1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Makin Banyak Petani Eropa Berdemonstrasi di Jalanan?

12 Januari 2024

Dihadapkan pada naiknya ongkos dan regulasi baru lingkungan, para petani Eropa menyatakan mereka merasa disudutkan. Aksi protes petani Jerman baru-baru ini jadi cerminan situasi sulit itu.

Deretan traktor petani yang memprotes kebijakan pertanian Uni Eropa
Deretan traktor petani yang memprotes kebijakan pertanian Uni EropaFoto: Nikolay Doychinow/AFP/Getty Images

Jerman menjadi negara berikutnya di Eropa yang dilanda gelombang protes besar-besaran para petani. Dalam aksi protes selama sepekan hingga Jumat (12/10) sektor pertanian menentang rencana pemotongan subsidi bahan bakar yang akan diterapkan di sektor pertanian.

Konvoi ribuan traktor dan truk memicu kekacauan lalu lintas dan memblokir sejumlah kota besar. Produksi di fasilitas pabrik mobil Volkswagen di kota Emden di utara Jerman mandek total.

Gelombang protes petani di seluruh Eropa

Aksi demonstrasi serupa juga merebak di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Protes petani di Belanda bahkan diwarnai aksi kekerasan dan serangan ke privasi para politikus, menyebabkan lumpuhnya kehidupan sehari-hari. Gerakan protes petani di Belanda bahkan memicu didirikannya sebuah partai politik baru berhaluan populis kanan Farmer Citizen Movement (BBB) pada 2019 lalu.

Para petani di Belgia, Spanyol dan Prancis juga menggelar aksi protes besar-besaran di jalanan, untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap rencana reformasi regulasi lingkungan dan kenaikan ongkos produksi.

Polandia dan negara Eropa timur lainnya juga mengalami gejolak serupa, tapi pemicunya berbeda, para petani memprotes Uni Eropa yang mencabut larangan impor gandum murah dari Ukraina.

Jan Douwe van der Ploeg, pakar sosiologi pertanian dan guru besar emeritus dari Universitas Wageningen di Belanda melihat ada kesamaan alasan dari aksi protes itu: mempertahankan status quo.

"Kecemasan petani mencakup hak untuk terus menggunakan subsidi yang mereka terima sepanjang sejarah atau untuk tetap melanjutkan penggunaan bahan bakar fosil dan pestisida," kata van der Ploeg kepada DW.

Apa keluhan para petani?

Aksi para petani bisa digeneralisasi sebagai protes ketidakpuasan mereka terhadap politik. Namun pemicunya juga spesifik di masing-masing negara. Di Jerman dipicu rencana penghapusan subsidi diesel untuk pertanian, di Spanyol berkorelasi dengan regulasi penghematan air dan di Prancis akibat naiknya biaya irigasi dan bahan bakar fosil serta politik perdagangan Uni Eropa.

Juga tidak bisa dipungkiri, harga pupuk dan bahan bakar melonjak naik setelah invasi Rusia ke Ukraina. Para petani di seluruh Eropa menyebutkan, mereka merasa diperas, saat melihat harga bahan makanan yang lebih mahal di supermarket.

Menurut Anne-Kathrin Meister dari Federasi Generasi Muda Pedesaan Jerman (BDL), pendapatan dari sektor pertanian tidak bisa lagi menutupi kenaikan ongkos produksi. "Jika membandingkan kenaikan harga mesin, pestisida dan pupuk saja, pendapatan tidak pernah meningkat dalam laju kenaikan harga yang sama," ujar Meister yang berasal dari keluarga petani di kawasan Bayern di selatan Jerman, dalam wawancara telefon dengan DW.

"Sektor pertanian tidak menentang reformasi lingkungan, tapi juga mereka memerlukan dukungan," tegas Meister. "Petani menjadi yang pertama terdampak, jika flora dan fauna mengalami kerusakan. Tapi ongkos lingkungan juga harus ikut dihitung pada harga produk, dan konsumen harus siap membayarnya," tambah aktivis muda pedesaan itu.

Otomatisasi dan Penghematan Air bagi Pertanian Masa Depan

03:41

This browser does not support the video element.

Target iklim terancam?

Aksi protes para petani Eropa itu dimonitor dengan cemas oleh markas Uni Eropa di Brussels. Para petinggi UE terutama khawatir, target ambisius iklim yang disahkan sebagai undang-undang oleh Komisi Eropa akan mengalami kemunduran. Uni Eropa menargetkan neraca nol emisi pada 2050. Untuk sektor pertanian, ditambah dengan rencana reduksi penggunaan pestisida kimia hingga 50% sampai 2030.

Menjelang pemilu Uni Eropa yang akan digelar Juni mendatang, banyak yang mencemaskan rencana ambisius itu tidak akan aman lagi, jika nanti Parlemen Eropa bergeser ke kanan.

Marco Contiero, aktivis kampanye iklim Greenpeace di Uni Eropa mengatakan, risiko itu terlihat jelas saat pembahasan alot undang-undang restorasi alam. Undang-undang itu disahkan dengan suara mayoritas tipis oleh Parlemen Eropa tahun lalu, akibat adanya penentangan yang digalang European People's Party yang berhaluan kanan tengah. Partai ini mengklaim mewakili kepentingan para petani, yang menentang rencana konservasi lahan pertanian ke habitat alaminya.

"Antara tahun 2005 hingga 2020, sekitar 5.3 juta pertanian di Uni Eropa bangkrut dan tutup, mayoritasnya pertanian kecil," ujar Contiero mengutip angka lembaga statistik Uni Eropa Eurostat.

"Jumlahnya sepertiga dari seluruh petani di Eropa, yang lenyap akibat masalah keuangan," kata Contiero lebih lanjut. Artinya, memposisikan diri membela sistem yang berlaku saat ini sebagai membela petani adalah kebohongan.

Aksi protes para petani di Eropa memang punya sejarah panjang. "Ada sejumlah gelombang protes besar petani sepanjang abad ke 20, termasuk yang diwarnai kekekerasan," ungkap sosiolog pertanian van der Ploeg kepada DW. Di masa lalu, aksi protes dimotori petani kecil, sementara saat ini, paling tidak di Belanda, banyak petani besar yang terlibat di dalamnya, yang mewakli kepentingan agrobisnis.

(as/hp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait