Pencari Suaka Rajut Hidup Baru Berkat Perusahaan Sosial
25 Oktober 2018
Ulet, gigit, pantang menyerang, inilah resep pencari suaka ini yang kini sukses merajut hidup baru, setelah lari dari kekerasan di negara asalnya. Perusahaan-perusahaan sosial mendukung terwujudnya impian mereka.
Iklan
Muhammad Nabaei melarikan diri dari negara asalnya Iran ketika pemerintah menindak keras aksi protes besar-besaran tahun 2009. Pria berusia 33 tahun itu terbang ke Indonesia dan membeli tiket ke Australia lewat seorang penyelundup manusia.
Setelah penantian bertahun-tahun di pusat penahanan,. tdak sampai tahun 2012, statusnya di negeri kangguru itu kemudian diakui sebagai pengungsi.
Lalu ia pindah ke Melbourne. Di sana dia menghabiskan tiga tahun berusaha mencari pekerjaan - akhirnya mendapatkan pekerjaan dari perusahaan makanan yang secara aktif mencari orang-orang seperti dia.
"Bagi kami, pencari suaka dan pengungsi merupakan keuntungan yang sangat kompetitif, " papar Chris Ennis, manajer CERES Fair Food, dimana Nabaei bekerja sebagai pengawas produksi.
"Orang-orang yang melarikan diri ke Australia melalui transit di beberapa, melalui pusat-pusat detensi, harus gigih, cerdik dan ulet," ujar Ennis kepada kantor berita Reuters.
Ennis mengatakan Fair Food, yang menghasilkan sekitar 1.000 kotak buah dan sayuran organik per minggu untuk pelanggan di sekitar Melbourne. Perusahaan ini mempekerjakan migran yang berasal dari tanduk Afrika, Timur Tengah, Sri Lanka.
"Pikirkan di mana perang itu terjadi, dan kita punya orang seperti mereka," ujarnya. "Pada saat mereka tiba di sini, mereka jadi sosok yang kuat. Sehingga kami punya tenaga kerja yang penuh denganorang-orang yang kuat, gigih dan cerdas. Dan para pekerja kami menginginkan stabilitas, jadi mereka juga betah bekerja di sini," ujarnya lebih lanjut.
Mencari laba, berbagi manfaat bagi orang banyak
Fair Food adalah yang terbesar dari 18 perusahaan bisnis-sosial yang mencari laba namun memberi manfaat bagi masyarakat. Mereka bekerja di taman dan lahan pertanian yang dibangun di atas bekas penggalian dan pembuangan sampah di Melbourne.
Awalnya usaha ini mulai sebagai organisasi kecil yang idealistik dengan mengandalkan relawan dan hibah. Pada tahun 1992, pemerintah negara bagian setempat mendadak memotong pendanaannya hingga 90 persen dalam sekejap. Pendiri organisasi tersebut kemudian memutuskan untuk jalankan usaha dengan mandiri secara finansial.
Segera, mereka membuka dua kafe, pasar, penitipan anak, program pendidikan sekolah, yang menghasilkan omset 10 juta Dolar Australia per tahun. Lebih dari 400.000 orang datang ke taman mereka setiap tahunnya.
Polisi PNG Sapu Bersih Pusat Penampungan di Pulau Manus
Ratusan pencari suaka menolak meninggalkan fasilitas penahanan milik Australia di Pulau Manus karena khawatir akan keamanan mereka. Polisi PNG kini memasuki kamp untuk 'mengusir' mereka.
Foto: Reuters/D. Gray
Kosongkan pulau
Mulai 31 Oktober 2017 seharusnya sudah tidak ada lagi penghuni di Pulau Manus Papua Nugini (PNG), sesuai keputusan pengadilan. Namun ratusan orang masih tetap bertahan hingga Kamis (23/11) pagi, Kepala Inspektur Polisi Dominic Kakas menyebutkan 50 polisi dan petugas imigrasi memasuki pusat penahanan untuk mengevakuasi para pengungsi yang tersisa.
Foto: Reuters/AAP
Polisi: bukan penggerebekan
"Tidak ada razia atau penggerebekan. Yang sedang berlangsung adalah negosiasi dengan para pengungsi," ujar Kakas kepada AP. "Ini bukanlah proses penggusuran. Kami memberitahukan mereka untuk pindah karena tersedia air, makanan dan penampungan yang layak di seberang sana."
Foto: Reuters/AAP//Refugee Action
Pencari Suaka: makanan dan air kami dirampas
Penghuni kamp di Pulau Manus mengklaim bahwa aparat kembali menggasak persediaan darurat milik pengungsi. "Mereka memorak-porandakan makanan kami dan merusak tempat tinggal kami. Mereka juga merusak tangki air kami," ungkap salah seorang pencari suaka kepada Reuters.
Foto: Reuters/AAP
Jatuh tempo
Batas waktu untuk mengosongkan kamp tersebut telah berlalu, namun aparat tidak mengambil tindakan apapun hingga November. Persediaan makanan, air dan listrik telah dihentikan sejak Pulau Manus resmi ditutup pada 31 Oktober lalu. Untuk mendesak para pengungsi meninggalkan kamp, kini polisi mengosongkan tangki air dan memindahkan tempat penampungan.
Foto: Reuters/AAP
PBB: krisis kemanusiaan
Kelompok Advokasi Pusat Pencari Suaka (ASRC) mencatat lebih dari 150 pria yang berada di pusat penahanan tersebut sedang sakit dan tidak memiliki akses terhadap obar-obatan maupun P3K. Sebelumnya PBB menggambarkan kondisi di Manus sebagai "krisis kemanusiaan tanpa kejelasan", dan mendesak pemerintah Australia untuk segera mengambil tindakan demi mencegah bencana kemanusiaan.
Foto: Reuters/AAP
Sejarah kelam
Pusat penahanan pengungsi diselimuti sejarah kelam yang sarat kekerasaan. Pencari suaka asal Iran, Reza Berati terbunuh — dan sekitar 69 pencari suaka turut terluka — ketika razia berlangsung tahun 2014. Dua warga lokal, seorang penjaga keamanan dan pengawai lembaga kemanusian 'Salvation army' dihukum akibat insiden ini.
Foto: Reuters/Thanus
Para pencari suaka
Pencari suaka ke Austaralia umumnya warga Afganistan, Sri Lanka, Iran dan Irak yang kerap datang menggunakan kapal nelayan dari Indonesia menuju Pulau Christmas di Australia. Mereka yang datang akan ditahan untuk diproses. Jika diakui sebagai penggungsi maka mereka akan di tempatkan di kamp-kamp yang terletak di PNG seperti di Pulau Manus dan Nauru, bukan Australia.
Pusat penahanan ditutup karena pengadilan PNG memutuskan bahwa fasilitas penahanan tersebut tidak sesuai konstitusi dan rencananya akan dikembalikan kepada PNG. Sebagai alternatif, tiga lokasi akomodasi yang baru disiapkan di kota Lorengau, PNG, seperti terlihat pada gambar di atas.
Foto: Reuters/AAP
Para demonstran: keadilan untuk pengungsi
Kebijakan imigrasi Australia yang keras menuai protes dari dalam & luar negeri. PM Australia Malcolm Turnbull mengkritik agar pengungsi di Manus tidak mengambil kesempatan mencari suaka. "Mereka pikir... dengan cara ini mereka bisa menekan pemerintah untuk menerima mereka di Australia. Kami tidak akan ditekan. Kami tidak akan melonggarkan imigrasi kepada penyelundup." (Ajit Niranjan/Ed:ts/hp)
Foto: Reuters/AAP/J. Castro
9 foto1 | 9
Menumbuhkan sektor ekonomi
Laba Fair Food ternyata lebih dari empat juta Dollar AS per tahun dan semua keuntungan itu diputar balik ke CERES, yang memungkinkan keuangan organisasi tersebut menjadi 95 persennya didanai sendiri.
"Orang-orang sangat senang menerima hibah. Mereka berpikir hibah itu putaran ‘uang yang bersih‘. Tetapi pada dasarnya, hibah adalah pajak dari bisnis, yang beberapa di antaranya mungkin jadi lahan pencucian uang melalui pemerintah," ujar Ennis.
"Namun kita bisa juga berbisnis dengan mencari uang sendiri secara etis dan mendanai usaha itu sendiri," tambahnya lebih lanjut.
Perusahaan sosial populer di Australia, yang memiliki sejarah sektor nirlaba yang kuat dan koperasi.
Jo Barraket, direktur Pusat Dampak Sosial di Universitas Swinburne mengatakan Australia kini memiliki lebih dari 20.000 perusahaan sosial dan sektor ini berkembang pesat. Satu dari tiga perusahaan berumur kurang dari lima tahun.
Penelitian timnya telah menemukan bahwa perusahaan sosial memainkan peran vital dalam menciptakan ekonomi yang lebih inklusif.
Di negara bagian Victoria, di mana CERES berada, Barraket telah menemukan bahwa perusahaan sosial mempekerjakan dua kali lebih banyak perempuan sebagai manajer dan mempekerjakan banyak penyandang disabilitas dalam bisnis mereka.
Selain itu, perusahaan sosial ini mempekerjakan rata-rata 12 persen dari pengangguran Australia dan dua persen masyarakat adat, untuk masa kerja jangka panjang.
"CERES adalah bisnis yang diakui di sektor perusahaan sosial, dikenal untuk menunjukkan kemungkinan hasil yang dicapai jika masyarakat berusaha untuk menciptakan lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih baik dalam bentuk bisnis berkelanjutan, "kata Barraket lewat email.
Adapun Nabaei tidak punya rencana untuk berganti pekerjaan dalam waktu dekat. Tahun lalu, dia terbang ke Armenia menggunakan uang yang dia tabung dari pekerjaannya itu. Di sana, di negara ketiga yang aman yang berbatasan dengan Iran, dia memeluk orang tuanya untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir sejak mereka berpisah.
"Saya sangat senang bekerja di sini. Saya benar-benar bahagia sekarang dengan hidup saya," katanya.
Pengungsi Terpaksa Hidup di Hutan dalam Cuaca Dingin
Ratusan pengungsi berkemah di kawasan perbatasan Serbia-Korasia, dalam upaya memasuki Uni Eropa. Kondisi mengenaskan berusaha mereka atasi dengan berbagai cara. Reporter DW melaporkan dari Šid, Serbia.
Foto: Dimitris Tosidis
Tidak termasuk gerombolan
Dragan (tengah) adalah imigran dari Macedonia. Ia bersembunyi di hutan-hutan dekat perbatasan Serbia-Kroasia, ketika ia berusaha menyeberang ke Eropa Tengah dengan imigran dari negara Arab lainnya. Dragan, bersama seorang imigran dari Cina tidak termasuk ratusan pengungsi Suriah dan Afghanistan yang juga terdampar di Šid, Serbia.
Foto: Dimitris Tosidis
Merencanakan langkah berikutnya
Pengungsi dari Afghanistan di atas atap sebuah pabrik yang tidak digunakan lagi di Šid, yang mereka jadikan tempat tinggal sementara. Selama bernaung di situ mereka membuat rencana berikutnya untuk mencapai negara Eropa barat.
Foto: Dimitris Tosidis
Melangkah dengan risiko nyawa
Imigran berjalan di atas jalur kereta api yang menghubungkan Serbia dan Kroasia di dekat Šid, di bagian utara Serbia. Menurut laporan, dua orang ditabrak kereta setelah mereka tertidur di rel kereta api.
Foto: Dimitris Tosidis
Tinggal di "rimba"
Lebih dari 150 orang bersembunyi di apa yang disebut "rimba". Yaitu daerah dengan semak rimbun di dekat rel kereta api yang menghubungkan Serbia dan Kroasia. Sebagian besar dari mereka sudah pernah berusaha menyeberang ke Eropa Barat dengan berbagai cara. Misalnya: dengan bantuan penyelundup, sendirian, berkelompok, naik truk atau bersembunyi di gerbong kereta.
Foto: Dimitris Tosidis
Membersihkan diri
Ibrahim dari Afghanistan mandi dengan air dari sungai yang dingin, di bawah jembatan dekat kota Šid di Serbia. Ratusan pengungsi hidup dalam kondisi mengenaskan, tanpa fasilitas yang hidup yang layak.
Foto: Dimitris Tosidis
Sarapan di atas rel
"Dapur Tanpa Nama" dibuka oleh sekelompok sukarelawan yang membagikan sarapan dan menyediakan bantuan untuk pengungsi yang "terdampar" di perbatasan Serbia-Kroasia. Pemerintah sudah tidak membantu mereka lagi.
Foto: Dimitris Tosidis
Mungkin lain kali
Jadali (22) dari Afghanistan baru kembali lagi ke Šid setelah gagal dalam usahanya masuk ke Eropa Barat. Ia dipenjara dua hari di Kroasia, kemudian dibebaskan lagi. Menurutnya, aparat berwenang memperlakukannya dengan kasar.
Foto: Dimitris Tosidis
Bersyukur jika bisa makan
Menjelang malam, dua orang memasak makanan untuk mereka yang berkumpul di bekas pabrik dekat perbatasan Serbia. Ratusan pengungsi terancam kelaparan juga kekerasan yang bisa timbul kapan saja.
Foto: Dimitris Tosidis
Jalur tetesan air mata
Seorang imigran berjalan mendekati kereta barang. Ia akan berusaha bersembunyi di gerbong yang kosong dan berusaha mencapai negara Eropa lainnya.
Foto: Dimitris Tosidis
Perhentian berikutnya di Eropa Barat?
Mereka yang bisa membayar, menggunakan metode "penyelundupan" dengan membayar taksi yang membawa mereka menyeberangi Kroasia. Ongkos sekali perjalanan sekitar 1, 200 Euro, atau 19 juta Rupiah. Penulis: Dimitris Tosidis (ml/yf)