1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Pemilu Turki Berpusar pada Krisis Ekonomi

Burak Ünveren | Gülsen Solaker | Felat Bozarslan | Kivanc El
12 Mei 2023

Inflasi dan melemahnya daya beli membebani warga Turki pada pemilihan umum presiden dan legistlaif tanggal 14 Mei. Kegentingan tersebut bisa menjadi faktor penentu kemenangan. Bagaimana suasana di kalangan pemilih?

Sebuah pasar di Istanbul, Turki
Sebuah pasar di Istanbul, TurkiFoto: Tolga Ildun/Zuma/picture alliance

Setelah 20 tahun kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan, pemilihan umum legislatif dan kepresidenn di Turki akan menentukan apakah dia akan tetap bertahan selama lima tahun ke depan.

Beragam jajak pendapat meramalkan peluang besar bagi kelompok oposisi untuk melengserkan sang presiden.

Penyebabnya bisa jadi adalah krisis ekomomi yang membekap sejak pandemi Covid-19 dan invasi Rusia di Ukraina. Laju kenaikan inflasi yang ekstrem memangkas daya beli masyarakat. Buntutnya, kebutuhan pokok menjadi semakin tidak terjangkau.

Inflasi di Turki saat ini berkisar 105 persen, menurut lembaga penelitian inflasi, ENAG. Angka tersebut ditolak pemerintah Turki yang sebaliknya hanya mencatat 43 persen inflasi. Namun klaim pemerintah bertolak belakang dengan pergerakan nilai tukar mata uang Turki. Jika pada 2014 satu Euro bernilai 2,90 Lira, kini nilainya menembus 21,50 Lira. 

What kind of Turkey do young people want?

01:37

This browser does not support the video element.

Goyahnya suara konservatif?

Krisis ekonomi terlihat belum menggoyahkan dukungan bagi partai pemerintah di kota-kota konservatif. 

Namun begitu, di Konya, yang pada 2018 silam mencatatkan 74,2 persen suara buat Erdogan, sebagian besar warga semakin mengkhawatirkan dampak inflasi dan melemahnya daya beli.

Dalam sebuah jajak pendapat oleh lembaga wadah pemikir lokal, DOUSAM, sebanyak 73 persen warga Konya menilai negatif pekembangan ekonomi di Turki. Sementara suara optimis hanya berkisar 16 persen.

Terutama kaum muda kota menganggap genting situasinya. DOUSAM mencatat, warga di kelompok usia antara 18 dan 41 tahun menempatkan inflasi sebagai masalah terbesar, diikuti oleh lonjakan biaya hidup.

Namun demikian, analis meyakini Erdogan masih bisa menyapu dukungan pemilih di kota-kota konservatif seperti Konya, antara lain karena besarnya sikap antipati terhadap partai oposisi.

Harapan terbesar: membaiknya kondisi ekonomi

Kesan berbeda sebaliknya didapat dari kota-kota berideologi kiri, seperti Tunceli. Dalam 100 tahun sejarahnya, kota di Anatolia Timur itu belum pernah memilih partai-partai kanan. 

Kandidat utama oposisi, Kemal Kilicdaroglu, pun berasal dari Tunceli, fakta yang dibanggakan oleh banyak warga lokal. 

Sebagian besar menaruh harapan pada ekonom berusia 74 tahun tersebut untuk membebaskan Turki dari jerat inflasi dan maraknya korupsi. "Saya tidak mengharapkan hal selain bahwa pemenang pemilu akan memperbaiki kondisi ekonomi,” kata Yagmur Keskin, warga Tunceli.

Keskin adalah seorang pedagang rempah. Setiap hari, dia berjualan pada ruas jalan paling sibuk di kota berpenduduk 35.000 jiwa itu. Pencoblosan kali ini adalah pemilu kedua bagi sang perempuan muda. 

"Saya mengharapkan pemerintahan yang mampu menciptakan banyak lapangan kerja bagi kaum muda. Dan jika kami sudah bekerja keras, kami berhak mendapat upah yang layak,” imbuhnya.

Besarnya animo penduduk Tunceli bagi perubahan di Turki ikut digaungkan kandidat oposisi Kemal Kilicdaroglu selama kampanye jelang hari pencoblosan. Pada Rabu (10/5) malam, dia mengunggah video berdurasi empat detik di Twitter dan mengucap, "jika Anda hari ini lebih miskin ketimbang kemarin, satu-satunya penyebab adalah Erdogan. Selamat malam.”

rzn/as 

 

Burak Ünveren Editor multimedia dengan fokus pada kebijakan luar negeri Turki dan hubungan Jerman-Turki.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait