1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemerintah baru Irak / Konferensi senjata nuklir PBB

3 Mei 2005

Dua tema sorotan kali ini: Pemerintah baru di Irak dan Konferensi senjata nuklir PBB di New York.

PM Irak Al Jaafari
PM Irak Al JaafariFoto: AP

Pemerintah baru Irak hari Selasa 3/5 diambil sumpahnya. Upacara pengambilan sumpah dilakukan di apa yang dinamakan zona hijau , kawasan paling aman di Bagdad. Juga di hari-hari menjelang pelantikan pemerintahan baru , aksi kekerasan di Irak berlanjut terus yang meminta ratusan korban manusia.

Menanggapi situasi di Irak, harian Perancis Le Monde dalam tajuknya menulis, pemerintahan PM Al Jaafari masih tetap menghadapi situasi yang sulit di Irak:

Di Irak perang masih berkecamuk. Wajar kalau orang bertanya, berapa banyak kekuasaan harus dimiliki pemerintah yang terkucil di Zona Hijau di Bagdad, jadi di benteng Amerika, sementara di luar kawasan itu rakyat hidup dalam ketakutan. Selain serangan bunuh diri yang terjadi setiap hari, juga aksi penculikan terus berlanjut yang menimbulkan trauma di negara itu. Perlawanan gerilyawan Sunni belum berakhir. Sementara para pejuang jihad dari luar negeri yang dicegoki ideologi Al Qaida semakin banyak jumlahnya dan semakin kuat. Jadi pemerintahan PM Ibrahim Al Jaafari harus mampu memerintah ke seluruh Irak . Sementara para menteri dan diplomat melihat situasi dari sudut pandang zona hijau , dalam kurungan benteng Amerika.

Pemerintahan baru itu, digambarkan sebagai pemerintah terpilih pertama secara demokratis di Irak sejak lebih dari 50 tahun.

Menurut penilaian harian Inggris The Guardian, pemerintah Irak menghadapi tugas maha berat:

Kabar baik adalah bahwa akhirnya pemerintahan Irak terbentuk. Kabar buruknya, lahirnya pemerintah didahului perdebatan yang alot antara partai , yang memakan waktu 3 bulan setelah Pemilu 30 Januari lalu. Perubahan politik yang berjalan lamban menghambat pemerintah untuk bertindak menumpas para pelaku aksi kekerasan dan kejahatan, sehingga sementara ini banyak orang merindukan masa sebelum perang. PM Al Jaafari dan para menterinya sungguh menghadapi tugas berat. Di antara tugas utama pemerintah tersebut adalah mengatasi situasi keamanan yang buruk membrantas korupsi , mengadakan lapangan kerja dan memulihkan infrastruktur dasar. Untuk itu dibutuhkan bantuan dari dunia luar, terutama AS, Inggris dan negara-negara lain yang ikut menggulingkan Saddam Hussein.

**********

Sejak hari Senin (2/5) , 190 negara anggota PBB di New York mengevaluasi Perjanjian Non-proliferasi . Konferensi nuklir PBB yang diadakan sekali dalam lima tahun dan yang berlangsung sebulan penuh, terutama akan menyoroti masalah nuklir Korea Utara dan Iran.

Harian Jerman Süddeutsche Zeitung yang mengamati evaluasi perjanjian non-proliferasi berkomentar:

Pada awal konferensi maraton di New York sudah jelas, pelarangan penyebarluasan senjata atom merupakan masalah yang sulit. Perjanjian non-proliferasi tidak memiliki mekanisme sanksi, oleh sebab itu harus diperkuat dengan pengawasan yang lebih ketat dari Badan Energi Atom Internasional , yang mengikat bagi semua anggota , dan yang mempersulit pengunduran diri negara anggota dari traktat non proliferasi tsb. Selain itu kepada Korea Utara dan Iran harus ditegaskan bahwa politik nuklirnya tidak dapat diterima. Kalau tidak, banyak negara yang akan meniru dan akan timbul lomba senjata nuklir di Timur Tengah dan di Asia Timur.

Harian Märkische Allgemeine yang terbit di Potsdam lebih menyoroti perdebatan di Jerman mengenai penarikan senjata nuklir yang berada di bumi Jerman:

Partai sosial demokrat Jerman SPD memerangi kapitalisme . Partai Hijau memulai lagi demonstrasi anti-nuklir dari awal tahun 80-an. Ketua Partai Hijau Claudia Roth menuntut AS untuk menarik sisa senjata atomnya dari zaman perang dingin. Ketua partai demokrat liberal FDP Guido Westerwelle juga mendukung tuntutan yang populistis itu. Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang, Washington telah melakukan tugasnya di zaman konfrontasi antara blok barat dan timur, sekarang AS bisa angkat kaki...

Di satu pihak persenjataan nuklir di Jerman berada di bawah wewenang NATO, jadi keputusan mengenainya ada di tangan aliansi pertahanan tsb. Di lain pihak, tidak seorang pun dengan serius percaya , bahwa Korea Utara atau Iran dengan cara itu bisa ditekan untuk menghentikan program nuklir militernya. Satu-satunya yang konstan adalah sikap anti-Amerikanisme yang laten, yang melatarbelakangi politik yang kacau tsb.