1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemerintahan transisi Irak / Konferensi Internasional Energi Terbarukan

2 Juni 2004

Pemerintahan transisi baru di Irak dan konferensi internasional mengenai energi terbarukan , adalah tema dalam Sari Pers Internasional Deutsche Welle.

Setelah perundingan alot berminggu-minggu lamanya, akhirnya Irak, PBB dan AS menyepakati pemerintahan transisi baru Irak, dan memilih Sheikh Ghazi al-Yawar , 46 tahun, sebagai Presiden Irak untuk pemerintah interim mendatang.

Harian konservatif Polandia Rzeczpospolita menyambut positif pemerintahan interim Irak , sebagai langkah awal yang baik: Kebanyakan anggota kabinet Irak di bawah PM Allawi merupakan tokoh-tokoh di luar Dewan Pemerintahan yang bekerja sama dengan koalisi sekutu. Itu berita yang baik. Sebab itu menunjukkan , kelompok elite di Irak yang demokratis telah bangun dari keadaan tidur. Rupanya mereka juga mewakili kelompok elite yang otentik. Sikap menjauhi diri dari AS , yang tercermin dalam sosok presiden dan perdana menteri sesuai dengan perasaan sebagian besar rakyat Irak. Apakah proses demokratisasi akan berhasil atau tidak, itu tergantung pada kecermatan dan kemampuan presiden dan perdana menteri untuk mengatasi sikap anti-Amerika dengan cara-cara damai. Juga tidak kurang penting adalah keutuhan negara, yang berlandaskan prinsip federasi. Namun di luar dugaan langkah awalnya telah dimulai. Dan ini meurpakan awal yang baik.

Namun harian Rusia Kommersant skeptis terhadap pemerintahan transisi baru di Irak. Komentar harian ini: Pembentukan pemerintahan baru bagaimana pun merupakan sukses AS. Namun pertanyaan lain, berapa lama pemerintahan ini dapat bertahan? Sampai tanggal 30 Juni. Sampai pemilihan presiden AS di bulan Novmeber mendatang, atau sampai Januari 2005, sampai diadakannya pemilihan umum di Irak? Di situs internet para ekstremis Islam sekarang sudah mulai menebak , siapakah dari para anggota pemerintahan baru akan dibunuh sebagai yang pertama.

Harian Jerman Leipziger Volkszeitung juga dengan kritis mengomentari situasi di Irak: Pengangkatan El Yawar sebagai presiden interim Irak bukanlah keputusan yang demokratis dalam arti pembinaan konsensus antara rakyat Irak, Dewan Pemerintahan dan negara pendudukan. El Yawar , tokoh favorit sebagian besar anggota Dewan Pemerintahan , dicurigai oleh AS, karena ia menuntut penarikan pasukan AS, yang dikehendaki sebagian besar rakyat. Namun orang yang mengambil keputusan penting adalah perdana menteri Allawi. Dengan demikian negara pendudukan membuat kesalahan yang sama, dengan hanya memberi tempat kepada para pengikut setia. Pengangkatan pimpinan Irak yang tunduk pada AS, namun tidak akan menghasilkan pemerintahan nasional yang legitim mau pun pemerintahan yang diakui oleh dunia internasional.

Konferensi Internasional Energi Terbarukan – Renewables sedang berlangsung di Bonn, dihadiri oleh delegasi dari lebih 150 negara. Antara dari Indonesia hadir mantan menteri lingkungan Dr. Emil Salim. Dalam konferensi itu dibahas tentang pemanfaatan angin dan matahari sebagai sumber energi alternatif.

Harian Kölner Stadtanzeiger menulis: Berbeda dengan konferensi PBB lainnya tentang masalah lingkungan global, pertemuan akbar di Bonn tidak dapat mengambil keputusan yang mengikat pada tingkat internasional. Namun mungkin itu juga suatu peluang. Sebab , siapa yang tidak dapat dan tidak perlu mengambil keputusan dan kompromi mengenai kontribusinya di bidang pelestarian lingkungan, dapat lebih leluasa mengemukakan kekhawatiran dan kebutuhannya. Berlatar belakang kenaikan drastis harga minyak dewasa ini , dan pengalaman dalam perang Irak, konferensi di Bonn dapat memberikan sinyal –sinyal penting. Mungkin dalam kekhawatiran bersama terhadap masa depan, para delegasi dapat menunjukkan jalan bagi tindakan yang nyata.

Akhirnya komentar Berliner Zeitung mengenai konferensi di Bonn: Pidato para wakil dari pemerintah Jerman dalam konferensi di Bonn tidak dapat menutupi bahwa juga di negara ini pemanfaatan sumber energi alternatif tidak akan berjalan dengan sendirinya. Emisi C02 di Jerman setelah berkurang jelas pada awal tahun 90-an, kini meningkat kembali. Pengurangan gas rumah kaca sebanyak 21 persen sampai tahun 2012, seperti yang tercantum dalam protokol iklim Kyoto yang ambisius , mungkin dapat dicapai dengan susah payah. Namun target jangka panjang , pengurangan 40 persen emisi CO2 sampai tahun 2020, sejak lama tidak dibicarakan lagi.