Pemerhati Ungkap Bahaya Internet di Lingkungan Baduy
Detik News
13 Juni 2023
Menurut pemerhati Baduy Uday Suhada, ancaman internet di Baduy bisa berimbas pada terkikisnya adat istiadat di sana. Android yang dimiliki anak-anak juga dinilai telah mengubah sikap perilaku mereka.
Iklan
Pemerhati Baduy, Uday Suhada mengungkapkan bahayanya penetrasi internet di lingkungan adat Baduy. Adanya internet dapat membuat perubahan pola hidup masyarakat untuk menekuni hukum adat dalam bertani.
"Android yang dimiliki anak-anak Baduy telah mengubah pola pikir, sikap perilaku mereka, kini sebagian besar anak muda Baduy enggan lagi membantu orang tuanya berhuma (berkebun)," kata Uday saat dimintai tanggapan di Serang, Senin (12/6/2023).
Handphone cerdas yang dimiliki menurutnya memang digunakan sebagai alat bantu untuk berjualan. Khususnya di Baduy Luar yang berjualan secara online.
Di samping itu, sekarang juga populer akun media sosial warga Baduy. Ada youtuber, tiktok dan Instagram. Tapi, penggunaan media sosial itu tidak terkontrol di masyarakat adat dan rentan terhadap akses konten negatif.
"Sementara orang tuanya, di samping sibuk berhuma, juga tidak paham apa itu android, medsos dan apa bahayanya konten negatif," paparnya.
Pemangku adat Baduy menurutnya paham mengenai bahaya itu. Bahkan sejak 3 tahun lalu, ia pernah diundang musyawarat mengenai masalah ini.
"Saya sangat memahami psikologis para pemangku adat, sebab saat ini sebagian besar nomor telepon atas nama warga desa Kanekes sudah lebih dari 6.000. Info dari Diskominfo Lebak, hanya 30 persen saja digunakan untuk kepentingan bisnis, untuk memasarkan produk dan hasil karya warga Baduy," ujarnya.
Makanya, ancaman internet di Baduy menurutnya bisa berimbas pada terkikisnya adat istiadat di sana. Apalagi, hampir tidak ada yang melakukan kontrol terhadap penggunaan handphone pintar di warga yang tinggal di selatan Banten itu.
"Jika usulan ini (pembatasan internet) dipenuhi oleh pemerintah, maka resiko one lost generation bisa dihindari," ujarnya.
Sebelumnya, para tetua adat badut meminta pembersihan internet atau area blank spot khususnya di baduy Dalam. Alasannya pembatasan ini agar masyarakat tidak terpengaruh oleh konten negatif.
"Baduy Dalam nggak boleh seperti itu, tidak sebebas kayak daerah lain. Kekhawatiran para kokolot kalau sinyal masih ada, ada saja yang ngumpet-ngumpet main handphone," kata Kepala Desa Kanekes, Saija pada Kamis (9/6) lalu. (gtp/gtp)
Mentawai: Dalam Hening Memburu Kebebasan
Di lepas pantai barat Sumatera, warga mentawai berlindung dari hiruk pikuk kota besar. Suku kuno ini pandai meramu, berburu dan piawai dalam menato tubuh. Berpuluh tahun lamanya mereka tertekan beragam pemaksaan.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Hidup tenang di pedalaman
Generasi tua Mentawai hidup secara tradisional jauh di dalam hutan di pulau terpencil Siberut. Sesuai tradisi seluruh tubuh dihiasi tato. Selama beberapa dekade menolak kebijakan pemerintah Indonesia yang mendesak pribumi di pedalaman meninggalkan kebiasaan lama, menerima agama yang diakui pemerintah dan pindah ke desa-desa pemerintah.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/G. Charles
Terisolasi dari dunia luar
Suku asli Mentawai, memiliki budaya langka yang tidak dipengaruhi agama Hindu, Budha atau Islam selama dua milenium terakhir. Tradisi dan keyakinan mereka sangat mirip dengan pemukim Austronesia yang datang ke kawasan ini sekitar 4.000 tahun silam. Sejak bermukim di Pulau Siberut dua ribu tahun lalu, warga Mentawai hidup terisolir dari dunia luar.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Menghadapi paksaan
Ketika Indonesia merdeka 1945, para pemimpin negara berusaha mengubah mereka menjadi bangsa dengan bahasa dan budaya yang sama. Semua warga Indonesia harus menerima salah satu agama di Indonesia yang diakui secara resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Tapi Mentawai, seperti banyak suku-suku asli animisme Indonesia lainnya, tidak mau mengadopsi agama yang diakui oleh negara.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Diultimatum pemerintah
Tahun 1954, polisi Indonesia dan pejabat negara lainnya tiba di Siberut untuk memberikan ultimatum: Orang Mentawai memiliki waktu 3 bulan untuk memilih Kristen atau Islam sebagai agama mereka dan berhenti mempraktikkan ritus tradisional mereka, yang dianggap kafir. Kebanyakan warga Mentawai memilih Kristen. Mereka pun sempat dilarang bertato dan meruncingkan gigi yang merupakan bagian dari adat
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Ritual asli dihabisi
Selama beberapa dekade berikutnya, polisi Indonesia bekerja sama dengan pejabat negara dan tokoh agama rutin mengunjungi desa-desa Mentawai untuk membakar hiasan tradisional dan simbol yang biasa dipakai untuk ritual keagamaan. Kaumtua melarikan diri lebih dalam ke hutan untuk menghindari tekanan aparat negara.
Foto: picture-alliance/maxppp/D. Pissondes
Rentan ideologi komunisme?
Reimar Schefold, antropolog Belanda yang tinggal di Mentawai pada akhir 1960-an, menceritakan Kepada New York Times, bagimana warisan kuno dihancurkan: "Ketika mereka gelar ritual, polisi datang, membakar peralatan tradisional mereka –yang dianggap berhala,” Pemerintahan di era Soeharto juga khawatir bahwa mereka yang tidak memeluk agama yang ditetapkan negara- rentan terhadap pengaruh komunis.
Foto: Imago/ZUMA Press
Hidupkan kembali tradisi
Sekarang hanya sekitar 2.000 warga Mentawai yang masih laksanakan ritual tradisional mereka. Demikian antropolog Juniator Tulius, Upaya hidupkan kembali tradisi Mentawa dimulai, namun masih terseok. Saat Indonesia menuju demokrasi pada tahun 1998, budaya Mentawai ditambahkan ke kurikulum sekolah dasar lokal. Warga Mentawai juga bisa beribadah dan berpakaian sebagaimana yang mereka inginkan.
Foto: picture-alliance/Godong
Melestarikan adat istiadat
Ini Aman Lau lau, ia disebut Sikerei atau dukun. Dapat dikatakan, ia adalah perantara yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia dengan alam atau roh. Dia punya perean sosial sebagai penyembuh atau menari, menghibur dan menyemarakkan pesta-pesta rakyat Mentawai. Editor: ap/as(nytimes/berbagai sumber)