Pembunuhan Jurnalis di Filipina Dikecam Internasional
5 Oktober 2022
Seorang penyiar radio yang kerap mengkritik mantan Presiden Rodrigo Duterte ditembak mati oleh dua pelaku yang mengendarai sepeda motor. "Pihak berwenang gagal melindungi jurnalis," kata Persatuan Jurnalis Nasional.
Iklan
Seorang penyiar radio di Filipina, Percival Mabasa atau lebih dikenal sebagai Percy Lapid, tewas di pinggiran ibu kota Manila pada Senin (03/10) malam, demikian laporan polisi pada Selasa (04/10).
Kematian jurnalis itu memicu kecaman dari kelompok media, aktivis, politisi oposisi, dan kedutaan asing, yang menggambarkan insiden tersebut sebagai pembunuhan "kurang ajar", sebuah pukulan terhadap kebebasan pers. Para pengunjuk rasa mengorganisir aksi dan berjaga-jaga pada Selasa (04/10) malam di Manila.
Iklan
Polisi berjanji menyeret pembunuh Mabasa ke pengadilan
Mabasa, 63, dibunuh oleh dua pria bersenjata yang mengendarai sepeda motor di gerbang kompleks perumahan di daerah Las Pinas di Manila, dekat rumahnya. Dia sedang mengemudi menuju kantornya, stasiun radio DWBL.
Polisi nasional berjanji untuk membawa para pelaku ke pengadilan dan mengatakan satuan tugas khusus akan dibentuk untuk menyelidiki kematian Mabasa. "Kami tidak mengabaikan kemungkinan penembakan itu terkait dengan pekerjaan korban di media," kata kepala polisi Jaime Santos dalam sebuah pernyataan.
Akun YouTube Mabasa menunjukkan sikap kritis terhadap mantan Presiden Rodrigo Duterte dan beberapa kebijakan serta pejabat dalam pemerintahan petahana Ferdinand Marcos Jr.
Kecaman domestik dan internasional
"Insiden itu terjadi di Metro Manila menunjukkan betapa kurang ajarnya para pelaku dan bagaimana pihak berwenang telah gagal melindungi wartawan serta warga biasa dari bahaya," kata Persatuan Jurnalis Nasional Filipina.
Serikat pekerja mengatakan bahwa Mabasa telah kritis terhadap "penandaan merah", bahasa gaul untuk proses menolak suara-suara yang berbeda sebagai simpatisan komunis, serta operasi perjudian online dan informasi yang keliru tentang darurat militer.
Kekerasan terhadap Jurnalis di Jantung Eropa
Eropa dikejutkan dengan serangan penembakan terhadap Peter R. de Vries, seorang jurnalis Belanda. Meski Uni Eropa punya reputasi bagus dalam kebebasan pers, namun terkadang para jurnalis jadi korban serangan kekerasan.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Amsterdam syok berat
Peter R. de Vries, wartawan kriminal terkemuka ditembak orang tidak dikenal saat meninggalkan studio televisi Selasa, 6 Juli 2021 malam di pusat kota Amsterdam, Belanda. Beberapa indikasi menunjukan sindikat kriminal terorganisir menjadi otak penyerangan tersebut. Dua orang tersangka diamankan beberapa jam setelah penembakan.
Foto: Evert Elzinga/ANP/picture alliance
Wartawan kriminal terkemuka di Belanda
De Vries telah meliput kejahatan terorganisir di Belanda selama bertahun-tahun. Sebelum aksi penembakan, dia jadi penasihat pribadi seorang saksi mahkota yang akan bersaksi terhadap seorang pimpinan organisasi kriminal besar. Saudara dan pengacara saksi mahkota tersebut telah dibunuh beberapa tahun lalu. Saat ini De Vries masih berjuang antara hidup dan mati di sebuah rumah sakit.
Foto: ANP/imago images
Harapan dan ketakutan
“Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi di jantung Eropa!” Begitu reaksi dari masyarakat Belanda atas kejadian penembakan Selasa malam tersebut. Sejumlah orang terlihat di TKP meninggalkan bunga dan ucapan belasungkawa. Sayangnya, de Vries bukanlah jurnalis pertama yang menjadi korban pembunuhan berencana di benua Eropa.
Foto: Koen Van Weel/dpa/picture alliance
Negara tempat demokrasi dilahirkan
Jurnalis Yunani, Giorgos Karaivaz dibunuh di selatan kota Athena pada 9 April 2021. Dua orang bermasker yang mengendarai sepeda motor menembak wartawan kriminal senior ini sebanyak 10 kali. Sebagai wartawan berpengalaman, Karaivaz telah meliput sejumlah kasus korupsi yang melibatkan otoritas Yunani dan sindikat kriminal terorganisir.
Daphne Caruana Galizia (53), seorang jurnalis investigasi yang meliput kasus korupsi dalam bidang politik dan bisnis di Malta, tewas setelah mobilnya diledakkan menggunakan bom yang dipicu dari jarak jauh 16 Oktober 2017. Pelakunya divonis 15 tahun penjara setelah mengakui perbuatannya. Namun, dalang kejahatan, seorang pebisnis terkenal masih diadili untuk pembunuhan itu.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Klimkeit
Dibunuh di kediaman pribadi
Jurnalis investigasi Slovakia, Jan Kuciak dan tunangannya, Martina Kusnirova ditembak pembunuh bayaran 21 Februari 2018. Jurnalis berusia 28 tahun ini memfokuskan liputannya pada sindikat kriminal terorganisir, pengemplang pajak dan korupsi di kalangan politisi dan penguasa Slovakia. Pembunuhannya mengejutkan Eropa dan berujung dengan pengunduran diri Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico.
Foto: Mikula Martin/dpa/picture alliance
Bebaskan media!
Lukasz Masiak, jurnalis Polandia, dipukuli hingga tewas di pusat boling, 2015 silam. Masiak meliput kasus korupsi, bisnis narkoba dan penangkapan sewenang-wenang. Pemerintah Polandia dikritik karena makin membatasi kebebasan pers. Warga Polandia memprotes aturan baru pemerintah di Warsawa untuk terus membatasi kebebasan pers.
Foto: Attila Husejnow/SOPA Images/ZUMAPRESS.com/picture alliance
Saya adalah Charlie
12 orang dibunuh dalam serangan teror di kantor majalah satire Prancis Charlie Hebdo, tahun 2015. Ratusan ribu orang di seluruh dunia berdemonstrasi untuk kebebasan berbicara dan pers menggunakan tagar “Saya adalah Charlie”. Pada November, jurnalis musik Guillaume Barreau-Decherf dibunuh saat serangan teroris di teater Bataclan, Paris yang tewaskan ratusan penonton.
Foto: picture-alliance/dpa
Jurnalis Turki diserang di Berlin
Jurnalis Turki di Jerman, Erk Acarer, pengkritik Presiden Recep Tayyip Erdogan, diserang oleh tiga orang tak dikenal di kediamannya pada 7 Juli 2021. Dalam Bahasa Turki, Acarer menceritakannya di Twitter: “Saya diserang menggunakan pisau dan dipukuli di rumah saya di Berlin.“ Tiga orang pelaku juga mengancam akan datang kembali kalau dia tidak berhenti melakukan reportase.
Foto: twitter/eacarer
Wartawan dengan pembatasan?
Bukan hanya kasus yang membahayakan nyawa wartawan yang ditakuti. Namun, sering wartawan yang dihambat saat bertugas, seperti oleh pengunjuk rasa yang murka, polisi atau pihak berwenang. Pada foto terlihat polisi antihuru-hara Prancis menghadang seorang pekerja pers saat demonstrasi menentang peraturan keamanan yang baru.
Foto: Siegfried Modola/Getty Images
10 foto1 | 10
Keluarga Mabasa menyebut pembunuhannya sebagai "kejahatan yang menyedihkan" dan menuntut agar "pembunuhnya yang pengecut diadili."
Kedutaan Belanda, Kanada, dan Inggris mengutuk pembunuhan itu dan mendesak penyelidikan yang cepat dan menyeluruh.
Kedutaan Kanada mengeluarkan pernyataan yang mendesak pihak berwenang Filipina untuk mengambil langkah-langkah nyata untuk memastikan tidak hanya bahwa para pelaku dibawa ke pengadilan, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi jurnalis melakukan pekerjaan mereka tanpa rasa takut akan kehidupan dan keselamatan mereka."
Bagaimana kebebasan pers di Filipina?
Pembunuhan itu menyusul penusukan fatal pada September lalu terhadap jurnalis radio lainnya, Rey Blanco, di Filipina tengah. Lanskap media Filipina termasuk yang lebih liberal di Asia, tetapi masih merupakan tempat yang berbahaya untuk bekerja, terutama di daerah pedesaan.
Menurut Reporters Without Borders, setidaknya 187 wartawan telah tewas di negara itu sejak 1987, termasuk 32 kasus dalam satu insiden pada 2009, serangan terhadap politisi oposisi pedesaan, para pendukung, dan wartawan yang meliputnya.
Committee to Protect Journalists, yang berbasis di New York, pada tahun 2021 menempatkan Filipina pada peringkat ke-13 dalam indeks impunitas globalnya, merujuk pada 13 pembunuhan jurnalis yang masih belum terpecahkan.
Kasus tingkat tinggi dari litigasi yang berulang dan berlangsung lama terhadap jurnalis pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Maria Ressa dan media Rapplernya telah membuat isu-isu seperti kebebasan pers, informasi yang salah, dan kemungkinan tindak penganiayaan pemerintah terhadap media di Filipina menjadi sorotan selama bertahun-tahun. ha/yf (AFP, Reuters)