Penerbit Diwajibkan Tarik Buku "Aku Bisa Melindungi Diri"
23 Februari 2017
Pemerintah Indonesia memerintahkan penerbit untuk menarik buku pendidikan seks untuk anak-anak, yang membahas subyek mengenai masturbasi. Buku terbitan Tiga Serangkai itu dipandang terlalu vulgar.
Iklan
Penerbit buku seri "Aku Bisa Melindungi Diri" telah meminta maaf atas polemik buku pendidikan seks tersebut. Namun pihaknya menandaskan bahwa buku ini bertujuan untuk membantu orang tua mengajar anak-anak bagaimana melindungi diri dari ancaman pelecehan seksual.
Kementerian Pendidikan menyatakan buku yang ditulis oleh Fita Chakra, berisi konten pornografi. Salah satunya, gambar kartun seorang anak memeluk sebuah guling ketika dia tidak bisa tidur. Sang anak tersebut digambarkan menemukan permainan baru dengan meletakkan tangannya di dalam celananya.
"Isi buku ini tidak sesuai untuk anak-anak. Itu terlalu vulgar," demikian dinyatakan kementerian pedidikan dalam sebuah pernyataan, dan menambahkan pihak penerbit harus menarik buku dari peredaran, jika tidak akan menghadapi sanksi yang berat.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.
Foto: DW/M. Ridwan
13 foto1 | 13
Kepala pusat pelayanan untuk kurikulum dan perbukuan Kementrian pendidikan dan Kebudayaan, Awaluddin Tjalla mengatakan kementerian telah mendesak asosiasi penerbit untuk mengambil tindakan terhadap penerbit.
Tujuan penerbit membantu orangtua mendampingi anak-anak
Pihak penerbit, Tiga Serangkai, mengatakan telah berkonsultasi dengan psikolog serta dokter anak tentang buku tersebut. "Tujuan kami dalam meluncurkan buku itu adalah kami dapat membantu orang tua menjelaskan kepada anak-anak tentang pentingnya melindungi diri sendiri... dari orang-orang yang punya niat tidak baik terhadap mereka," demikian dinyatakan Tiga Serangkai dalam sebuah pernyataan.
Buku ini juga berisi materi pengetahuan mengenai penyakit menular seksual dan "pengetahuan dasar yang penting untuk diketahui anak sejak usia dini ", tandas penerbit.
Pada akun Instagram-nya, Tiga Serangkai mengatakan: Pada akhirnya, kami sadar bahwa sebagian masyarakat kita mungkin belum siap untuk menerima pendidikan seksual sejak usia dini." Mereka mempersilahkan bagi konsumen yang sudah membeli buku itu dan ingin mengembalikan buku tersebut ke penerbit, uangnya akan dikembalikan. Penerbit mengatakan buku tersebut sebenarnya telah ditarik sejak Desember lalu.
Pro kontra di medsos
Namun, buku-buku itu masih dijual di beberapa toko online. Sepekan belakangan, beberapa orang di media sosial mengeluhkan buku tersebut.
Pemilik akun Instagram @Sitikamilla menulis: "Kami sebagai masyarakat awam mungkin hanya bisa mengeluarkan opini dan berharap kejadian ini tidak terulang lagi.. Mungkin kontennya bisa lebih ramah anak lagi (sesuai dengan ilustrasinya yang imut)."
Sementara:@ putripute18 menulis: Tetap aja salah. Pendidikan sejak dini macam apa itu. Merusak otak anak dan masa depan anak. Nanti yang ada malah timbul kriminalitas seks”.
Di lain sisi, ada juga netizen yang punya pendapat berbeda. @nakayume13 misalnya: "Saya rasa tidak ada yang salah baik dari diksi maupun isi konten, tapi memang kenyataannya masyarakat Indonesia belum siap memberikan sex education. Bahkan dari kehebohan yang ada, saya melihat justru orang dewasa memakai pola pikirnya untuk memahami dunia anak. Pola pikir yang jauh lebih kompleks dari anak kecil. Untuk author dan penerbit, tetap semangat. Saran saja mungkin perlu diberi label khusus untuk seri sex education, sehingga mereka yg membeli adalah mereka yang siap mendampingi anak belajar kesehatan seksual bersama-sama, bukan yang sekedar membelikan buku bacaan tanpa pendampingan.”
Sebelumnya juga pernah terjadi kontroversi atas buku terbitan Brillian Internasional yang berjudul "Saatnya Aku Belajar Pacaran”. Dikutip dari liputan6.com, penulis buku itu, Toge Aprilianto yang juga merupakan psikolog, meminta maaf melalui laman Facebook pribadinya dan berjanji menghentikan distribusi buku tersebut sekaligus mengembalikan uang pembeliannya jika pembaca meminta.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.