Pemilu Irak Pasca Reformasi Masih Dibayangi Kekuatan Lama
8 Oktober 2021Pada pemilihan umum kali ini, warga akan mencoblos calon anggota legislatif yang dinominasikan secara langsung, tanpa melalui struktur kepartaian. Akibatnya kandidat independen bermunculan di penjuru negeri.
UU Pemilu yang baru diamanden demi meredakan amarah kaum muda terhadap budaya korupsi di partai-partai politik. Reformasi diharapkan bisa memudahkan tokoh masyarakat tanpa afiliasi politik untuk duduk di parlemen.
Tapi betapapun upaya para caleg menjauhkan diri dari parpol demi menjaga reputasi, pencoblosan kali ini tetap dibayangi kekuatan lama. Blok-blok politik yang didominasi kelompok agama dan etnis di Iraq secara diam-diam mencalonkan kadernya sebagai kandidat independen.
Di masa kampanye, kebanyakan dari 3.240 caleg yang bersaing mengaku terbebas dari pengaruh partai. Tapi bagi mayoritas pemilih, klaim itu dianggap cuma "manuver elektoral,” kata pakar politik Iraq, Ihsan al Shammari.
"Mereka tidak ingin dikaitkan dengan kegagalan partai-partai politik dan berusaha mengadopsi citra yang baru, jauh dari korupsi,” kata peneliti senior Iraqi Centre for Political Thought di Baghdad itu.
Tahun ini sekitar 25 juta penduduk Irak berhak mencoblos untuk menentukan 329 anggota parlemen. Sebanyak 950 calon perempuan tercatat ikut serta. Menurut UU Pemilu yang baru, sepertiga kursi parlemen dialokasikan untuk perempuan, dan sepersembilan untuk kaum minoritas seperti Yazidi atau Kristen.
Pemilu kali ini akan ditentukan oleh suara kaum muda yang mendominasi populasi Irak, dan aktif menggalang demonstrasi yang berujung pada reformasi. Namun begitu, tingkat partisipasi pemilih diprediksi akan lebih rendah ketimbang pemilu 2018 lalu, yang cuma diikuti oleh 44 persen pemilih.
Pengaruh Iran
Reformasi UU Pemilu antara lain ikut digerakkan oleh sikap antipati terhadap Iran, yang mencuat selama gelombang demonstrasi sejak 2019. Pemilu kali ini sejatinya dibuat untuk merefleksikan aspirasi tersebut.
"Salah satu yang paling mengkhawatirkan bagi Iran di Irak saat ini adalah tingkat ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap pengaruh Teheran,” kata pakar politik Marsin Alshamary. "Itu adalah salah satu yang tidak diperhitungkan Iran, dan sesuatu yang masih harus dicerna oleh mereka,” kata peneliti di Harvard Kennedy School itu.
Selama aksi protes pada November 2019 lalu, demonstran sempat berusaha membakar gedung konsulat Iran di kota Najaf, sembari berteriak "keluar dari Irak!”
Pengamat politik Irak, Ali al Baidar, mengatakan faksi pro-Iran akan berusaha "mengkonsolidasikan kehadirannya di politik dan pemerintahan.”
"Mereka ingin terlibat di berbagai level, diplomasi, kebudayaan, olahraga, untuk memoles citra publik.”
Kelompok-kelompok bersenjata binaan Teheran sukses bertransformasi sebagai partai politik di Irak, dan mendulang dukungan publik karena ikut membantu mengusir kelompok teror, Islamic State. Setelah penaklukan ISIS, sebagian besar milisi pro-Iran diebur ke dalam angkatan bersenjata atau kepolisian di Irak.
Saat ini, "Iran sudah kehilangan kantung-kantung suara di selatan dan di tengah Irak, wilayah kaum Syiah yang untuk waktu yang lama diyakini akan setia,” kata Renad Mansour, dari wadah pemikir Chatham House.
Tapi meski UU Pemilu mengocok ulang pembagian kekuasaan di Baghdad, "kuncinya terletak pada perundingan-perundingan rahasia yang digelar sebagai bagian dari proses pembentukan pemerintahan,” imbuhnya.
"Dan dalam proses semacam itu, Iran secara historis telah membuktikan diri sebagai faktor eksternal yang paling berpengaruh jika sudah menyangkut pembentukan pemerintahan.”
rzn/hp (ap,rtr,afp)