Di bawah julukan 'ekonomi biru', 14 negara yang tergabung dalam Ocean Panel telah menyatakan komitmennya untuk 100% mengelola laut secara berkelanjutan pada tahun 2025. Indonesia salah satunya.
Iklan
Mencakup lebih dari 70% permukaan bumi, lautan memiliki potensi besar dalam melawan perubahan iklim, dan diyakini mampu mendorong ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi penilaian penuh harapan dari 14 negara pesisir dan lautan yang tergabung dalam High-Level Panel for A Sustainable Ocean Economy atau dikenal dengan Ocean Panel.
Kerja sama global yang terdiri dari hampir 40% garis pantai dunia itu telah mengumumkan komitmen mereka pada Rabu (02/12), dalam mengelola 100% perairan laut nasional secara berkelanjutan pada tahun 2025.
Iklan
Perangi perubahan iklim sambil menumbuhkan ekonomi
Komitmen ini mencakup berbagai tindakan yang dapat dilakukan guna mengurangi perubahan iklim, karena lautan yang memanas telah menjerumuskan negara-negara pesisir ke dalam keadaan darurat iklim.
Ocean Panel mencatat bahwa perlindungan bakau, lamun, dan rawa asin yang membentuk ekosistem ‘karbon biru’ dapat membantu penyerapan karbon guna memenuhi target pengurangan emisi yang tertuang dalam Perjanjian Iklim Paris 2050 – yaitu membatasi pemanasan global hingga 1.5 derajat celcius.
“[Karbon biru] dapat menyerap karbon dioksida dengan kecepatan hingga empat kali lipat dari hutan daratan,” kata Janis Searles Jones, CEO Ocean Conservancy. Ocean Conservancy adalah sebuah LSM yang berdedikasi melindungi lautan dan berbasis di Amerika Serikat (AS).
Guna mewujudkan target tahun 2050 itu, peningkatan energi laut bersih seperti tenaga angin lepas pantai dan energi pasang surut untuk selanjutnya juga akan ditingkatkan. Rencana berkelanjutan dari Ocean Panel akan mencakup target-target capaian, insentif, dan peningkatan infrastruktur yang dimungkinkan menghasilkan 40 kali lipat keluaran energi laut yang ada saat ini.
Rencana berkelanjutan itu juga bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi polusi, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal dan berlebihan yang meluas. Salah satu contohnya terjadi di Kepulauan Galapagos. Kehidupan laut yang beraneka ragam di sana terancam karena kapal pukat Cina menjadi sorotan atas penjarahan di perairan Amerika Latin.
9 Bencana yang Dipicu Pemanasan Suhu Laut
Pemanasan suhu laut ditenggarai sebagai salah satu penyebab semakin maraknya bencana yang melanda Bumi. Berikut berbagai bencana akibat suhu laut yang memanas dengan cepat.
Foto: WILDLIFE/I.R.Lloyd/picture alliance
Frekuensi badai lebih sering dan lebih kuat
Saat suhu laut menghangat, intensitas siklon tropis akan meningkat. Frekuensi badai dan angin topan akan berlangsung lebih lama, terutama di Atlantik utara dan Pasifik timur laut. Kondisi cuaca ekstrem akan menghasilkan badai yang sangat merusak di masa depan, bahkan di daerah-daerah yang sebelumnya tidak rawan bencana.
Foto: AFP/Rammb/Noaa/Ho
Naiknya permukaan air laut dan gelombang badai
Lautan menghangat bersamaan dengan meningkatnya suhu atmosfer bumi. Hal ini mengakibatkan perluasan massa air yang menyebabkan permukaan laut naik lebih tinggi. Mata pencaharian penduduk yang tinggal di pesisir akan hilang. Terlebih mereka yang tinggal di daerah miskin.
Cuaca ekstrem dapat menyebabkan dua hal, yakni banjir akibat curah hujan yang tinggi atau kekeringan parah. Di beberapa tempat yang dilanda kekeringan, akan terjadi kegagalan panen hingga kebakaran hutan. Musim kebakaran hutan berlangsung lebih lama di banyak tempat dan jumlah kebakaran hutan meningkat secara drastis.
Foto: Reuters/AAP Image/D.
Perubahan arus di Samudera Atlantik
Jika Arus Atlantik Utara terganggu akibat pemanasan laut, maka akan terjadi musim dingin yang parah di seluruh Eropa barat dan utara. Hal ini karena arus berfungsi memastikan sirkulasi air laut yang berkelanjutan, yakni saat air permukaan yang padat meresap ke lapisan yang lebih dalam dan lebih dingin.
Foto: NGDC
Memaksa spesies bergerak ke daerah lebih dingin
Suhu laut yang menghangat memaksa spesies dan pada akhirnya seluruh ekosistem laut untuk bergerak menuju daerah yang lebih dingin. Ikan dan mamalia laut akan bermigrasi ke kutub, selayaknya hewan darat. Populasi ikan kod di Laut Utara, menyusut lebih cepat akibat pemanasan suhu laut bila dibandingkan dengan penangkapan ikan secara berlebihan.
Foto: by-nc-sa/Joachim S. Müller
Matinya ikan akibat kekurangan oksigen
Semakin hangat air laut maka semakin sedikit oksigen yang bisa disimpan. Di banyak sungai, danau dan laguna, terdapat ''zona kematian'' yang menyebabkan hewan-hewan tidak bisa hidup akibat kesulitan mendapat oksigen di lautan.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Schmidt
Matinya ribuan ikan akibat racun ganggang
Air yang hangat dan minim oksigen menyebabkan ganggang beracun berkembang biak secara pesat. Racun mereka dapat membunuh ikan dan makhluk laut lain di sekitarnya. Pertumbuhan ganggang telah mengancam industri perikanan dan pariwisata di banyak tempat. Ini adalah gambar sebuah pantai di Chili, tempat ganggang merah tumbuh dan berkembang yang menyebabkan ribuan ikan mati akibat racun syaraf mereka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/F. Marquez
Kerusakan terumbu karang
Suhu laut yang menghangat tidak hanya menyebabkan karang kehilangan warna aslinya (memutih) namun juga kemampuannya untuk bereproduksi. Ancaman paling serius akibat rusaknya terumbu karang adalah rusaknya ekosistem laut secara keseluruhan. (pkp/vlz)
Foto: picture-alliance/dpa/D. Naupold
8 foto1 | 8
Pada intinya, tujuan akhir dari komitmen tersebut adalah untuk menghidupkan kembali ekonomi dan budaya berbasis kelautan yang bergantung pada perikanan dan pariwisata secara berkelanjutan.
Sebagaimana dirinci dalam beberapa laporan khusus Ocean Panel yang menginformasikan pengumuman komitmen ini, ekonomi kelautan yang dijuluki ‘ekonomi biru’ semacam ini dinilai akan menciptakan 12 juta pekerjaan bersih serta menghasilkan hingga enam kali lebih banyak makanan dari laut pada tahun 2025.
“Kita harus memutuskan antara melindungi laut atau justru menggunakannya,” kata Jane Lubchenco, seorang ahli ekologi kelautan dan salah satu ketua kelompok ahli dari Ocean Panel. Lubchenco juga pernah menjabat sebagai kepala Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS selama masa jabatan pertama presiden AS Barack Obama. Ia menegaskan bahwa lautan harus dilihat “sebagai solusi, bukan hanya sebagai korban.”
Negara-negara yang tergabung dalam Ocean Panel tersebut di antaranya Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau, dan Portugal. Mereka juga ingin menginspirasi para pemimpin dari semua negara pesisir dan laut lainnya untuk turut berkomitmen mewujudkan 100% pengelolaan laut berkelanjutan pada tahun 2030.
“The Ocean Panel menyerukan kepada setiap pemimpin negara pesisir dan laut untuk bergabung bersama kami dan mewujudkan 100% tujuan menjadi kenyataan,” ujar Tommy Remengesau Jr., Presiden Palau yang juga mengepalai Ocean Panel.
Bisakah target yang tidak mengikat secara hukum terwujud?
Dibentuk pada tahun 2018, Ocean Panel telah menunjukkan banyak ambisi awal, termasuk tujuan perlindungan 30% lautan dunia pada tahun 2030. Target ini menjadi siginfikan karena sebagai besar laut lepas tunduk pada perjanjian yang sangat kompleks.
Namun, meskipun komitmen saat ini tidak mengikat secara hukum, Jane Lubchenco mengatakan bahwa kesepakatan sukarela sejatinya merupakan sebuah langkah maju ke depan.
“Mereka adalah pembuat keputusan,” katanya merujuk pada presiden dan perdana menteri yang menandatangani komitmen yang dijuluki ‘transformasi’ itu. “Mereka memiliki kekuatan untuk memenuhi komitmen yang mereka umumkan,” tambahnya.
Di saat para ilmuwan mencoba mendorong penelitan dan rekomendasi mereka ke ranah kebijakan, Ocean Panel kata Lubchenco telah bekerja selama dua tahun untuk “menghubungkan pengetahun itu dengan kebijakan dan tindakan.”
Namun, meskipun pengumuman komitmen ke-14 negara menjadi “momen penting dalam upaya internasional dalam mengelola dan melindungi laut”, ada beberapa ketakutan bahwa perubahan pemerintahan mungkin tidak mempertahankan komitmennya. Demikian disampaikan Peter Thompson, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Laut yang juga merupakan anggota pendukung dari Ocean Panel. Menurutnya, pemantauan terhadap hal tersebut sangat diperlukan.
Lebih jauh, sebuah editorial di jurnal Nature yang diterbitkan saat pengumuman komitmen Ocean Panel juga menyebutkan bahwa “pengelolaan laut yang berkelanjutan juga membutuhkan sistem tata kelola yang berkelanjutan.”
Liga negara-negara kelautan
Komitmen Ocean Panel yang disebut oleh Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg, sebagai “salah satu peluang terbesar di zaman ini,” telah memungkinkan adanya kerja sama antara kekuatan ekonomi utama seperti Kanada dengan negara-negara kepulauan pasifik kecil seperti Palau, yang memiliki populasi sekitar 17.000 orang.
“Ancaman perubahan iklim terhadap lautan merupakan tantangan bersama yang membutuhkan tindakan kolektif,” kata Presiden Namibia Hage G. Geingob dalam pernyataan Ocean Panel. “Oleh karena itu, kami bergandengan tangan dengan komunitas global dalam memetakan jalan menuju masa depan rendah karbon dan tahan iklim demi laut sehat dan kesejahteraan umat manusia,” tambahnya.
Meningat pandemi COVID-19 masih mewabah, Ocean Panel memiliki tujuan akhir ekonomi setara dengan lingkungan.
“Kami memahami betapa rentannya kita terhadap guncangan keuangan dan krisis kesehatan,” kata Presiden Palau Tommy Remengesau Jr. merujuk pada pandemi corona yang masih melanda dunia. “Kita membutuhkan laut lebih dari sebelumnya guna mendorong pemulihan jangka panjang yang berkelanjutan,” tambahnya.
(gtp/ha)
Fakta Tentang Laut, Sumber Kehidupan Bumi
Laut menutupi sebagian besar permukaan Bumi dan juga berperan dalam mengatur iklim di Bumi. Kondisi Bumi dan laut terus berubah karena perubahan iklim. Masih banyak yang harus diteliti tentang tempat tinggal kita ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Planet biru tempat kita tinggal: Bumi
Bumi disebut juga sebagai planet biru tentu karena warnanya. Lautan menutupi hingga 71% dari permukaan Bumi dan 90% dari biosfer. Ini menjadi bagian integral dari kehidupan dan penyediaan kebutuhan oksigen hingga 80%. Menjadikan laut bagian vital dari siklus karbon. Asal-usul laut belum dapat dipastikan, tapi lautan menjadi katalisator pembentukan kehidupan 4.4 miliar tahun yang lalu.
Foto: NASA
Rahasia di balik dalamnya laut yang belum tersentuh
Sekitar 80% dari dunia bawah laut belum pernah dieksplorasi atau dijamah oleh manusia. Para ilmuwan dan peneliti selalu mencoba untuk menguak misteri apa yang ada di bawah laut sana yang bisa membantu kita untuk memahami perubahan lingkungan dan membantu upaya mengelola sumber daya laut yang vital untuk perubahan iklim.
Foto: Colourbox/S. Dmytro
Laut berperan mengatur iklim di planet kita
Dengan menyerap radiasi matahari, mendistribusikan panas dan menggerakkan pola cuaca, laut memiliki peran vital dalam mengatur iklim di Bumi. Namun, kemampuan Bumi untuk melakukan hal natural seperti menyimpan kandungan karbon yang ada di udara dan memproduksi oksigen mulai terganggu karena perubahan iklim.
Foto: Getty Images/AFP/C. Triballeau
Laut juga 'padat' penduduk
Laut adalah rumah bagi sekurangnya 230.000 jenis spesies yang sampai sekarang diketahui. Terumbu karang menjadi tempat berlindung yang aman bagi invertebrata seperti kepiting, bintang, moluska dan ikan-ikan yang beragam. Sedangkan hewan besar seperti hiu, paus, dan lumba-lumba hidup di perairan terbuka.
Foto: Getty Images/D. Miralle
Hewan temuan bawah laut yang aneh
Para peneliti mengakui bahwa manusia mungkin baru menemukan sekitar 2/3 dari isi laut sesungguhya. Setiap tahunnya, ilmuwan selalu menemukan spesies baru seperti Squidworm atau Teuthidodrilus samae (foto) yang ditemukan di perairan laut Celebes di tahun 2007. Banyak hal lain yang menunggu untuk ditemukan di bawah sana.
Foto: Laurence Madin, WHOI
Tanda peringatan perubahan iklim
Laut dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Salah satu contoh utama adalah maraknya terumbu karang yang mulai "memutih" di seluruh dunia. Naiknya suhu dan polusi adalah situasi yang tidak optimal untuk kehidupan terumbu karang. Situasi ini menghambat terumbu karang untuk bertumbuh dan tidak semua terumbu karang dapat pulih setelah berubah menjadi "putih".
Foto: XL Catlin Seaview Survey
Tidak ada tempat berlindung lain untuk hewan laut
Penelitian terbaru menyatakan populasi ikan, moluska, dan kepiting turun dua kali lebih cepat dari populasi hewan daratan. Suhu ekstrem menjadi alasan utama, binatang yang hidup di laut tidak memiliki tempat untuk kabur dari naiknya suhu. Sayangnya, biota bawah laut tidak dapat berevolusi dengan cukup cepat untuk beradaptasi dengan situasi ini.
Es dan salju di Kriosfer mulai menghilang di tempat yang seharusnya ditutupinya. Naiknya suhu udara melelehkan glasier dan es. Kejadian ini berdampak pada naiknya permukaan laut dan juga naiknya tingkat keasaman laut dari metana yang dilepaskan dari permafrost dasar laut di Samudra Arktik.
Foto: AP
Kehilangan mata pencaharian
Manusia tidak dapat dipisahkan dari laut. Banyak kelompok sejak ribuan tahun yang lalu bermukim di pesisir pantai karena kelangsungan hidupnya bergantung kepada laut, seperti nelayan. Hari ini, keberlangsungan hidup banyak orang yang hidup di pesisir mulai terancam karena naiknya permukaan laut sedikit demi sedikit.
Foto: picture-alliance / Bildagentur H
Hilangnya biota laut
Hanya 13% dari laut di dunia bebas dari aktivitas manusia seperti menangkap ikan. Daerah pesisir yang sudah tersapu bersih mendorong para pencari ikan untuk berlayar lebih jauh. Kemajuan teknologi juga membantu menangkap ikan dengan jauh lebih mudah dan dalam jumlah yang lebih besar. Ini menjadi PR generasi mendatang untuk melindungi biota laut yang tersisa. (Ed.: pn/na)