operasi bersama dengan kelompok pemberontak etnis.

Bulan Oktober 2023 lalu, serangan dadakan aliansi pemberontak etnis mengejutkan militer dan berhasil menguasai kota-kota, pangkalan dan barak militer Myanmar di dekat perbatasan Cina. Operasi serangan itu digelar oleh kerjasama Aliansi Nasional Demokratik Myanmar, pemberontak Arakan dan Tentara Nasional Pembebasan Ta'ang. Keberhasilan itu menginspirasi kelompok di tempat lain untuk melancarkan serangan serupa.

Myanmar military junta faces attacks on multiple fronts

02:38

This browser does not support the video element.

Kemenangan kecil pemberontakan di Myanmar

Tapi meski nasib terkesan berbalik arah, kemenangan pemberontak atas junta militer Myanmar belum akan dicapai dalam waktu dekat. "Kita melihat peristiwa historis yang menunjukkan kelemahan militer Myanmar. Sebab itu, kita melihat lonjakan angka serangan dan pertempuran antara pemberontak dan militer dalam tiga bulan terakhir," kata Richard Horsey, pemerhati Myanmar di International Crisis Group, sebuah lembaga wadah pemikir di Belgia.

Moe Thuzar, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, mengungkapkan pandangan senada. "Rintangannya semakin berat untuk rejim Myanmar," kata dia kepada Associated Press. "Militer sejauh ini tidak mampu sepenuhnya meredam pemberontakan di berbagai penjuru negeri."

"Tindakan keras terhadap masyarakat yang dicurigai mendukung pemberontakan juga justru mempersulit posisi junta," imbuhnya.

Tom Andrew, pelapor khusus PBB mengatakan, militer "telah kehilangan ribuan serdadu, termasuk mereka yang menyerahkan diri atau melakukan desersi, serta ratusan pangkalan dan pos pertahanan." "Mereka kehilangan deretan jendral dan hanya menguasai separuh negeri. Masalahnya, cara mereka merespons kerugian tersebut adalah dengan menyerang warga tidak berdosa dan desa-desa dengan senjata berdaya ledak tinggi," kata dia menambahkan.

"Takluknya junta militer kini bukan lagi hal mustahil," kata Horsey, merujuk pada perekonomian yang babak belur dan tingginya risiko bencana kemanusiaan di Myanmar. "Satu-satunya jalan keluar bagi para jendral adalah untuk terus berperang dengan risiko yang besar."

rzn/as (ap,rtr,dpa)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait