Wartawan Al-Jazeera Ahmed Mansour ditangkap aparat keamanan di Berlin. Dasarnya perintah penangkapan internasional dari Mesir yang diduga bermotif politik dan disebut sudah ditolak Interpol.
Iklan
Deutsche Welle melacak, bahwa penangkapan terhadap wartawan Al Jazeera Ahmed Mansour, Sabtu (20/06/15) petang, dilakukan berdasarkan perintah dari Kementrian Kehakiman Mesir. Tuduhannya: tahun 2011 silam wartawan ini terlibat aksi penyiksaan terhadap seorang pengacara di lapangan Tahrir. Secara in absentia wartawan kenamaan ini dijatuhi vonis 15 tahun penjara oleh pengadilan Mesir. Dia juga dituduh merampok dan memperkosa.
Mansour sudah membantah semua tuduhan. Stasiun televisi Al Jazeera pada situs resminya juga sudah menyatakan perintah penangkapan itu "berindikasi" sebagai upaya untuk merusak citra wartawan kenamaan tersebut. Ahmed Mansur kelahiran 1962 adalah anggota Ikhwanul Muslim, yang terus dikejar oleh kehakiman Mesir setelah tumbangnya rezim Husni Mubarak pada 2013.
Mansour adalah salah seorang jurnalis kenamaan dunia Arab. Ia amat vokal dan dalam acara "Bi la hudud" atau tanpa batas yang dipancarkan Al Jazeera kerap melakukan wawancara tajam dengan berbagai pihak, baik kaum konservatif maupun kelompok ekstrim. Belum lama ini ia mewawancarai Abu Mohamed al-Jolani pimpinan kelompok "jihadis" Al-Nusra-Front yang beroperasi di Suriah.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Mesir terus intimidasi kebebasan pers
Setelah digulingkannya pemerintahan terpilih dari Presiden Mohammed Mursi, pemerintahan baru di bawah Abdel Fatah Al-Sisi terus melakukan intimidasi terhadap para wartawan. Desember 2013, kehakiman Mesir menjatuhkan vonis hukuman berat kepada tiga wartawan Al Jazeera, Peter Greste asal Australia, Mohamed Fadel-Fahmy dan Baher Mohamed.
Tahun 2014 silam kehakiman Mesir mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Mansour dan meminta Interpol juga mengeluarkan perintah memburon. Tapi pada Oktober 2014 Al Jazeera melaporkan, Interpol menolak permohonan Mesir itu.
Daftar penangkapan dan vonis hukuman berat trerhadap wartawan di Mesir amat panjang. Amnesty International melaporkan saat ini sedikitnya 18 wartawan meringkuk di tahanan dan puluhan lainnya sedang dalam proses pengadilan. Pasal-pasal yang digunakan antara lain perang melawan terorisme dan keamanan negara.
Jerman merusak citra
Hingga kini Jerman belum melontarkan tuduhan resmi terjadap Ahmed Mansour terkait penahanannya. Semua pihak masih menunggu penjelasan resmi aparat kehakiman di Berlin. Aparat hukum di Jerman kini harus membuktikan, penangkapan wartawan Al Jazeera itu harus berdasar landasan hukum yang benar, dan bukan membantu sebuah rezim yang membungkam kebebasan pers atau kelompok oposisi politik serta bermotif keagamaaan.
"Kehakiman di Berlin dalam bentuk apapun tidak boleh menjadi pembantu sebuah rezim di Kairo yang menerapkan hukum secara sewenang-wenang," ujar Franziska Brantner.anggota parlemen dari Partai Hijau. Jika lembaga kehakiman di Berlin terbukti terlibat dalam praduga semacam itu, berarti citra Jerman sebagai sebuah demokratis akan runtuh. "Bukan hanya di Mesir melainkan di bagian luas negara-negara Arab," tegas anggota parlemen Jerman itu.