Pemerintah Indonesia memanggil Duta Besar Inggris hari Jumat (17/3) untuk meminta keterangan soal kapal pesiar Caledonian Sky yang merusak lebih 13 hektar terumbu karang di Raja Ampat.
Iklan
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan di Jakarta memanggil Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, untuk menerangkan soal insiden di kawasan lindung Raja Ampat yang dilakukan kapal pesiar Caledonian Sky.
Setelah pertemuan di kantor Luhut, Dubes Moazzam Malik mengatakan kepada wartawan, dia sudah melakukan "diskusi yang sangat baik" dengan Menteri Koordinator Kemaritiman. "Saya kecewa setelah mengetahui tentang kerusakan terumbu karang di Papua Barat, sebagaimana sikap kami dalam setiap insiden lingkungan yang terjadi di Indonesia atau di mana pun di dunia," katanya. "Kami berharap masalah ini dapat diselesaikan dengan cepat antara pemerintah Indonesia dan perusahaan pengelola kapal yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini," tambahnya.
Namun Duta Besar Inggris itu juga mengatakan, Caledonian Sky bukan kapal Inggris, melainkan milik sebuah perusahaan Swedia. Operator tur wisata melalui Raja Ampat itu adalah Caledonian Noble, memiliki kantor pusat di London. "Kami harap masalah ini bisa segera selesai," kata dia.
Menteri Luhut Panjaitan mengatakan, otoritas di Indonesia menyikapi kerusakan termbu karang dengan "sangat serius"."Dia (kapten kapal) berusaha membebaskan diri dari karang dan membuat kerusakan jadi lebih buruk, meskipun dia diperintahkan untuk berhenti," kata Luhut dan menambahkan, bisa memakan waktu sampai 100 tahun untuk memulihkan terumbu karang yang rusaknya.
Namun Luhut mengakui, kasusnya cukup rumit. "Ini complicated, dia pemegang paspor Inggris, tinggal di Florida. Kapalnya kapal Swedia, operatornya juga. Benderanya Bahama. Pembelian tiketnya di Inggris," katanya sebagaimana dikutip Antaranews.
Raja Ampat merupakan salah satu habitat laut yang paling kaya keanekaragaman hayati di dunia dan menarik banyak wisatawan dan penyelam ke pulau-pulau di kawasan itu. Kecelakaan itu terjadi 4 Maret lalu, ketika kapal pesiar Caledonian Sky yang berbobot 4200 ton dan dinakhodai oleh Kapten Keith Michael Taylor kandas di kawasan lindung Raja Ampat karena air surut.
Upaya untuk membebaskan kapal pesiar yang membawa 102 penumpang dan 79 kru itu dengan bantuan kapal tunda gagal dan menyebabkan kerusakan parah terumbu hampir seluas 14 hektar. Pemerintah Indonesia telah membentuk gugus tugas untuk menyelidiki kerusakan terumbu karang dan berjanji untuk mengambil tindakan tegas.
Ricardo Tapilatu, peneliti kelautan dari Universitas Papua yang memimpin tim penyelidik kerusakan mengatakan, kerusapak itu diperkirakan terjadi seluas 13.500 meter persegi. Kemungkinan dibutuhkan biaya sampai 16 juta dolar AS utnuk memulihkannya. Perusahaan Caledonia Noble telah menyatakan permohonan maaf atas kecelakaan itu dan mengatakan mereka akan berupaya mencapai penyelesaian dengan pemerintah.
"Kami menghargai hubungan kami di seluruh dunia dengan penduduk lokal dan kami mohon maaf inisiden ini telah berdampak pada masyarakat setempat," kata Caledonia Noble dalam sebuah pernyataan yang dirilis awal pekan ini.
Perjudian Buntu di Tambang Grasberg
Kemelut antara Indonesia dan PT Freeport berpotensi cuma akan menghasilkan pecundang. Kedua pihak terjebak dalam pertaruhan besar seputar tambang Grasberg, tanpa ada jalan keluar.
Harus diakui, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang paling kontroversial di Indonesia. Hubungan antara perusahaan yang bermarkas di Phoenix, AS, dengan pemerintah selama ini dipenuhi kekisruhan dan perseteruan. Tidak heran jika jelang negosiasi perpanjangan kontrak, kedua pihak kembali bersitegang.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Bola Api dari Jakarta
Terakhir, raksasa tambang AS itu berseteru dengan pemerintah soal Kontrak Karya dan izin ekspor. Kontrak yang ada saat ini akan berakhir tahun 2021 dan Jakarta enggan memperpanjang karena khawatir merugi. Sebab itu Kementerian Energi dan SDM mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Freeport buat memperpanjang kontrak.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Simalakama Freeport
Tahun 2017 pemerintah mengubah status Kontrak Karya yang dikantongi Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bersamanya Freeport wajib membangun fasilitas pemurnian alias smelter dalam waktu lima tahun dan menyerahkan 51% saham tambang Grasberg pada Indonesia. Namun Freeport menolak klausul tersebut karena dinilai merugikan.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Menyambung Nyawa
Lantaran gagal memenuhi persyaratan yang diajukan, pemerintah mencabut izin ekspor Freeport dan sejak 2015 hanya memberikan izin sementara yang berlaku selama enam bulan. Situasi ini menyudutkan Freeport karena tidak bisa mengekspor ketika harga Tembaga sedang melambung. Terlebih tambang terbuka Grasberg nyaris habis masa pakainya dan Freeport harus mulai menambang tembaga di bawah tanah.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Tekanan Pasar
Lantaran sikap keras Jakarta, Freeport merumahkan 12.000 pegawai akibat penurunan produksi. Kemelut di Indonesia akhirnya berimbas negatif pada saham Freeport. Analis pasar menganjurkan investor jangka panjang untuk tidak membeli saham Freeport hingga kisruh kontrak diselesaikan. JP Morgan bahkan menurunkan status Freeport dari "Overweight" menjadi "Neutral."
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Gali Lubang Demi Utang
Tekanan pasar pada Freeport bertambah besar lantaran ketidakjelasan soal izin ekspor. Tahun ini Freeport merencanakan kapasitas produksi tambang Grasberg sebesar 32% dari total volume produksi perusahaan. Demi membiayai produksi dan menutup utang, perusahaan itu telah menjual sahamnya di tambang-tambang Afrika, dan mulai menambang tembaga berkualitas tinggi di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/T.Eranius
Terganjal Regulasi
Freeport berdalih akan berinvestasi senilai 15 miliar Dollar AS untuk mengubah Grasberg menjadi tambang bawah tanah. Untuk itu mereka menginginkan kepastian perpanjangan Kontrak Karya hingga 2041. Namun menurut UU Minerba, Indonesia hanya bisa menegosiasikan kontrak dua tahun sebelum masa berlakunya berakhir, dalam hal ini tahun 2019.
Foto: AFP/Getty Image
Jalan Buntu buat Dua Pihak
Akhirnya kedua pihak tidak bisa mengalah dan berniat membawa kasus Grasberg ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Buat Freeport, menerima IUPK berarti kehilangan kuasa atas salah satu sumber pemasukan terbesarnya. Sementara pemerintah Indonesia juga enggan mundur dari tuntutannya karena terancam merugi dan kehilangan muka di hadapan publik. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)