1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Pemerintah Didesak Bangun Sistem Peringatan Dini

24 Desember 2018

Pemerintah kini diminta untuk segera membangun sistem peringatan dini baru menyusul kerusakan pendeteksi tsunami akibat vandalisme dan minimnya biaya perawatan. Hal tersebut diamini Presiden Joko Widodo.

Indonesien Anak Krakatau Vulkanausbruch
Foto: Reuters/Antara Foto/Bisnis Indonesia

Pemerintah didesak agar secepatnya membangun sistem peringatan dini yang baru, menyusul bencana tsunami yang dipicu letusan gunung Anak Krakatau, Sabtu (22/12).

Jurubicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menulis jaringan detektor tsunami sudah tidak beroperasi sejak 2012. "Vandalisme, terbatasnya anggaran, kerusakan teknis menyebabkan tidak ada buoy tsunami saat ini. Perlu dibangun kembali untuk memperkuat Indonesia Tsunami Early Warning System," tulisnya via akun Twitter.

Baca juga: Dari Merkel Hingga Özil, Sampaikan Rasa Duka Mendalam Untuk Korban Tsunami Indonesia

Hal tersebut diamini Presiden Joko Widodo yang berkunjung ke kawasan bencana di Kabupaten Pandenglang, Lampung Selatan dan Serang. "Saya sudah menginstruksikan BMKG untuk mengadakan sistem atau alat yang bisa menjamin peringatan dini sehingga warga bisa selamat," ujarnya.

Indonesia sebenarnya sudah bekerjasama dengan Pusat Manajemen Bencana di University of Pittsburgh, Amerika Serikat, sejak 2013 buat mengembangkan pendeteksi tsunami berbasis hidropon. Setelah ujicoba yang sukses pada 2016, ketiadaan dana membuat instalasi prototip pertama yang sedianya akan dilakukan pada 2018 terlambat, antara lain lantaran anjloknya nilai tukar mata uang rupiah.

Namun meskipun terdapat sistem peringatan dini, masyarakat di sekitar Selat Sunda diyakini hanya memiliki waktu maksimal dua menit untuk mengungsikan diri.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan bencana maut tersebut dipicu oleh "longsor bawah laut" sebagai dampak letusan gunung Anak Krakatau. Sedikitnya 64 hektar bagian barat daya gunung api tersebut runtuh ke dalam laut. "Ini yang menyebabkan longsor bawah laut dan memicu tsunami," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.

Baca juga: Pemasangan Pendeteksi Dini Tsunami Baru Terhambat Devaluasi Rupiah?

Akibat peristiwa tersebut gelombang laut setinggi dua hingga tiga meter menyapu Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam, tanpa ada peringatan. Indonesia saat ini hanya bisa memberikan peringatan berdasarkan simulasi gempa bumi, bukan letusan gunung berapi.

Sementara itu angka korban jiwa di Banten dan Lampung kini mencapai 281 orang, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Adapun 1.000 orang mengalami luka-luka dan hampir 12.000 penduduk di pesisir pantai dipaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Sejauh ini bantuan kemanusiaan sudah mulai mengalir ke kawasan bencana, terutama Pandeglang yang paling parah terdampak gelombang tsunami. Ratusan relawan yang terdiri atas unsur sipil, TNI dan Polri juga turut membantu mencari korban di balik reruntuhan bangunan di sepanjang 100km garis pantai.

Baca juga: BMKG dan Badan Geologi Duga Tsunami Banten dan Lampung Kemungkinan Terkait Aktivitas Anak Krakatau

Termasuk di antaranya sekelompok relawan dari Jakarta Barat yang juga sudah bekerja di kawasan bencana di Lombok dan Palu. Mereka ikut mencari korban di Villa Stephanie, satu dari belasan penginapan di tepi pantai yang hingga kini masih mencatat delapan orang hilang.

"Sangat sulit di sini karena banyaknya reruntuhan," kata Kepala Taruna Siaga Bencana Jabar, Muhammad Idris.

"Tahun ini kami sangat sibuk. Bencananya semakin parah," imbuhnya.

rzn/ap (rtr, ap, afp)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait