1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Risiko Demensia Bagi Tuna Aksara

Kristie Pladson
14 November 2019

Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa orang yang tidak bisa membaca dan menulis berpotensi mengidap demensia. Kemungkinannya hampir tiga kali lebih besar.

Bundestagswahl 2009 | Wahlen in Bremen | Stimmabgabe mit Wahlhelfer
Foto: Imago/epd

Penelitian ini dipimpin oleh penulis Jennifer J. Manly, Ph.D dari Universitas Columbia, Sekolah Tinggi Dokter dan Ahli Bedah Vagelos dan diterbitkan pada Rabu dalam edisi online jurnal American Academy of Neurology.

Demensia memiliki karakteristik seperti kehilangan ingatan kronis, perubahan kepribadian, atau gangguan nalar. Demensia paling sering terlihat pada orang tua.

"Membaca dan menulis memungkinkan orang untuk terlibat lebih banyak dalam aktivitas yang menggunakan otak, seperti membaca koran dan membantu anak atau cucu dengan pekerjaan rumah mereka," kata Manly. "Riset sebelumnya menunjukkan bahwa aktivitas seperti itu dapat mengurangi risiko demensia. Penelitian terbaru kami memberikan lebih banyak bukti bahwa membaca dan menulis mungkin menjadi faktor penting dalam menjaga otak tetap sehat.", tambah Manly.

Baca juga : Menelusuri Ilmu Linguistik Terapan di Jerman

Risiko besar terkena demensia

Para peneliti mengamati tingkat demensia di antara orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah yang tinggal di Manhattan Utara. Pesertanya banyak berasal dari daerah pedesaan di Republik Dominika, dimana mereka memiliki keterbatasan akses untuk mengenyam pendidikan.

983 peserta yang diamati berusia rata-rata 77 tahun dengan pengalaman sekolah lebih kurang empat tahun. Di awal penelitian, mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang bisa membaca dan kelompok yang tidak bisa membaca. Kemudian mereka diberikan ujian medis dan tes memori dan berpikir. Aktivitas ini kemudian diulang dalam evaluasi tindak lanjut setiap 18 bulan atau 2 tahun.

Penelitian menunjukkan resiko demensia pada orang buta huruf lebih tinggi

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa 35% dari 237 peserta yang buta huruf sudah memiliki demensia sejak awal penelitian, dan 18% dari kelompok peserta yang bisa membaca. Setelah menyesuaikan dengan berbagai variabel, seperti tingginya kemungkinan bahwa mereka yang tidak bisa membaca lebih miskin atau berpotensi meninggal lebih cepat, para peneliti mengatakan hal ini sejalan dengan risiko demensia yang muncul tiga kali lebih besar pada mereka yang tidak bisa membaca.

Sementara dari peserta yang pada awal penelitian tidak mengidap demensia, hasil evaluasi tindak lanjut yang dilakukan empat tahun setelahnya mengungkapkan, bahwa 48% dari peserta yang tidak bisa membaca ternyata terkena demensia, dibandingkan hanya 27% dari kelompok yang bisa membaca. Setelah menyesuaikan dengan variabel yang sama, penelitian menunjukkan bahwa di tahap ini peserta yang tidak bisa membaca atau menulis memiliki risiko dua kali lebih besar mengidap demensia.

Masa depan bebas demensia?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan bahasa tidak menjadi satu-satunya bidang yang mendapatkan manfaat dari kemampuan membaca dan menulis.

"Penelitian kami juga menemukan bahwa melek huruf berkaitan dengan tingginya skor dalam tes berpikir dan ingatan secara keseluruhan, tidak hanya skor dalam hal membaca dan bahasa," ujar Manly. "Hasil ini menunjukkan, bahwa membaca dapat memperkuat otak dalam banyak hal sehingga mencegah atau menunda timbulnya demensia."

Laporan tersebut juga menunjukkan, bahwa dengan melakukan investasi yang berinisiatif membantu orang untuk membaca dan menulis akan dapat membantu mengurangi tingkat demensia. (gtp/ag)