Pembunuhan demi Kehormatan di Iran Sulut Kemarahan Publik
28 Mei 2020
Pembunuhan atas nama kehormatan keluarga kembali terjadi. Seorang gadis remaja berusia 14 tahun diduga dibunuh oleh ayahnya sendiri di Iran. Insiden itu menimbulkan kemarahan publik.
Iklan
Seorang pria Iran dilaporkan menggunakan sabit membunuh putrinya sendiri saat dia tertidur. Insiden itu telah memicu protes nasional. Reza Ashrafi, yang kini mendekam dalam tahanan, sangat marah karena putrinya Romina melarikan diri bersama seorang pria berusia 34 tahun, Bahamn Khavari. Peristiwa itu terjadi di Talesh, sekitar 320 kilometer barat laut ibu kota Teheran.
Dalam masyarakat tradisional di Timur Tengah, termasuk Iran, seorang gadis yang melarikan diri sering dipersalahkan, ketimbang pria yang kabur bersamanya, karena dianggap mencemari kehormatan keluarga.
Romina ditemukan lima hari setelah meninggalkan rumah dan dibawa ke rumah sakit kantor polisi. Ayahnya kemudian membawanya pulang meskipun gadis itu mengatakan kepada polisi bahwa ia takut akan reaksi keras dari sang ayah.
Warganet mengutuk pembunuhan itu
Pada hari Rabu (27/05), sejumlah surat kabar nasional menampilkan berita yang disebut `´honor killing’ atau pembunuhan demi kehormatan. Sementara itu, tagar #Romina_Ashrafi telah digunakan lebih dari 50.000 kali di Twitter, dengan sebagian besar pengguna mengutuk pembunuhan itu dan sifat patriarkal masyarakat Iran secara umum.
‘Honor Killing' diartikan sebagai pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang anggota keluarga yang dianggap memalukan keluarga. Aturan perlindungan hukum bagi korban pembunuhan demi kehormatan tampaknya telah mandek selama bertahun-tahun di antara berbagai badan pengambilan keputusan di Iran.
Presiden Iran Hassan Rouhani mendesak kabinetnya untuk mempercepat aturan hukum yang lebih keras terhadap kasus-kasus pembunuhan demi kehormatan dan mendorong pengadopsian segera undang-undang yang relevan.
Sulit mengumpulkan data
Hanya tercatat sedikit data tentang pembunuhan demi kehormatan di Iran, di mana media lokal sesekali melaporkan kasus-kasus seperti itu. Berdasarkan hukum, usia minimum anak perempuan menikah di Iran adalah usia 13 tahun, meskipun usia rata-rata perempuan yang menikah 23 tahun. Namun tidak diketahui persis berapa banyak perempuan dan anak perempuan dibunuh oleh anggota keluarga atau kerabat dekatnya karena dianggap melanggar norma Islam konservatif.
Pengadilan Iran mengatakan kasus Romina akan disidangkan di pengadilan khusus. Berdasarkan undang-undang, ayahnya menghadapi hukuman penjara maksimal hingga 10 tahun penjara.
Wakil presiden Iran yang bertanggung jawab atas urusan keluarga, Masoumeh Ebtekar, menyatakan harapannya bahwa rancangan undang-undang dengan hukuman yang lebih keras bisa segera disetujui.
Shahnaz Sajjadi, pembantu presiden untuk urusan hak asasi manusia, mengatakan kepada situs berita khabaronline.ir: ``Kita harus merevisi gagasan bahwa rumah adalah tempat yang aman untuk anak-anak dan perempuan. Kejahatan yang terjadi menimpa perempuan di tempat umum bahkan lebih sedikit ketimbang kejahatan yang terjadi di rumah-rumah.“
ap/vlz (ap)
Geng Gulabi: Perempuan 'Jagoan' dalam Balutan Pink
Misinya: membela kaum tertindas. Para pria yang lakukan aksi kekerasan, termasuk kekerasan seksual dipaksa bertekuk lutut oleh geng perempuan berbusana pink ini. Pemerkosa, suami pemukul istri jadi sasaran mereka.
Foto: DOK.fest München
Reaksi atas maraknya kekerasan
Kasus kekerasan terhadap perempuan di India, terutama perkosaan, marak diberitakan di media massa internasional. Gulabi Gang atau Geng Gulabi lahir akibat maraknya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Pertama kali muncul di Bundelkhand, Uttar Pradesh, India Utara kelompok itu menyebar dan semakin progresif.
Foto: Reuters
Sang penggagas
Pendirinya adalah Sampat Pal Devi. Ibu dari lima anak dan mantan pekerja kesehatan pemerintah. Gagasan muncul setelah ia melihat banyaknya perempuan korban kekerasan, teruatama kekerasan dalam rumah tanggga (KDRT), termasuk pula di antaranya kekerasan seksual. Para korban kerap tidak mendapat perlakuan adil di lembaga peradilan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Daniau
Serba merah jambu
Pada tahun 2002 bersama 5 orang temannya, Sampat mendirikan kelompok pembela hak perempuan ini yang dinamai Gulabi Gang atau Geng Gulabi. Ciri khasnya: mereka mengenakan busana tradisional kain sari berwarna pink. Dalam kurun waktu 5 tahun, kelompok ini kini beranggotakan sekitar 20.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah korban KDRT dan kekerasan seksual.
Foto: DW
Berbekal tongkat
Namun tongkat yang mereka bawa sebenarnya merupakan senjata terakhir, apabila solusi tidak tercapai lewat diskusi, dialog, demonstrasi atau mogok makan. Selain itu, hampir seluruh anggota geng Gulabi punya keahlian Lathi, yakni seni bela diri menggunakan tongkat. Dengan keahlian ini, geng Gulabi membuat para bandit dan pejabat korup jadi ketar-ketir.
Foto: DOK.fest München
Hajar yang kurang ajar, termasuk suami
Jika terjadi kasus KDRT atau kekerasan seksual yang tidak ditangani dengan semestinya oleh pihak berwenang, maka para anggota Geng Gulabi bakal turun tangan. Mereka berhimpun dan dengan bersenjatakan tongkat akan menghajar lelaki pelaku aksi kekerasan. Termasuk para suami yang suka memukuli isterinya atau saudara pria yang melakukan kekerasan pada saudara perempuannya.
Foto: DW
Melawan patriarki
Uttar Pradesh dimana lahirnya Gulabi, menurut Sampat Pal Devi adalah kawasan miskin yang budaya patriarkisnya masih amat tinggi. Perempuan selama ini mengalami banyak kekangan. Perempuan sering mejadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Geng Gulabi bergerak untuk mengatasi ketidaksetaraan jender dan kriminalitas di wilayah ini. Mereka memberikan penyuluhan dan pendampingan jender.
Foto: DW
Menimbulkan efek jera
Ketika perkosaan itu menimpa kasta rendah, biasanya polisi tak turun tangan. Pernah ada kasus, seorang perempuan kasta rendah diperkosa oleh laki-laki kasta atas. Kasusnya tidak ditindaklanjuti polisi. Warga yang protes, malah ditahan. Akhirnya, geng Gulabi turun tangan. Mereka menyerbu kantor kepolisian dan menuntut agar semua warga yang ditahan dilepas dan pelaku pemerkosaan ditangkap.
Foto: Getty ImagesAFP/M. Romana
Tindakan di luar hukum
Banyak kalangan mendukung gerakan Sampat dan kawan-kawan. Namun tak jarang pula yang mengecamnya sebagai tindakan di luar hukum. Gang Gulabi berkilah, jika hukum tak mampu melindungi perempuan, kami sebagi perempuan harus melindungi diri sendiri. Ed: ap/yf (berbagai sumber)