1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Jerman dan Prancis Lumpuh, Bagaimana Prospek Ekonomi di UE?

7 Januari 2025

Dua negara dengan perekonomian terbesar di Uni Eropa (UE) Jerman dan Prancis, saat ini tidak memiliki pemerintahan yang stabil. Bagaimana hal ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Eropa?

Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) dan Kanselir Jerman Olaf Scholz (kanan)
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) dan Kanselir Jerman Olaf Scholz (kanan) Foto: Annegret Hilse/REUTERS

Prancis dan Jerman sering disebut sebagai "mesin pertumbuhan Uni Eropa (UE)", karena memiliki populasi dan perekonomian terbesar di blok tersebut. Tapi situasi politik di kedua negara saat ini sedang kacau.

Di Jerman, pemerintahan Kanselir Olaf Scholz, yang kini hanya terdiri dari aliansi Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau, tidak lagi memiliki mayoritas di parlemen, setelah ditinggal mitra koalisi ketiga mereka, Partai Liberaldemokrat FDP. Karena itu juga Jerman harus melangsungkan pemilu dini pada 23 Februari 2025.

Jajak pendapat terbaru menunjukkan,  tidak ada partai yang akan meraih mayoritas di atas 50 persen, sehingga negosiasi koalisi tidak dapat dihindari setelah pemilu. Jadi sampai Jerman bisa membentuk pemerintahan yang berfungsi, masih harus menunggu sampai April atau Mei 2025.

Di Prancis, ketidakstabilan diperkirakan akan berlangsung lebih lama. Menurut konstitusi Perancis, pemilu baru hanya dapat dilaksanakann paling cepat pada Juli 2025. Sampai saat itu tiba, situasi mayoritas di parlemen tidak jelas dan kubu Presiden Emmanuel Macron hanya bisa membentuk pemerintahan minoritas.

Ada ada tiga blok besar di Majelis Nasional Prancis, yaitu kubu populis kanan Rassemblement National (RN), aliansi kiri New Popular Front NFP, dan kubu tengah pimpinan Macron Ensemble pour la Republique (Ensemble).

Claire Demesmay, ilmuwan politik dan peneliti di Pusat Ilmu Sosial Perancis-Jerman di Berlin, menggambarkan situasi politik saat ini di Prancis sebagai "sangat tidak stabil".

"Tidak ada mayoritas di parlemen, dan ketiga blok menolak bekerja sama,” katanya kepada DW. Dia mengatakan lebih lanjut, politik Prancis tidak memiliki tradisi membangun pemerintahan koalisi multi-partai seperti Jerman. "Budaya politik Prancis bersifat konfrontatif dan tidak memiliki tradisi kompromi, sehingga sulit membentuk pemerintahan mayoritas.”

Germany's economic dilemma: spend or save?

02:37

This browser does not support the video element.

Perselisihan utang dan anggaran untuk dorong pertumbuhan

Di Jerman, koalisi tiga partai SPD-Partai Hijau-FDP runtuh karena perselisihan soal anggaran, tepatnya soal utang. FDP menolak keras membiayai program-program infrastruktur dengan utang baru dan keluar dari pemerintahan. Di Prancis, perdana menteri konservatif Michel Barnier gagal meloloskan anggaran di parlemen dan kealah dalam mosi kepercayaan pada 4 Desember 2024. Presiden Macron lalu menunjuk Francois Bayrou sebagai perdana menteri baru pada 13 Desember..

Carsten Brzeski, kepala ekonom di ING Bank, mengatakan Jerman dan Prancis menerapkan kebijakan fiskal yang berlawanan sehingga "memperburuk situasi lebih lanjut."Sementara Prancis membiayai berbagai program stimulus ekonomi dengan utang, Jerman tidak bisa meningkatkan belanja untuk memodernisasi infratrukturnya yang menua. "Prancis harus menjadi lebih seperti Jerman, dan Jerman menjadi lebih seperti Prancis,” kata Carsten Brzeski kepada DW.

Prancis kini memiliki utang nasional tertinggi ketiga di zona euro setelah Yunani dan Italia, sementara Jerman hanya sedikit melampaui batas utang UE sebesar 60% dari produk domestik bruto (PDB) tahunan yang diperbolehkan berdasarkan Perjanjian Maastricht.

Selain itu, defisit anggaran nasional Perancis – yang diproyeksikan sebesar 6% dari PDB pada tahun 2024 – sudah dua kali lipat dari batas yang diperbolehkan sebesar 3% untuk negara-negara zona euro. Untuk memenuhi peraturan fiskal UE, Prancis perlu melakukan penghematan, namun untuk mendapatkan persetujuan program penghematan dari parlemen sangat rumit, karena perlu mayoritas yang stabil. Lembaga pemeringkat internasional Moody's bulan Desember menurunkan peringkat kredit Prancis, dengan alasan fragmentasi politik dan ketidakstabilan fiskal.

Sebaliknya, Jerman mempunyai defisit anggaran kurang dari 3% PDB karena aturan dalam konstiotusi yang disebut sebagai rem utang (Schuldenbremse). Banyak pakar ekonomi mengeritik aturan terhadap batas pinjaman itu dan mengatakan, aturan rem utang harus dihapuskan atau direformasi. Karena Jerman saat ini butuh dana untuk infrastruktur negara yang makin menua. Tapi untuk mengubah konstitusi dibutuhkan dua pertiga mayoritas di parlemen.

Pertumbuhan ekonomi Eropa terpuruk menjelang pelantikan Trump di AS

Bank sentral Perancis telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2025 menjadi 0,9% dari sebelumnya 1,1%, dengan alasan "meningkatnya ketidakpastian” terhadap pertumbuhan di dalam dan luar negeri. Sementara Jerman, yang merupakan perekonomian terbesar di Eropa, diperkirakan akan mengalami resesi selama dua tahun berturut-turut. Untuk 2025, bank sentral Jerman memproyeksikan pertumbuhan hanya sebesar 0,2%. Faktor risiko terbesar menurut Bank Sentral Jerman adalah kemungkinan "meningkatnya proteksionisme [perdagangan] secara global,”yang berkaitan dengan kepresidenan Donald Trump.

Bagi Jerman, yang perekonomiannya sangat tergantung pada ekspor, mendorong perdagangan bebas melalui perjanjian-perjanjian baru, dapat membantu perkembangan ekonomi. Karena itu Jerman mendorong perjanjian perdagangan bebas antara Uni Eropa dan blok perdagangan Amerika Selatan, Mercosur. Perjanjian antara UE dan Mercosur sudah ditandatanganiu bulan Desember lalu, tetapi Prancis sudah menyatakan dengan jelas bahwa mereka menentang perjanjian itu.

"Masalah perdagangan adalah isu klasik yang menjadi perdebatan antara Jerman dan Prancis,” kata Claire Demesmay. "Di Prancis, perjanjian perdagangan besar dipandang jauh lebih kritis dibandingkan di Jerman. Ada perasaan bahwa masa depan Prancis tidak lagi berada di tangannya sendiri, dan ini berbahaya secara politik.”

Kurangnya persatuan antara Jerman dan Prancis bisa jadi masalah lebih besar lagi, ketika menghadapi politik AS di bawah Donald Trump, yang kebijakannya sulit diprediksi. "Saat ini, masyarakat Eropa lebih siap dibandingkan delapan tahun yang lalu," ujar Carsten Brzeski, dan ia menyarankan untuk tidak hanya bereaksi terhadap tindakan Trump.

"Sebaliknya, mereka harus fokus pada perekonomian domestik, berinvestasi di infrastruktur, dan mendorong reformasi struktural,” ujarnya. Oleh karena itu, ia menganjurkan koordinasi kebijakan yang erat antara Jerman dan Prancis. "Dari pengalaman masa lalu, kita tahu bahwa jika dua negara dengan perekonomian terbesar tidak bekerja sama dan memajukan proyek Eropa, kemajuan di Eropa akan sangat lambat.”

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman.

Andreas Becker Editor bisnis dengan fokus pada perdagangan global, kebijakan moneter dan globalisasi.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait