Peristiwa 1965: Pemerintah Indonesia Tolak Minta Maaf
18 April 2016
Pemerintah Indonesia menggelar Simposium 1965 untuk menyelesaikan "sejarah kelam" salah satu pembunuhan massal terbesar di abad ke 20. Tapi Pemerintah Indonesia menolak meminta maaf secara resmi kepada korban.
Iklan
Simposium dua hari tentang peristiwa 1965 dibuka hari Senin (18/04/16) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Pada pembukaan simposium nasional itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, tidak ada rencana pemerintah untuk meminta maaf terkait peristiwa 1965.
"Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran pemerintah akan minta maaf ke sana atau ke sini. Kami tahu apa yang kami lakukan yang terbaik untuk bangsa ini," kata Luhut sebagaimana dikutip Kompas Online.
Setidaknya 500.000 orang diperkirakan tewas dalam pembunuhan massal yang terjadi di Indonesia antara 1965-1966. Perkiraan lain mencatat satu sampai dua juta korban. Selain pembunuhan massal yang digerakkan oleh tentara, keluarga korban juga mengalami penindasan, penyiksaan dan penahanan ilegal selama puluhan tahun pada masa Orde Baru di bawah Presiden Suharto.
Panitia simposium di Jakarta menerangkan, acara ini menandai pertama kalinya pemerintah Indonesia mencoba mendengar suara dari pihak korban. Sebagian aktivis hak asasi manusia menyambut upaya dialog pemerintah dengan korban kekejaman rejim Orde Baru, namun sebagian lain mengeritik penolakan jalur hukum dan pengungkapan kebenaran.
Menteri Koordinator Polhukam Luhut Panjaitan - salah satu penasihat terpenting Presiden Joko Widodo - menegaskan, pemerintah tidak akan tunduk pada tekanan eksternal.
"Kami ingin menyelesaikan sejarah gelap masa lalu kita," katanya kepada ratusan hadirin di Jakarta, termasuk keluarga korban penindasan terkait peristiwa 1965.
"Kita harus berdamai dengan masa lalu kita dan itu tidak akan sempurna, tetapi tidak ada pemikiran bahwa pemerintah akan meminta maaf kepada siapa pun," tandas Luhut.
Pembunuhan massal dimulai setelah Jenderal Suharto mengambil alih kendali militer sebagai reaksi atas penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal militer. Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu dinyatakan bersalah melakukan upaya kudeta dengan aksi itu. Militer kemudian menggalang aksi pembalasan dan pembunuhan massal di berbagai tempat di Indonesia, dengan bantuan kelompok-kelompok masyarakat dan berbagai organisasi politik, sosial dan agama.
Pasukan keamanan yang didukung kelompok lokal melakukan aksi pembantaian selama beberapa bulan terhadap orang-orang yang dicurigai punya hubungan dengan PKI. Ratusan ribu orang ditahan, sebagian dipenjara selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Suharto kemudian mengambil alih kekuasaan dan memerintah Indonesia secara otoriter selama selama 32 tahun, sebelum akhirnya mundur atas tekanan publik dan internasional setelah perekonomian Indonesia guncang di tengah krisis moneter 1998.
Isu pembantaian 1965 mulai dibicarakan lagi secara lebih luas setelah beberapa karya sastra dan film mengangkat tema itu, terutama film dokumenter "The Act of Killing" dari Joshua Oppenheimer yang sempat masuk nominasi untuk Piala Oscar.
Namun penentangan masih tetap kuat. Beberapa acara diskusi tentang pembantaian 1965 terpaksa dibatalkan setelah aparat keamanan menyatakan ada ancaman dari kelompok-kelompok militan yang siap melakukan alsi kekerasan, jika acara itu digelar.
Baru-baru ini, pemerintahan Jokowi meminta Amerika Serikat untuk membuka dokumen rahasia tentang peristiwa 1965 yang masih disimpan Amerika Serikat. Tapi pemerintah Indonesia hingga kini menolak permintaan maaf kepada pihak korban yang mengalami pembunuhan dan penindasan.
Dalam berbagai kesempatan, para pejabat pemerintahan menegaskan akan mencari "solusi non yudisial" untuk menjaga kerukunan. Alasan lain yang dikemukakan adalah, peristiwa itu sulit diungkap dalam penyidikan karena kebanyakan pelakunya sudah meninggal dunia.