Menurut studi baru PBB, otoritas AS disebut menahan lebih dari 100.000 anak-anak migran. Manfred Nowak, penulis utama studi itu, mengecam pemisahan anak-anak dari keluarga mereka, yang dilakukan oleh pemerintahan Trump.
Iklan
Setidaknya 330.000 anak ditahan karena masalah imigrasi di seluruh dunia, dan Amerika Serikat (AS) sendiri bertanggung jawab atas hampir sepertiga dari jumlah itu, ujar Manfred Nowak, pengacara hak asasi manusia (HAM) di PBB, Senin (18/11).
Nowak adalah penulis utama dari sebuah studi global baru PBB tentang anak-anak yang tidak mendapatkan kebebasan. Menurut temuan timnya, AS saat ini menahan sekitar 103.000 anak di pusat-pusat penahanan. Sebagian dari anak-anak yang ditahan ini masih berusia di bawah umur tanpa pendamping. Sebagian lagi ditahan bersama dengan keluarganya, dan ada juga yang telah dipisahkan dari kerabatnya.
Pemerintah AS tidak menanggapi kuesioner yang dikirimkan oleh tim Nowak. Namun, ia mengatakan bahwa angka itu didasarkan pada data resmi terbaru dan data tambahan yang "sangat terpercaya." Kepada kantor berita AFP, ia juga mengatakan bahwa angka 103.000 adalah penilaian yang "konservatif."
"Penahanan anak-anak karena migrasi tidak akan pernah dianggap bahwa hal itu (dilakukan) demi kepentingan terbaik anak," kata Nowak kepada wartawan di Jenewa, Swiss. "Selalu ada alternatif lain yang tersedia," tambahnya.
Menurut temuan dari tim Nowak, otoritas AS menahan "jauh lebih banyak" anak-anak dibandingkan dengan negara lain yang datanya tersedia. AS disebut menahan sekitar 60 dari setiap 100.000 anak, baik karena migrasi ataupun masalah lainnya seperti penahanan prapersidangan. Sebagai perbandingan, Kanada menahan sekitar 14 atau 15 anak dan negara-negara Eropa bagian barat yang menahan lima dari setiap 100.000 anak.
AS juga masih menjadi satu-satunya negara di dunia yang tidak meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, sebuah perjanjian PBB yang diadopsi pada tahun 1989.
"Tentu saja memisahkan anak-anak dari orang tua mereka seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Trump, bahkan anak-anak kecil di perbatasan Meksiko-AS, dilarang oleh Konvensi Hak-Hak Anak," ujar Nowak. "Saya menyebutnya sebuah perlakuan yang tidak manusiawi terhadap anak-anak dan orang tua mereka," tambahnya.
Anak-anak dari Prancis masih ditahan di Irak dan Suriah
Pihak Washington masih belum merespon temuan ini.
Para peneliti PBB juga menemukan bahwa setidaknya 29.000 anak-anak, terutama yang terkait dengan kelompok ISIS, saat ini ditahan di Suriah dan Irak, termasuk sejumlah besar warga Prancis.
PBB berencana akan mengeluarkan data spesifik penahanan anak dari negara-negara ini pada Selasa (19/11)
gtp/ae (AFP, AP, dpa, Reuters)
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.