1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pendukung Soeharto Masih Banyak?

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
2 Desember 2024

Wacana untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mengemuka. Periode pemerintahan Prabowo jadi kesempatan mewujudkannya, mengingat antara Soeharto dan Prabowo pernah ada hubungan personal.

Mantan Presiden Soeharto dalam wacana gelar kepahlawanan.Foto: picture-alliance/CPA Media Co. Ltd

Bila keputusan administratif gelar pahlawan nasional (bagi Soeharto) kelak benar-benar turun, mungkin semuanya sudah menjadi kehendak sejarah, dan bangsa ini harus menerima keputusan itu, semata-mata karena takdir. Surat keputusan bisa saja turun, namun gelar itu sebenarnya tidak "bulat”, karena lebih karena adanya dukungan kekuasaan (dalam hal ini rezim Prabowo), bukan berdasar aspirasi  sejati mayoritas rakyat.

Apa yang bisa kita baca dari selalu munculnya wacana tersebut adalah, bahwa pendukung Soeharto ternyata masih banyak, salah satunya adalah Partai Golkar, dan kini masih ditambah lagi Partai Gerindra selaku the rulling party. Dan bila  sudah berbicara tentang Soeharto beserta lingkaran Cendana, tentu dalam segala kegiatan dan ikhtiar menggapai tujuan, ada dukungan dana besar, bahkan mungkin tidak terbatas.

Mensos banteng terakhir

Proses administrasi gelar pahlawan nasional adalah domain Kementerian Sosial, yang kebetulan saat ini dipimpin duet mantan aktivis Generasi 1990-an, yakni Saifullah Yusuf (Mensos) dan Agus Jabo Priyono (Wakil Mensos). Gus Ipul (panggilan akrab Mensos) dan Mas Agus Jabo, kiranya bisa bersikap benar-benar obyektif terhadap figur Soeharto. Seandainya masih ada pro-kontra di masyarakat, jangan ragu-ragu pula untuk membatalkan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Kendati dalam lingkaran yang berbeda, baik Gus Ipul maupun Mas Agus Jabo, di masa lalu dikenal aktivis gerakan mahasiswa yang menentang rezim Soeharto. Gus Ipul masuk dalam lingkaran seniman cum aktivis Mas Eros (Djarot), yang bersama-sama meriung di tabloid Detik, yang kemudian dibredel rezim Orde Baru pada Juni 1994, bersama majalah Tempo. Sementara Mas Agus Jabo masuk dalam lingkaran Budiman Sudjatmiko, sekumpulan aktivis generasi 1990-an yang dikenal beraliran kiri.

Dalam menjelaskan siapa Soeharto, diperlukan narasumber yang kompeten, artinya yang benar-benar melihat, bagaimana perilaku politik Soeharto saat berkuasa. Bila publik bertanya pada narasumber yang terafiliasi pada Partai Golkar atau Partai Gerindra, tentu Soeharto akan dibela habis-habisan. Dalam hal ini termasuk pula Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dimana kementerian yang dipimpinnya banyak  mengurus teks sejarah. Dalam beberapa kali kesempatan, Fadli Zon juga mengklaim dirinya sebagai mantan aktivis pergerakan mahasiswa, hanya beda posisi, kalau Fadli Zon adalah aktivis mahasiswa yang mendukung Soeharto.

Semoga saja Gus Ipul dan Mas Agus Jabo tidak "masuk angin”, tetap bersikap konsisten selaku mantan aktivis gerakan mahasiswa. Kita teringat pada Dipo Alam, mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI (DM UI), yang menggantikan Hariman Siregar pasca-Malari. Bagaimana kekuasaan bisa mengubah karakter seseorang, sebagaimana pernah terjadi pada Dipo Alam.

Ketika menjadi Ketua Umum DM UI, Dipo Alam melakukan tindakan simbolik dalam melawan Soeharto,  dengan cara mengajukan nama Ali Sadikin (saat itu  Gubernur DKI Jakarta), sebagai calon presiden menjelang Sidang Umum MPR RI tahun 1978. Saat itu Dipo membuat desain kaos yang bernada dukungan terhadap Ali Sadikin,  dengan bertuliskan: dia yang terbaik, kita butuh orang yang terbaik

Dengan berjalannya waktu, Dipo bisa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Saat menjadi Sekretaris Kabinet periode kedua Presiden SBY (2009-2014), Dipo Alam ternyata bersikap keras terhadap gerakan masyarakat sipil yang bersikap kritis terhadap kekuasaan. Hilang sudah jejak Dipo Alam sebagai mantan aktivis mahasiswa yang dulu  menentang rezim Soeharto. Semoga saja mantan aktivis gerakan mahasiswa yang tergabung dalam kekuasaan hari ini tetap konsisten dalam melawan Soeharto, utamanya Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan.

Dalam upaya memahami siapa Soeharto saat masih berkuasa selama 32 tahun (1966-1998), publik (terutama bagi Generasi Z dan Alpha) perlu memperoleh informasi yang berimbang. Beberapa nama bisa diajukan di sini, seperti Hariman Siregar (tokoh Malari 1974),  dan dua tokoh gerakan mahasiswa di Bandung tahun 1978, yaitu Heri Akhmadi (Ketua Umum DM ITB, terakhir Dubes di Jepang) dan S Indro Tjahjono (Ketua Umum DM ITB, aktif di pergerakan masyarakat sipil). Bila nama-nama yang diberikan ruang untuk menjelaskan sosok Soeharto, publik akan mendapatkan perspektif yang lebih luas.

Soeharto dalam kenangan

Satu lagi narasumber yang bisa menjelaskan secara detail bagaimana wajah rezim Soeharto,  adalah Pramoedya Ananta Toer, melalui karyanya Nyanyi Seorang Bisu.  Karya Pramoedya (Pak Pram) merupakan ringkasan yang baik untuk menggambarkan bagaimana wajah rezim Soeharto saat berkuasa, yang dikenal sangat otoriter dan mengekang kebebasan berpendapat. Singkatnya, tidak ada ruang bagi "suara” lain. Karya Pak Pram ini berisi catatan lepas saat dirinya menjadi tapol di Pulau Buru pada dekade 1970-an, berisi kumpulan surat-surat kepada anak-anaknya dan teman-temannya di Jawa.

Sebagaimana digambarkan oleh Pak Pram, di Pulau Buru otoritarianisme rezim Soeharto tetap terasa, melalui aparat para penjaga. Kita bisa melihat melalui buku Pak Pram, bahwa Pulau Buru ibarat "Orde Baru kecil”. Bagaimana para pasukan yang bertugas menjaga para tapol, mencari dana tambahan untuk kepentingan pribadi dengan cara memeras tenaga tapol. Anggota pasukan itu biasa menjual hasil panen padi para tapol, dan balok kayu dari hutan setempat. Panen padi dimaksud adalah hasil jerih payah tapol, yang tujuan semula  untuk  sekadar  bertahan hidup di tanah pengasingan, yang ternyata hasilnya melimpah.

Dalam catatan Pak Pram, bila dia bisa bertahan hidup di Pulau Buru, sebagian adalah dukungan moril dari Jenderal Soemitro, yang selaku Pangkopkamtib sempat berkunjung ke Buru pada akhir tahun 1973. Pada sebuah kesempatan Jenderal Soemitro menasihati Pak Pram: hadapi semua seperti main layang-layang, angin kencang ulur benang, tak ada angin tarik benang.

Ucapan Jenderal Soemitro tersebut bisa ditafsirkan, bila seorang jenderal saja bisa tidak tahan melihat kondisi tapol di Pulau Buru, artinya betapa beratnya situasi yang dihadapi tapol, khususnya Pak Pram. Mungkinkah sebuah kebetulan belaka, bila tak lama setelah bertemu Pak Pram, Soemitro harus tersingkir dari lingkaran kekuasaan Orde Baru.

Peristiwa kedua yang bisa menjelaskan siapa Soeharto, adalah saat terbitnya Supersemar (Maret 1966), yang acapkali dianggap sebagai tonggak mulai berkuasanya Soeharto secara penuh. Dalam upayanya memperoleh Supersemar, Soeharto ternyata tidak cukup bernyali untuk langsung berhadapan dengan Bung Karno.

Soeharto memang tidak tampak di depan mata Presiden Soekarno, karena Soeharto memang tidak ikut ke Bogor. Soeharto mengirim tiga jenderal (Amir Machmud, Basuki Rachmat dan M Jusuf), sementara Soeharto sendiri tetap di Jakarta. Tiga jenderal itulah yang ditugaskan untuk "mengepung” Soekarno, yang mengingatkan kita pada strategi "supit urang” (jepitan udang), yang dulu pernah diterapkan TNI dalam Palagan Ambarawa (Desember 1945), yakni strategi mengepung  tentara Inggris (Sekutu) dari segala penjuru. Mirip yang dialami Bung Karno, tekanan dari tiga jenderal menjadikan Bung Karno seolah terkepung, hingga terbitlah naskah yang menjadi penanda berkuasanya Soeharto.

Pengiriman tiga jenderal itu sendiri  bisa dibaca sebagai  kamuflase (baca: tipuan), mengingat  dua jenderal di antaranya, yakni Amir dan Basuki, sebelumnya dikenal sebagai perwira Soekarnois garis keras. Bung Karno sendiri seperti terkecoh, sama sekali tidak menyangka, bila dua jenderal yang dianggap sebagai pendukungnya tersebut, sebenarnya telah "balik kanan” menjadi pendukung Soeharto. 

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya