Belum Ada Rencana Saring Pejabat Yang Terindikasi Radikal
Rizki Akbar Putra
25 Juni 2019
Anggota Satuan Tugas Khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Benny Susetyo, membantah rencana pemeriksaan latar belakang pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terindikasi terpapar Islam radikal.
Iklan
Pria yang akrab dipanggil Romo Benny ini mengaku memang ada kajian serta usulan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menerapkan kebijakan penyaringan tersebut. Akan tetapi hingga saat ini pemerintah sama sekali belum mengeluarkan rekomendasi terkait hal itu.
“Tidak ada (rencana itu), tidak ada dokumen itu. Tolong diluruskan,” tegas Romo Benny ini kepada Deutsche Welle Indonesia, Senin (24/06) di Jakarta.
Ia menegaskan bahwa pemerintah saat ini terus berupaya merangkul semua pihak dari berbagai golongan untuk menjaga persatuan dan kesatuan dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.
“Radikalisme di semua agama ada, jadi dengan Pancasila itu akhirnya agama-agama yang ada di Indonesia mampu menjaga persatuan karena membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari. Pancasila menjadi payung kehidupan bersama sehinga agama-agama di Indonesia sifatnya lebih kultural,” terang Romo Benny.
Langkah pencegahan
Seperti dikutip dari Reuters (14/06), seorang pejabat senior pemerintah membeberkan bahwa saat ini pemerintah tengah membentuk tim yang terdiri dari 12 orang ahli dan pejabat negara yang akan bertugas menyebarkan nilai-nilai Pancasila.
Pejabat yang tidak mau disebut namanya tersebut menjelaskan, bahwa rencana ini merupakan bagian dari kebijakan baru perekrutan calon pejabat negara hingga ke tingkat eselon dua. Diketahui ia juga memperlihatkan sebuah dokumen yang berisi tahapan penerapan prosedur pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat serta penerapan metode baru tes psikologi dalam memeriksa pejabat negara terkait.
Islam radikal disinyalir menjadi ancaman serius bagi aparat negara dan kehidupan berdemokrasi di masa depan. Kebijakan tersebut bila benar diterapkan akan menghalangi laju promosi dan kenaikan pangkat para pejabat negara yang dinilai mempunyai kecenderungan islam radikal.
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)
Foto: Reuters/I. A. Mustafa
8 foto1 | 8
Menurut pejabat tersebut, Jokowi saat ini ingin memastikan Indonesia tetap menjadi negara dengan pandangan Islam yang moderat.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Berdasarkan data Pew Research Center di tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia yang menganut agama Islam adalah sebanyak 204.847.000 jiwa, atau sekitar 87,2% dari total penduduk Indonesia.
Menanggapi ini, Halili, Direktur Riset Setara Institute berpendapat bahwa penyaringan ideologi perlu dilakukan dalam proses pengisian jabatan birokratis di kementerian maupun jabatan strategis di BUMN. Audit tematik juga penting dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap mereka yang sudah menjabat. Pasalnya konstitusi mewajibkan seluruh pejabat negara untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945.
Ia pun berpendapat bahwa negara perlu melakukan langkah-langkah preventif guna menangkal masuknya paham-paham radikalisme.
"Yang bisa kita katakan soal riset ASN: Negara tidak memiliki mekanisme, instrumen, dan prosedur yang memadai untuk menangkal radikalisme di lingkungan ASN dan perguruan tinggi,” terang Halili saat dihubungi DW Indonesia.
Munculnya ide penyaringan ini dilatarbelakangi fenomena maraknya infiltrasi gerakan radikalisme ke lingkungan ASN serta terjadinya diskriminasi layanan publik oleh seorang ASN yang terpapar paham radikalisme. Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dirasa juga belum optimal untuk mengawasi aparat negara dari sisi ideologis.
Halili juga menolak anggapan yang mengatakan penyaringan ini sebagai bentuk anti-Islam. Ia juga berpendapat penyaringan tersebut sama sekali berbeda dengan yang dilakukan semasa orde baru.
“Orba sangat anti terhadap komunisme, pada praktiknya kan screening itu dilakukan untuk tujuan politik menyingkirkan orang-orang atau kelompok-kelompok kontrapolitik rezim. Kalau screening yang kita usulkan adalah screening yang bersifat akademis-objektif tentang rekam jejak seseorang, apakah seseorang memiliki rekam jejak terlibat dalam gerakan kontra ideologi negara yaitu Pancasila,” jelas Halili.
Sebelumnya, pada Oktober 2017 lembaga Alvara Strategi Indonesia merilis survei yang menyatakan bahwa 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan tidak setuju dengan Pancasila dan lebih percaya dengan ideologi khilafah.
ae/hp (reuters, the straits times)
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim
Benarkah radikalisme agama ikut mengancam kebebasan pers? Berikut peringkat negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional versi Reporters Sans Frontières.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner
#120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
#124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kurniawan
#139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Foto: Getty Images/AFP/F. Naeem
#144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Foto: Getty Images/R. Roslan
#155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
#161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Foto: Reuters/A.A.Dalsh
#165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Foto: MEHR
#168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)