1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaQatar

Pendukung Timnas Jerman Desak Qatar Hapus “Hukuman Mati”

James Thorogood
21 September 2022

Konferensi HAM yang digelar Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) jelang Piala Dunia 2022 menjelma menjadi tribunal bagi FIFA dan Qatar. Terutama tuan rumah disudutkan lantaran dugaan pelanggaran HAM.

Pertemuan yang turut mengundang praktisi politik, serikat buruh, organisasi HAM, dan kelompok suporter
Foto: Julius Nieweler/DFB

"Saya adalah pria dan mencintai pria lain. Ini adalah hal normal. Jadi, mohon biasakan diri Anda dengan situasi ini atau silahkan keluar dari sepak bola. Karena prinsip paling dasar dari olahraga ini adalah bahwa sepak bola untuk semua,” kata perwakilan suporter Jerman, Dario Minden, kepada Duta Besar Qatar Mohammed bin Saud al-Thani.

Pertemuan selama dua jam itu digelar Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) untuk "memperdalam diskusi” mengenai isu "olahraga dan hak asasi manusia.”

Minden diundang sebagai pengakuan terhadap kesetaraan gender di industri sepak bola. Selama perjumpaan itu, dia mengajak pemerintah Qatar untuk mendukung "penghapusan hukuman mati dan hukuman terkait identitas seksual dan gender,” kata dia.

Duta Besar Qatar di Jerman, Abdullah bin Mohammed bin Saud al-ThaniFoto: Julius Nieweler/DFB

Kemampuan al-Thani berdiplomasi diuji dalam pertemuan yang turut mengundang praktisi politik, serikat buruh, organisasi HAM, dan kelompok suporter itu. Dia mengakui situasi hak asasi manusia di negaranya "belum sempurna atau berada di level 100 persen. Prosesnya adalah sebuah perjalanan,” jawabnya.

Namun, jawaban itu urung meredam hujan kritik terhadap pemerintah Qatar, yang disebut oleh Direktur Wartawan tanpa Batas (RSF) Christian Mihr, sebagai "monarki absolut yang otoriter dan berusaha menutupi” pelanggaran HAM dengan berinvestasi di bidang olahraga, media, dan pengawasan digital.

Peran dan tanggung jawab

Hujan kritik banyak mengarah ke Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA). Presidennya, Gianni Infantino, oleh Minden digambarkan sebagai seorang "bos mafia.”

Direktur Tim Nasional Jerman, Oliver Bierhof, mengakui pihaknya "berusaha menyeimbangkan” peran dan tanggung jawab DFB. "Kita harus berhati-hati dalam mencari titik tengah antara tanggung jawab dan kesadaran sebagai manusia,” kata dia.

"Di sisi lain, kami akan pergi ke sana sebagai timnas demi mewakili Jerman dan berambisi besar untuk bisa sukses.” 

Sentimen Bierhoff ikut diamini Lise Klaveness, Presiden Federasi Sepak Bola Norwegia. Dalam Kongres FIFA di Doha, Maret silam, dia mengritik betapa status tuan rumah diberikan "dengan cara yang tidak bisa diterima dan konsekuensi yang tidak bisa diterima pula.”

"Hak asasi manusia, kesetaraan, dan demokrasi, semuanya adalah prinsip utama sepak bola,” imbuhnya. "FIFA harus mengatasi masalah ini.”

Merawat prinsip kesetaraan

Dalam pertemuan di DFB Campus, Frankfurt am Main, Klaveness mengakui dunia sepak bola masih menghadapi "jalan terjal” menuju kesetaraan. Dia terutama mengkhawatirkan suporter LGBTQ+ yang ingin menonton Piala Dunia secara langsung di Qatar pada November mendatang.

Klaveness menuntut "jaminan yang lebih baik” dari pemerintah agar penonton "tidak terancam bahaya karena Piala Dunia dan karena ketegangan yang dibawa Piala Dunia ke negara tuan rumah.”

Hal senada diungkapkan Minden yang menjabat wakil ketua kelompok suporter, Unsere Kurve. Di depan Duta Besar Qatar, al-Thani, dia secara terang-terangan mengecam FIFA yang membiarkan Qatar "membeli” Piala Dunia.

Kepada penguasa Qatar, Minden mengingatkan betapa asas keadilan dan keterbukaan, yang juga diperjuangkan kaum LGBTQ+, sudah menjadi bagian integral dalam industri sepak bola di Eropa. Dan hal ini wajib dipatuhi. 

"Kami tidak akan membiarkan Anda merusaknya, tidak peduli seberapa kayanya Anda. Anda dipersilahkan bergabung dengan komunitas sepak bola internasional dan menggelar turnamen besar, tapi dalam olahraga ini, Anda harus mematuhi aturannya.”

(rzn/ha)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait