1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penantian Pengungsi Palestina Yang Tak Berujung

11 September 2008

Jutaan pengungsi Palestina tersebar diberbagi kamp penampungan dikawasan Timur Tengah. Kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya, ibarat " mimpi buruk" yang tak berkesudahan.

Tentara Libanon berpatroli di kamp pengungsi Palestina Nahr al Bared, setelah terjadi bentrokan bersenjata di kawasan itu.Foto: AP

Nasib pengungsi Palestina tak kunjung habisnya dibicarakan. Mereka yang terusir dari tanah airnya, sejak berdirinya negara Yahudi, Israel, masih tetap mengimpikan suatu hari kelak dapat kembali ke kampung halamannya. Sekarang para pengungsi Palestina tersebar di berbagai wilayah dan negara di Timur Tengah; seperti di Jalur Gaza, Tepi Barat Yordan, Yordania dan Suriah. Mereka ditampung di kamp-kamp pengungsi. Salah satu diantaranya di kamp pengungsi Naher el Bared, yang terletak di bagian utara kota pelabuhan Libanon, Tripolis.

Kamp pengungsi ini, pertengahan tahun lalu, mendapat sorotan internasional, karena di kamp ini terjadi pertempuran sengit antara tentara Libanon dengan kelompok Fatah al Islam. Dilaporkan, ratusan orang tewas, kampnya porak peranda dan sekitar 30 ribu penghuni kamp melarikan diri, dan terpencar di berbagai wilayah di Libanon. Penghujung tahun 2007 lalu, diusahakan untuk kembali mengumpulkan mereka, dengan membangun tempat penampungan baru di dekat bekas kamp Naher al Bared. Pemerintah Libanon membangunnya dengan dana yang diperoleh dari negara donor .

Nasib pengungsi Palestina ibarat rentangan sejarah yang panjang. Ketika ambruknya kerajaan Osmania, Persatuan Bangsa Bangsa mengalihkan Palestina sebagai mandat Inggris. Pada tahun 1946, Palestina tidak mendapatkan kemerdekaan seperti wilayah tetangganya. Selain warga Arab, sejak ratusan tahun di wilayah Palestina terdapat banyak pemukiman Yahudi.

Tahun 1947, warga Arab menolak rencana pembagian yang diajukan PBB, yakni berdirinya sebuah negara Yahudi dan sebuah negara Arab. Setahun kemudian, lewat peperangan, didirikan negara Israel. Sejak itu, sejarah pengungsian warga Palestina dimulai. Waktu itu, sekitar 750 ribu warga Palestina mengungsi. Jumlah ini kemudian bertambah, dengan pecahnya perang enam hari pada tahun 1967. Dalam peperangan tersebut, Israel menduduki wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan. Akibatnya ratusan ribu warga Palestina melarikan diri. Badan PBB yang menangani masalah pengungsi Palestina UNWRA, saat ini mencatat sekitar 3,7 juta pengungsi Palestina. Disamping terdapat 1,5 juta pengungsi lainnya yang tidak tercatat.

Setelah terjadi pertempuran antara kelompok Fatah al Islam dengan tentara Libanon, pertengahan tahun 2007, kamp pengungsi Naher al Bared yang didirikan tahun 1949, hanya tinggal puing-puing. Kamp yang dulu dihuni oleh sekitar 30 ribu pengungsi Palestina seperti tumpukan reruntuhan. Kampnya telah ditutup. Demikian diungkapkan pihak militer Libanon. Para wartawan dilarang memasuki kawasan ini. Sementara itu, untuk menampung pengungsi yang kembali, didirikan kamp sementara di dekat bekas kamp Naher al Bared. Dan kamp sementara inipun hanya bisa dikunjungi bila didampingi seorang tentara Libanon.

Kamp penampungan sementara itu memberikan gambaran tersendiri. Disamping sebuah bangunan sekolah yang baru, yang dana pembangunannya disumbangkan pemerintah Jerman bulan Maret lalu, terlihat pemukiman pengungsi dengan menggunakan peti kemas. Diantara peti kemas yang disulap menjadi tempat tinggal, terdapat gang kecil, yang digunakan oleh para penghuninya ,sebagai tempat mencuci dan menjemur pakaian. Pemukiman ini terdiri dari 300 peti kemas, yang dirancang Badan PBB Urusan Pengungsi Palestina UNRWA dan dibiayai oleh Uni Eropa.

Ziad Eshtawi, yang berusia 52 tahun, salah seorang dari 219 anggota keluarga yang tinggal di tempat penampungan sementara ini mengungkapkan: "Disini lebih baik, ketimbang di Beddawi. Paling tidak kami memiliki ruangan dan tempat mandi sendiri. Sementara di Beddawi kami tinggal di sebuah gedung sekolah, yang hanya memiliki satu atau dua tempat mandi, bagi penghuninya yang begitu banyak. Kami harus antri, kalau mau mandi. Sekarang kami masing-masing memiliki kamar mandi. Memang tidak baik, tapi jauh lebih lumayan bila dibandingkan ketika kami ditampung di sebuah sekolah di Beddawi."

Air untuk mandi dan mencuci diperoleh dari tanki yang disediakan. Dan tentu saja airnya tidak layak untuk diminum. Untuk keperluan minum, harus membelinya dari luar. Penempatan pengungsi yang berasal dari kam Naher al Bared, diatur sesuai dengan jumlah anggota keluargan. Keluarga yang terdiri sampai lima orang, menempati sebuah peti kemas yang telah dimodifikasi untuk tempat tinggal. Dan bila anggota keluarganya lebih dari enam orang, untuk mereka disediakan dua peti kemas. Aliran listrik diperoleh dari generator, selama 4 jam pada sore hari dan lima jam pada malam hari.

Meskipun disediakan fasilitas yang agak memadai, tapi Mohamad Amsha seorang penghuninya, masih tetap merindukan untuk dapat kembali kekamp lama, Naher al Bared, di mana mereka telah tinggal sejak beberapa generasi. Kamp itu dijanjikan akan dibangun kembali oleh pemerintah Libanon.

"Saya harus menunggu sampai semua kerusakannya diperbaiki. Tentara mengatakan kepada kami, mungkin di kamp yang lama masih terdapat bom yang belum meledak. Makanya kami tidak diperbolehkan memasukinya. Saya dan anak-anak saya lahir di kamp tersebut. Segera setelah ada kesempatan saya akan kembali ke kamp tersebut."

Mohamad Amsha mengetahui bahwa dalam konferensi negara donor untuk Libanon, bulan Juni lalu yang diselenggarakan di Wina, Austria, dijanjikan pemberian dana untuk membangun kembali kamp pengungsi Naher al Bared.

"Saya berharap, uang dari Wina cepat datang. Dengan demikian pembangunan kembali dapat dimulai. Diperlukan buldozer untuk menyingkirkan reruntuhan rumah. Dan ini sangat mahal."

Memang ada rencana untuk membangun kembali kamp pengungsi Naher el Bared yang mengalami kehancuran akibat pertempuran antara kelompok Fatah al Islam dengan tentara Libanon, pertengahan 2007. Demikian diungkapkan Sari Hanafi, sosiolog di Universitas Amerika di Beirut. Tapi yang penting katanya, adalah menyingkirkan terilosirnya kamp pengungsi Palestina. Untuk itu, bila kelak, kamp pengungsi Naher al Bared benar-benar akan dibangun kembali, di kawasan itu akan dibangun sistem pembungan air kotor, yang dihubungkan dengan sungai di dekatnya, Sungai Naher al Bared, yang menjadi nama kamp ini.

Selain itu sarana di kamp kelak akan dikaitkan dengan kawasan di sekitarnya. Dalam hal ini antara lain, penyediaan air dan aliran listrik. Apalah kelak kamp pengungsi Naher al Barad benar-benar akan kembali dibangun? Suatu pertanyaan juga mencuat di kalangan pengungsi Palestina yang ditampung di Libanon. Bagi mereka, kembali ke kamp Naher al Bared adalah impiannya. Mereka mengatakan, sebelum bermimpi untuk kembali ke Palestina,, sekarang bermimpi untuk dapat kembali ke kamp lama, Naher al Bared. (ar)

.