1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

'Pembunuhan Demi Kehormatan' Picu Kemarahan di Palestina

Kersten Knipp | Dina Elbasnaly
3 September 2019

Kematian perempuan muda Palestina dalam apa yang disebut pembunuhan demi kehormatan di Tepi Barat memicu protes dan seruan penegakkan keadilan. Pihak berwenang harus berbuat lebih banyak guna lindungi perempuan.

Westjordanland Ramallah | Demonstration gegen Ehrenmorde
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Nasser

Kemarahan bisa dirasakan di jalan-jalan dan di dunia maya. Untuk mengenang kematian Israa Ghrayeb, puluhan perempuan Palestina pun berdemonstrasi di Ramallah pada hari Senin (02/09).

Ghrayeb, 21, meninggal pada 22 Agustus 2019 setelah terluka parah di rumahnya dua minggu sebelumnya. Aktivis mengatakan dia dipukuli habis-habisan oleh anggota keluarganya dalam pembunuhan demi kehormatan.

Para pengunjuk rasa dengan kritis mempertanyakan situasi yang menyebabkan kematiannya: kesalahpahaman tentang konsep kehormatan, budaya patriarki yang agresif, dan kepatuhan terhadap tradisi barbar.

Serangan itu dilaporkan dipicu oleh gambar korban dengan seorang pria yang baru-baru ini melamarnya yang dia posting ke platform berbagi foto Instagram. Foto itu jelas-jelas membuat keluarga korban sangat marah sehingga mereka memerintahkan kakaknya untuk menghukumnya secara fisik.

Ketika korban mencoba melarikan diri, dia jatuh dari balkon lantai dua rumah orang tuanya. Menurut laporan media, tulang punggungnya patah. Keluarga tersebut mengatakan perempuan muda itu melompat karena "kerasukan setan."

Di rumah sakit, Ghrayeb kembali memasang foto lain di media sosial, kali ini dengan kondisinya yang penuh luka-luka. "Saya kuat, dan saya memiliki keinginan untuk hidup - jika saya tidak memiliki tekad ini, saya sudah mati kemarin," tulisnya.

"Jangan mengirimkan saya pesan-pesan yang mengatakan kepada saya supaya kuat, saya kuat. Semoga Tuhan menjadi hakim bagi mereka yang menindas dan menyakiti saya."

'Siapa pun bisa jadi korban'

Setelah publikasi foto-foto ini, saudara laki-lakinya bersama kerabat laki-laki lainnya, dilaporkan secara brutal memukulinya di rumah sakit.

Menurut laporan, keluarga Ghrayeb mengklaim bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kematiannya, dan bahwa putri mereka meninggal karena serangan jantung. Polisi Palestina belum berkomentar atas kasus ini.

Namun pembuat film dokumenter asal Palestina, Imtiaz al-Maghrabi, tanpa ragu mengatakan: "Setiap perempuan Palestina bisa menjadi korban dari kejahatan seperti itu," katanya kepada DW.

Al-Maghrabi, yang saat ini tengah membuat film tentang pembunuhan demi kehormatan, mendapatkan pengakuan atas karyanya oleh Pusat Media Wanita Arab di ibukota Yordania, Amman, pada Maret 2019.

Palestina memang telah memondernisasi hukum-hukum yang berurusan dengan pembunuhan demi kehormatan. Namun al-Maghrabi mengatakan pada kenyataannya pengaruh hukum-hukum ini terbatas.

"Masyarakat Palestina dipengaruhi oleh adat, tradisi, dan agama. Semua ini memiliki bobot lebih daripada hukum, dan kejahatan yang berkaitan dengan pelanggaran kehormatan sering kali hanya dihukum ringan."

Perempuan lebih menderita

Sosiolog Iyad Barghouthi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Ramallah mengatakan kepada DW bahwa pada praktiknya izin pembunuhan demi kehormatan nampaknya masih terus berlanjut.

Dia percaya itu karena - dari perspektif laki-laki - konsep kehormatan tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai seperti moralitas, integritas atau kesuksesan.

Konsep ini semata-mata ditentukan oleh reputasi anggota keluarga perempuan. Seorang pria bisa saja mengambil tindakan kekerasan terhadap perempuan jika perempuan itu tidak memenuhi harapannya, katanya.

Menurut Barghouthi, rasa takut dan frustrasi yang ada di masyarakat adalah faktor penyebab. "Perasaan ini kemudian meledak menjadi kekerasan, sering kali terhadap anggota keluarga perempuan."

Dia mengatakan bahwa kondisi kehidupan yang sulit tidak hanya berdampak pada pria. Bagi para perempuan penderitaan mereka lebih berlipat ganda.

ae/ts