Pelonggaran regulasi pengelolaan abu batu bara ini disebut dapat memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Iklan
Pemerintah menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar jenis limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Kategori FABA baru ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penghapusan FABA dari jenis limbah B3 terlampir dalam lampiran XIV.
Begini isi lampirannya:
Jenis Limbah Non B3
N 106 Flg ash Sumber limbah: Proses pembakaran batubara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi selain stocker boiler dan/atau tungku industri
N107 Bottom ash Sumber limbah: Proses pembakaran batubara pada fasilitas PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi selain stocker boiler dan/atau tungku industri
Iklan
Risiko penecemaran dan ancaman kesehatan
Lembaga swadaya masyarakat, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti hal ini. Dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/03) ICEL mencatat upaya untuk menyederhanakan ketentuan pengelolaan abu batu bara tidak terjadi sekali ini.
Berdasarkan catatan ICEL, sebelumnya pada 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.10 Tahun 2020, yang memberikan penyederhanaan prosedur uji karakteristik Limbah B3, termasuk apabila ingin melakukan pengecualian fly ash sebagai Limbah B3.
ICEL mengingatkan bahwa dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 bisa memicu resiko pencemaran. Abu batu bara bisa dimanfaatkan tanpa diketahui potensinya pencemarannya.
"Dengan statusnya sebagai limbah non B3, kini abu batu bara tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan. Artinya, terdapat risiko di mana abu batu bara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya," tulis ICEL dalam keterangannya.
Akhir Pertambangan Batu Bara di Jerman
Setelah lebih dari 150 tahun, pertambangan batu bara di Jerman pun berakhir dengan penutupan Tambang Prosper-Haniel di Bottrop. Era ‘emas hitam’ di Lembah Ruhr telah berlalu, kesedihan pun terasa.
Foto: Guntram Walter
Hari Kerja Terakhir
Presiden Jerman, Frank Walter Steinmaier mendapatkan potongan terakhir ‘emas hitam’ dari Bottrop. Tiga hari sebelum Natal, tambang Prosper-Haniel, tambang batu bara terakhir Jerman itu resmi ditutup. Tahun ini bisa jadi natal yang melankolis dan penuh nostalgia bagi warga di kawasan Ruhr itu, terutama untuk para penambang batu bara dan keluarga mereka.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Seidel
‘Emas Hitam’
Seperti yang terlihat pada gambar, batu bara disimpan diluar selama beberapa hari. Nampak juga menara Prosper-Haniel pada latar belakang foto. Setelah beberapa hari, batu bara akan dibawa ke pelabuhan terdekat, dimuat ke kapal, dan dikirimkan kepada para konsumen. Muatan batu bara yang lebih besar biasanya dikirim ke luar negeri. Berkualitas tinggi, batu bara Jerman begitu terkenal.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Weihrauch
Persahabatan yang membanggakan
Pekerja di tambang batu bara tak hanya digaji tinggi tapi juga dihormati. Pekerjaan yang kotor, melelahkan, dan berbahaya ini mengeratkan hubungan para penambang. Mereka bahkan memanggil satu sama lain ‘kumpel‘ atau sobat. Sesuatu yang tidak lazim, sebab relasi kerja di Jerman biasanya formal. Penambang begitu bangga akan solidaritas dan kesetiakawanan yang mereka miliki.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Heyder
Hidup dan bekerja di Tambang
Rumah untuk para penambang dibangun di sekitar area tambang. Di halaman rumah, mereka sering memelihara ternak seperti babi atau ayam. Ada juga ruangan untuk memelihara burung merpati. Rumah-rumah penambang ini sangatlah terkenal. Di Jerman, rumah yang memiliki kebun dianggap suatu kemewahan.
Foto: picture-alliance/dpa/Schulte
Rekan-rekan dari 'Asia Kecil'
Setelah Perang Dunia II, banyak pekerja tamu dari negara di selatan Eropa dan Turki yang datang untuk bekerja di tambang bersama dengan kolega dari Silesia dan Masuria, daerah yang sekarang dikenal sebagai Polandia. Hampir semua para pekerja tamu tersebut memilih menetap di Jerman. Nama Ahmad dan Mustafa tidak asing di setiap sudut kawasan Ruhr.
Foto: picture-alliance/dpa
'Retakan' Pertama
Tahun 1950 dan 1960 adalah puncak industri pertambangan Ruhr. Setelahnya bisnis pun berjalan 'sulit', batu bara yang tadinya mudah ditambang di permukaan, semakin lama semakin sulit ditemukan, butuh pengerukan lebih dalam lagi.
Foto: picture-alliance/KPA
Buruk untuk lingkungan
Selama beberapa dekade area Ruhr memiliki kualitas udara yang buruk. Mesin pembakar batu bara tentu bisa membantu ‘mengeringkan cucian’ namun membuat baju jadi berwarna 'gelap' saat dijemur. Gambar menunjukkan kaki langit yang dipenuhi batu bara, tumpukan asap pun tampak di Oberhausens tak jauh dari Bottrop. Kini tak seorang pun merindukan efek kotor dari bisnis batu bara ini.
Foto: Getty Images/L. Schulze
Landasan yang tidak stabil.
Meskipun pertambangan tidak berlanjut, batu bara tetap akan diingat oleh penduduk Ruhr. Ini karena rumah, jalan, lintasan kereta sering kali rusak karena fondasi yang tidak solid. Penggalian batu bara meninggalkan lubang-lubang di bawah tanah yang sering menjadi penyebab kerusakan jalan, rumah, atau lintasan kereta di atasnya.
Foto: Imago/J. Tack
Pekerjaan yang tidak pernah selesai
Setelah 150 tahun, Area Ruhr telah menyusut hingga 25 meter dari permukaan tanah sebelumnya. Jika para penambang meninggalkan lokasi pekerjaan, air bawah tanah akan terdorong ke atas dan mengubah area tersebut menjadi danau yang luas. Oleh sebab itu, air harus dipompa – secara terus menerus. Itulah mengapa Ruhr disebut ‘beban tiada akhir‘ bagi lebih dari lima juta orang yang tinggal di sana.
Foto: Imago/blickwinkel
Apa yang tersisa?
Menara tambang yang ada kini telah dihancurkan. Area kompleks pertambangan pun telah dihijaukan. Banyak monumen bekas industri didirikan dan banyak pula yang telah diubah menjadi taman hiburan. Sontohnya adalah Zollverein di Essen yang kini menjadi situs warisan dunia UNESCO. (Ed: sc/ts)
Foto: Guntram Walter
10 foto1 | 10
ICEL juga menyoroti ancaman kesehatan bagi warga yang dekat dengan PLTU yang tidak mengelola FABA. FABA bisa berbahaya bagi kesehatan karena beracun.
"Bentuk pelonggaran regulasi pengelolaan abu batu bara ini memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Hingga saat ini, studi membuktikan bahwa bahan beracun dan berbahaya yang ditemukan dalam abu batu bara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia," jelas ICEL.
Berdasarkan ancaman tersebut, ICEL mendorong pemerintah untuk mencabut pelonggaran aturan pengelolaan limbah batu bara ini.
"Segera mencabut kelonggaran pengaturan pengelolaan abu batu bara dan tetap mengkategorikan abu batu bara sebagai limbah B3," kata ICEL. (Ed: gtp/rap)