Jumlah penduduk Bumi pada 15 November 2022 melewati angka 8 miliar. Pakar keberlanjutan mengatakan, gaya hidup dengan konsumsi berlebihan akan menjadi masalah besar bagi iklim dan lingkungan.
Iklan
Pada 15 November, populasi dunia melampaui 8 miliar orang, delapan kali lipat dari jumlah populasi pada 1803. Pertumbuhan populasi juga makin lama makin cepat, dengan pertumbuhan satu miliar penduduk hanya dalam waktu satu dekade terakhir.
"Pertumbuhan populasi dunia adalah kisah sukses yang luar biasa," kata Sara Hertog, seorang pakar populasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tingkat harapan hidup rata-rata juga meningkat secara global selama 25 tahun terakhir. Penurunan tingkat kelahiran, akses lebih baik ke layanan reproduksi, keluarga berencana dan lebih banyak kesempatan pendidikan untuk perempuan menjadi kunci keberhasilan itu.
Tetapi keberhasilan ini harus dibayar mahal. Laporan terbaru PBB menunjuk pada pertumbuhan penduduk sebagai salah satu sumber utama peningkatan emisi gas rumah kaca dan perusakan ekologi.
"Hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, polusi, penggundulan hutan, kekurangan air dan makanan – ini semua diperparah oleh jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat,” kata LSM Population Matters yang berbasis di Inggris. PBB memproyeksikan populasi global pada tahun 2050 akan mencapai 9,7 miliar, dan pada tahun 2100 mencapai 11 miliar orang.
Saat Penduduk Bumi Membludak
Kelebihan penduduk dipandang sebagai salah satu ancaman lingkungan terbesar planet Bumi. Tapi masalahnya: karena terlalu banyak orang - atau terlalu banyak konsumsi?
Foto: picture-alliance/dpa/P. Kneffel
Tahun 2050: ada 9,7 miliar manusia
Jumlah penduduk Bumi mendekati 7,5 miliar orang atau lebih dari dua kali lipat populasi global tahun 1960. Kemajuan dalam kedokteran dan kesehatan berpengaruh pada lebih banyak anak yang tumbuh sampai dewasa dan lebih banyak manusia mencapai usia hingga di atas 90 tahun. Pada tahun 2050, PBB memperkirakan akan ada 9,7 miliar manusia hidup di planet Bumi.
Foto: picture-alliance/dpa
Semakin butuh sumber daya
Lebih banyak manusia berarti semakin dibutuhkannya sumber daya. Bahan bakar berkelanjutan dibutuhkan untuk menyediakan energi. Sementara, bahan baku juga semakin diperlukan lebih untuk memproduksi barang yang manusia gunakan sehari-hari.
Foto: Colourbox
Praktik pertanian menguras kesuburan
Pertanyaannya: Apakah kita bisa memberi makan populasi yang terus tumbuh? Sebagai catatan, praktik pertanian industri juga memiliki dampak lingkungan yang parah – yang akhirnya mengancam ketahanan pangan dengan menguras kesuburan lahan. Sementara, terdapat kesenjangan pola pangan antara kaya dan yang miskin.
Foto: picture-alliance/newscom/A. Jenny
Kebutuhan akan air bersih
Pertumbuhan penduduk meningkat, tapi pasokan air bersih semakin langka. Sementara itu, seperti tercatat dari data Bank Dunia, pertumbuhan penduduk tercepat terjadi di negara-negara miskin yang bukan cuma kekurangan air bersih, namun juga kekurangan akses pendidikan dan kesehatan.
Faktornya beragam: akses kontrasepsi, budaya atau ekonomi. Menurut Bank Dunia, rata-rata perempuan di Niger, salah satu negara termiskin di dunia, punya 7 anak. Di beberapa wilayah sub-Sahara Afrika, rata-rata perempuan punya lima anak. Bandingkan dengan Portugal yang rata-ratanya 1,2 anak atau Uni Eropa yang rata-rata punya 1,5 anak.
Foto: AP
Emisi karbon
Namun harus dilihat lagi perbandingannya. Menurut Bank Dunia, rata-rata per orang di Niger, bertanggung jawab untuk 0,1 metrik ton emisi karbon setiap tahunnya. Sementara, di Portugal misalnya, emisi karbon per kapita: 4,4 metrik ton. Itu berarti seorang anak yang lahir dari ibu di Portugal cenderung memiliki dampak iklim setara dengan 44 anak-anak di Niger.
Foto: picture-alliance/dpa
Jejak ekologi
Global Footprint Network menghitung berapa luas lahan untuk hidup, --termasuk sumber daya alam yang diperlukan - di berbagai negara. Banyak faktor jadi penilaian di dalamnya, termasuk konsumsi energi, makanan, kayu, dan ruang untuk infrastruktur dan menyerap limbah, termasuk emisi karbon. Rata-rata orang Jerman, misalnya, memiliki jejak ekologi 5,3 hektar, sementara di Kenya hanya 1 hektar.
Foto: picture-alliance/AA/R. Canik
Persoalannya: jumlah konsumsi yang besar
Jadi mungkin masalahnya bukan berapa banyak jumlah penduduk, melainkan berapa banyak konsumsi kita. Sementara populasi negara-negara kaya di Eropa dan Amerika Utara mengkonsumsi sumber daya Bumi yang tidak berkelanjutan, negara-negara seperti Niger malah dilanda kemiskinan. Di seluruh dunia, hampir 800 juta orang tidak mendapatkan makan yang cukup.
Foto: Fotolia/anna liebiedieva
Jangan konsumsi berlebihan
Bukan hanya memperlambat pertumbuhan penduduk. Solusinya juga terletak pada bagaimana manusia mengkonsumsi sesuatu dengan bertanggung jawab dan tidak berlebihan. Diperlukan perubahan gaya hidup yang dramatis. Kurangi produksi daging, misalnya. Sayur-sayuran yang bisa dikembangkan berkelanjutan secara ekologis, bisa mencukupi populasi global dengan 9,7 miliar penduduk.
Foto: picture-alliance/dpa
Perubahan gaya hidup
Perlu digalakkan perubahan gaya hidup yang sadar lingkungan - dengan makan bahan pangan yang lebih berkelanjutan, hemat energi, belanja secukupnya, biasakan mendaur ulang. Meski tajk bisa dipaksakan secara hukum, kesadaran ini dipandang lebih rasional ketimbang pembatasan jumlah anak.
Foto: Fotolia/TrudiDesign
Pemaksaan=pelanggaran HAM
Memaksa orang untuk memiliki anak sedikit saja, bukan hanya merupakan kebijakan yang banyak ditentang tapi etikanya menjadi perdebatan kontroversial. Cina bergerak untuk menghapus aturan hukum hanya boleh punya satu anak. Di belahan lain dunia tindakan untuk mengurangi angka kelahiran dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Foto: Getty Images/AFP/M. Ralston
Pentingnya kesetaraan jender
Salah satu hal yang juga patut diperhatikan adalah kesetaraan jender, termasuk soal pendidikan dan perluasan hak bagi perempuan – termasuk hak atas tubuh dan organ reproduksi mereka sendiri. Negara dimana perempuan memiliki lebih banyak pilihan dan punya kesetaraan dengan laki-laki cenderung memiliki tingkat kelahiran rendah. ed: R. Russel (ap/as)
Foto: UNICEF/UNI46382/Isaac
12 foto1 | 12
Negara-negara terkaya mengkonsumsi paling banyak
Sara Hertog mengatakan kepada DW, kebiasaan konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan akan menjadi masalah pada populasi yang meledak, terutama di negara-negara berkembang.
Iklan
"Peningkatan pendapatanlah yang jauh lebih penting, daripada pertumbuhan populasi, dalam mendorong peningkatan konsumsi dan polusi terkait," katanya. Dia menunjuk negara-negara terkaya di dunia, di mana pertumbuhan populasi telah melambat atau berbalik arah, tetapi mereka menggunakan sebagian besar sumber daya per kapita.
Negara-negara berkembang yang lebih miskin di Afrika dan sebagian Asia, yang populasinya diperkirakan akan meningkat paling banyak dalam beberapa dekade mendatang, hanya bertanggung jawab atas sebagian kecil dari emisi global dan penggunaan sumber daya. Menurut Global Footprint Network, jika setiap orang di planet ini hidup seperti warga di Amerika Serikat, kita membutuhkan sumber daya setidaknya dari lima Bumi. Sedangkan jika kita hidup seperti penduduk di Nigeria, kita hanya menggunakan 70% sumber daya dunia setiap tahun.
Sylvia Lorek, profesor ekonomi konsumen di Universitas Helsinki dan ketua Sustainable Europe Research Institute di Jerman, mengatakan semuanya bergantung pada cara kita berbagi sumber daya. "Kita telah hidup di luar kemampuan kita cukup lama," katanya dan menambahkan bahwa kita tidak akan dapat mempertahankan cara hidup seperti ini lebih lama lagi. Terutama jika orang bergaya hidup nyaman seperti di Barat saat ini, akan semakin sulit bagi Bumi meregenerasi sumber daya hayati—flora, fauna, air bersih, dan tanah—yang diperlukan manusia untuk bertahan hidup.
Untuk memenuhi kebutuhan populasi dunia saat ini, LSM lingkungan Global Footprint Network memperkirakan, kita membutuhkan 175% sumber daya ekologi dunia yang tidak berkelanjutan setiap tahun.
Belajar 'hidup dengan baik dengan lebih sedikit'
Sylvia Lorek menekankan, banyak dari konsumsi berlebihan itu sebenarnya bukan kebutuhan mendasar, tetapi tertanam dalam cara hidup masyarakat yang dibentuk dengan nilai-nilai yang kita lihat dipromosikan. Di media, periklanan, film, dan TV, "pola pikir ini dipicu.., bahwa kesejahteraan finansial adalah yang utama," katanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Sylvia Lorek dan peneliti lain melakukan riset bagaimana orang yang sudah menikmati standar hidup yang relatif nyaman dapat belajar untuk "hidup dengan baik dengan lebih sedikit", jadi tanpa mengorbankan kualitas hidup mereka. Para peneliti fokus pada tiga bidang yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi dan konsumsi sumber daya kita: cara kita makan, cara kita hidup, dan cara kita bergerak.
Rekomendasi mereka: beralih ke pola makan yang lebih nabati dan mengurangi konsumsi produk hewani dan beralih dari ketergantungan pada perjalanan udara dan transportasi bermotor individual. Ini juga berarti merestrukturisasi kota kita untuk membangun gedung-gedung yang lebih efisien dalam penggunaan energi.