1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemutih Kulit & Kecantikan Indonesia

Luh Ayu Sararswati5 April 2016

Apakah perempuan cantik adalah yang berkulit putih? Mengapa banyak perempuan Indonesia masih sibuk memutihkan kulit? Sebuah video kampanye berikuit menunjukkkan bahwa apapun warna kulit Anda, Anda tetap cantik.

Gambar ilustrasi
Foto: Colourbox/E. Atamanenko

Kulit Anda gelap? Kini perempuan di berbagai belahan dunia menunjukkan rasa bangga dengan apapun warna kulitnya. Video berikut merupakan protes atas ketidakadilan persepsi yang dibentuk oleh kapitalisme dan pikiran patriarkhis, bahwa kulit harus berwarna bening atau putih. Kulit gelap pun keren. Anda pun bisa ikut berpartisispasi dalam kampanye ini dengan menggunakan tagar: #UnfairAndLovely di media sosial.

Fighting racist beauty ideals

02:41

This browser does not support the video element.

Produk dan iklan pemutih kulit merajalela juga di Indonesia. Mengunjungi supermarket atau menonton televisi di Indonesia, tidak mungkin kita tidak melihat produk atau iklan pemutih kulit. Mengapa wanita Indonesia, tua dan muda, kelas atas dan kelas bawah, di kota dan di desa, sibuk memutihkan kulit mereka dengan berbagai produk dan kegiatan yang tujuannya mem'bening'kan kulit?

Apakah ini merupakan gejala modernisasi dan globalisasi? Menginginkan untuk tampil seperti si Bule atau si Indo yang kerap muncul mewarnai berbagai media di dunia dari televisi, majalah, hingga internet? Ataukah ini suatu upaya untuk menyelubungi status kelas agar nampak bak si “borju” kelas atas yang tak perlu berpanas-panasan, kemana-mana naik mobil atau tinggal di rumah ber-AC?

Jawabannya tak sesederhana itu. Berikut pandangan feminis Luh Ayu Saraswati:

Ada dua hal yang perlu kita amati untuk memahami lebih baik fenomena dasyatnya pemutih kulit di Indonesia:

1) Terjajahnya ruang emosi berdasarkan gender.

Hal utama yang perlu kita pahami adalah kesadaran kita terhadap proses penjajahan emosi yang terjadi berdasarkan gender. Penjajahan emosi terjadi ketika pemilik kekuasaan menekankan dan mendidik warganya untuk memiliki suatu perasaan tertentu terhadap suatu hal. Misalnya, ketika si penguasa menanamkan gagasan bahwa jika kita memiliki kulit gelap, kita harus merasa malu. Apalagi kalau kita perempuan. Sementara laki-laki tidak perlu merasa malu dan tertekan jika kulitnya gelap. Ini adalah contoh penjajahan emosi secara jender.

Contoh lainnya adalah perempuan dididik untuk merasa jelek ketika bersolek didepan kaca dan refleksi yang terpancarkan adalah bentuk wajah yang bukan ras campuran (Indo) atau seperti bangsa Eropa, yang hidungnya mancung. Perasaan-perasaan ini memang nampaknya seperti alami saja. Namun sebenarnya, perasaan terhadap diri sendiri seperti bangga, malu, sedih, dan bahagia tidak timbul secara alamiah, namun ditanamkan melalui berbagai media dan alat-alat kekuasaan.

Sosialisasi keluarga, teman, sekolah, majalah, dan media lainnya membentuk, atau lebih tepatnya, menjajah, emosi kita.

Supaya kita tidak mudah terbuai oleh tawaran produk-produk kecantikan seperti pemutih kulit, hal pertama yang harus kita lakukan adalah melawan penjajahan di ruang emosi. Ketika masyarakat dan penguasa mengajarkan agar kita merasa malu terhadap kulit warna kita, kita harus dapat melawan atau memerdekakan perasaan tersebut.

2) Gagalnya pembentukan wacana kecantikan Indonesia paska-kolonial.

Ketika Indonesia terbentuk sebagai konsep negara-bangsa baru, berhasil melepaskan diri dari cengkraman penjajah, nilai-nilai baru tentunya muncul. Salah satu nilai atau wacana baru yang dibentuk paska-kolonial, adalah wacana kecantikan. Wacana kecantikan Indonesia yang dibentuk saat itu tentunya akan berbau nasionalisme.

Namun sayangnya, ketika proses pembentukan wacana kecantikan bangsa terjadi, kemerdekaan emosi belum mengakar, sehingga nilai-nilai baru yang muncul masih memicu pada nilai bangsa Barat, walaupun dibentuk dengan proses pembedaan, atau yang disebut oleh Homi Bhabha sebagai “colonial mimicry” (mimikri kolonial) atau “almost the same, but not quite” (hampir sama tetapi tidak persis). Sehingga yang terjadi adalah munculnya wacana kecantikan yang hampir sama seperti orang Barat, namun tidak persis sama. Gadis Indo, yang memang sudah populer bahkan sejak jaman penjajahan, dengan kulit yang terang, menjadi wajah bangsa Indonesia. Kulit putih sebagai idaman atau kulit ideal bangsa Indonesia merupakan bukti gagalnya pembentukan wacana kecantikan Indonesia.

Jika kita ingin terbebaskan dari belenggu rutinitas kecantikan seperti memutihkan kulit, langkah pertama yang kita perlu lakukan adalah memerdekakan ruang emosi kita dulu. Ketika kita merasakan suatu perasaan, kita haruslah bertanya secara kritis, “mengapa saya merasakan perasaan seperti ini terhadap wajah dan badan saya?” “dari mana datangnya perasaan ini?” “apa yang bisa saya rasakan dan lakukan yang berbeda dari biasanya?”

Setelah itu, kita juga harus berhenti menjadi alat penjajahan terhadap orang lain, teman, saudara, bahkan anak perempuan kita sendiri. Kita harus berhenti mengatakan, “Aduh, malu, kulit kamu kok hitam sekali sih?” “Kamu tidak malu, wajahnya jelek seperti itu?” Kita harus berani memulai pembentukan wacana kecantikan Indonesia yang baru, yang tidak mengacu kepada negara Barat dan tidak mengindahkan sejarah penjajahan baik emosi ataupun politis di Indonesia selama ini.

Luh Ayu SaraswatiFoto: privat

Penulis:

L. Ayu Saraswati, seorang penulis, staff pengajar, dan professor di kajian Wanita di Universitas Hawaii. Bukunya yang berjudul Seeing Beauty Sensing Race in Transnational Indonesia mendapat penghargaan dari National Women's Studies Association sebagai buku terbaik di bidang feminisme transnasional tahun 2013.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Kami tunggu komentar Anda di sini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait