ISIS Tidak Bisa Diatasi Dengan Cepat
21 Februari 2015DW: Apa yang telah dicapai AS selama ini lewat operasinya Operation Inherent Resolve, dalam menghadapi IS?
Ben Barry: Operasi ini jelas jadi kontribusi untuk meredam sepak terjang IS, juga langkah maju mereka ke Baghdad dan Erbil di utara (Irak - red). Jika kedua kota itu berhasil dicapai IS maka efek politiknya akan sangat buruk. Sekarang ada garis front yang cukup stabil di Irak, yang membentang dari Kurdistan ke provinsi Anbar.
Yang jelas juga, serangan udara telah membatasi kemampuan IS. Saya menduga, aksi video propaganda mereka tidak sesukses dulu lagi karena penjagaan keamaman yang lebih baik, dan IS sejauh ini belum berhasil melancarkan serangan besar melewati garis front ini. Ada pertempuran di di sekitar garis depan, tapi posisinya tidak berubah.
Selain itu, serangan udara oleh beberapa negara mencegah jatuhnya Kobani ke tangan IS. Dan sekarang itu memungkinkan pejuang Kurdi Suriah dan kelompok-kelompok sekutu lain memukul mundur IS.
DW: AS juga terlibat dalam pelatihan dan pemberian konsultasi bagi tentara Irak dan pasukan Peshmerga, sehingga mereka bisa meluncurkan serangan sendiri terhadap IS. Apa upaya itu memakan waktu?
Ben Barry: Perdana Menteri (Irak - red.) Haider al-Abadi mengatakan dalam Konferensi Keamanan di München bahwa serangan akan dilancarkan terhadap IS tengah tahun ini. Saya pikir ini akan jadi tugas besar. Pemerintah Irak akan menghadapi kesulitan untuk menarik tentara dari garis depan dan menyediakan gantinya. Mereka akan sangat hati-hati.
Di samping itu, pasukan Irak mengalami kerugian besar dalam beberapa tahun terakhir. Bukan hanya akibat IS, yang menghancurkan empat divisi, tapi juga karena politisasi angkatan bersenjata Irak, di mana komandan dalam jajaran militer diganti sekutu politik mantan (red.) Perdana Menteri Maliki dan stafnya. Selain itu, sikap toleransi terhadap korupsi menyebabkan mereka tambah lemah.
Saya tahu, AS akan mengambil berbagai langkah untuk membangun kompetensi dan komando handal dalam perang. Sementara Abadi telah memecat beberapa pejabat senior. Tapi saya kurang optimis tentang kecepatan mereka melaksanakan itu.
DW: Apa konsekuensi sifat langkah IS yang berupa campuran antara perlawanan, terorisme dan infanteri bagi strategi militer AS?
Ben Barry: Tahun lalu kita sudah melihat bahwa IS bertindak seperti kekuatan gerilya, yang terdiri dari pasukan yang bisa dikerahkan dengan cepat dan dilengkapi infanteri ringan serta peralatan teknis. Tapi itu juga operasi perlawanan yang bekerjasama dengan kelompok perlawanan Sunni lain.
Jadi, walaupun ada garis front stabil antara daerah yang dikuasai IS dan wilayah yang dikontrol pejuang Kurdi dan Baghdad, IS tetap ada di wilayah Sunni, dan itulah sumber serangan bom mobil dan serangan bunuh diri yang menyebabkan kematian banyak orang.
Masalah lainnya dengan IS adalah, dibanding dengan kelompok lain, kelompok teroris itu tampaknya tidak bersedia bernegosiasi. IS pernah digambarkan sebagai kelompok pemuja kematian, yang secara keras memeluk nihilisme.
DW: Apa menurut Anda, respons AS terhadap IS dan cara perang mereka selama ini tepat?
Ben Barry: Pertama-tama, konflik hibrida seperti ini tidak baru. Contoh lainnya adalah Perang Kemerdekaan AS. Jalan keluarnya bukan hanya berupa militer yang handal, melainkan cara penanganan yang komprehensif. Itu mencakup diplomasi, dinas rahasia, juga dukungan ekonomi dan pembangunan.
Dan, terutama di abad ke-21, ini termasuk menghadapi propaganda canggih dan operasi penyebaran informasi. Itu bagian yang paling sulit, dan itu juga tampak dalam krisis Ukraina, Irak serta Suriah.
DW: Presiden AS Barack Obama mengatakan, ia tidak akan mengerahkan pasukan darat dalam pertempuran lawan IS. Apa langkahnya benar?
Ben Barry: Sudah jelas bahwa pemerintah di Baghdad tidak menginginkan pasukan tempur AS di wilayahnya. Demikian halnya dengan milisi Syiah yang didukung Iran. Setelah apa yang terjadi di Irak dalam sepuluh tahun belakanan, tidak realistis jika berharap Irak akan menerima unit tentara AS di darat.
Ben Barry adalah anggota senior pada seksi perang di darat di tangki pemikir International Institute of Strategic Studies (IISS) di London. Ia pernah jadi perwira infanteri dalam angkatan bersenjata Inggris, komandan brigade NATO di Bosnia dan menjabat berbagai posisi dalam Departemen Pertahanan Inggris. Ia juga memimpin kelompok penganalisa dalam militer Inggris tentang operasi militer di Irak.