Sikap kepolisian membubarkan acara diskusi mahasiswa Papua di Surabaya dinilai sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan mengancam rasa kebangsaan. Aparat juga dituding melakukan pelecehan seksual.
Iklan
Penggebekan yang dilakukan kepolisian dan TNI terhadap acara nonton bareng film 20 Tahun Biak Berdarah oleh Aliansi Mahasiswa Papua di Surabaya, Jumat (6/7) masih menyisakan kontroversi. Ketika aparat mengaku menjalankan operasi Yustisi alias pendataan penduduk, pihak mahasiswa menuding Polri dan TNI melakukan pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul.
Pegiat HAM Andreas Harsono menilai aparat keamanan sebenarnya tidak perlu membubarkan diskusi tersebut, "karena tidak membahayakan kepentingan publik," ujarnya saat dihubungi DW. "Selain itu pembubaran tersebut melanggar kebebasan berekspresi," imbuhnya lagi.
Andreas mengatakan dengan memaksa agar tidak membahas tragedi Biak Berdarah 1998 secara terbuka, pembubaran itu "malah menjadi luka yang semakin mendalam. Saya kira Polda Jawa Timur harus menyelidiki aksi Polrestabes Surabaya yang membubarkan acara itu."
Seperti yang dilaporkan Tabloid Jubi, para mahasiswa awalnya sedang melakukan diskusi mingguan sebelum menonton film dokumenter tentang pembantaian terhadap 200an warga Papua oleh aparat keamanan di Biak, 1998 silam. Namun acara itu dibubarkan oleh sekitar 50 aparat keamanan yang datang bersama camat setempat dan Satpol PP.
Kepada media-media nasional, Pengacara Publik LBH Surabaya Mohammad Soleh mengatakan surat perintah yang dibawa Camat Ridwan Mubarun tidak mencantumkan keterlibatan aparat TNI/Polri dalam operasi Yustisi, melainkan hanya Satpol PP. Sebaliknya Ridwan bersikeras ia hanya ingin mendata mahasiswa.
Pernyataan Ridwan juga bertolak belakang dengan keterangan sejumlah saksi mata. Tabloid Jubi melaporkan, selain meneriakkan kata-kata kasar, aparat juga diklaim melakukan pelecehan seksual terhadap dua mahasiswa perempuan yang sempat diseret ke mobil untuk ditangkap.
Kericuhan mereda ketika masyarakat dan wartawan mulai berkumpul di sekitar lokasi asrama. Petugas lalu membubarkan diri menjelang tengah malam.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Menanggapi hal tersebut Aliansi Mahasiswa Papua menilai aksi "pembubaran oleh aparat keamanan telah merendahkan nalar masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan sipil untuk berekspresi, berkumpul dan menyatakan pendapat," tulis organisasi tersebut melalui akunnya di media sosial.
Andreas Harsono juga menganggap pembubaran diskusi mahasiswa Papua di Surabaya tidak hanya mengungkap paradigma muram aparat keamanan ihwal isu separatisme, tetapi juga ancaman terhadap rasa kebangsaan.
"Celakanya memang kebanyakan pandangan tokoh di Jakarta dan Surabaya, termasuk pemimpin redaksi atau wartawan, itu tidak mau membicarakan Papua dengan kepala dingin dan pikiran terbuka, " tutur Andreas. "Apabila terus menerus dibiarkan, ia justru akan menggerogoti rasa kebangsaan dan rasa memiliki Indonesia. Dan itu lebih berbahaya ketimbang diskusi di Surabaya."
Menurutnya pembahasan Tragedi Biak Berdarah atau kasus pelanggaran HAM lain diperlukan sebagai jalan menuju rekonsiliasi. "Kalau kita benar-benar mencintai Indonesia, kita harus memberi kesempatan buat orang-orang yang merasa dianiaya oleh negara agar mereka bisa membicarakan ketidakadilan, pembunuhan, kekerasan seksual yang mereka alami, entah itu di Aceh, Talangsari dst. Membahas itu akan menjadi hal baik buat masa depan Indonesia."
Campak dan Kurang Gizi Renggut Nyawa Balita Papua
Diperkirakan sekitar 100 orang terutama bayi dan balita meninggal dunia akibat campak dan kekurangan gizi yang melanda Asmat dan kabupaten lainnya di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/Y. Muhammad
Kurang gizi dan campak
Wabah campak dan kekurangan gizi, serta terjadi di Kabupaten Asmat, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan lainnya. Sudah sekitar 100 orang terutama balita meninggal dunia akibat komplikasi ini.
Foto: Getty Images/AFP/Y. Muhammad
Penanganan lintas sektor
Menindaklanjuti bencana rawan pangan dan kejadian luar biasa campak di Papua, pemerintah mengirimkan bantuan lintas sektor. Pangan dan relawan diterjunkan.
Foto: Getty Images/AFP/Y. Muhammad
Akses dalam menjangkau lokasi bencana terbatas
Lokasi wilayah yang sukar diakses menyulitkan penyaluran bantuan. Posko bantuan dipusatkan di ibukota Kabupaten Asmat, Agats. bantuan berupa makanan dan obat-obatan juga dikirim dengan menggunakan perahu ke desa-desa terpencil.
Foto: Getty Images/AFP/M. Aidi
Fasilitas medispun terbatas
Foto yang diambil pada bulan Januari 2018 ini menunjukkan seorang dokter di dinas militer tengah menangani pasien, seorang balita di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Aidi
Beberapa kali tertimpa tragedi kemanusiaan
Masalah malnutrisi bukan pertama kalinya terjadi di Bumi Cendrawasih ini. Sebelumnya juga terjadi berkali-kali bencana kelaparan di Papua. (ap/ml)