1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Peneliti Tsunami: Peringatan Dini Tak Seharusnya Dihentikan

29 September 2018

Widjo Kongko, peneliti tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan, menimbang sumber tsunami susulan, seharusnya BMKG menahan peringatan dini di Palu setidaknya satu jam.

Indonesien Nach dem Erdbeben und dem Tsunami in Palu, Central Sulawesi
Foto: picture alliance/AP

Tsunami yang diakibatkan gempa berkekuatan 7,7 SR yang mengguncang Sulawesi Tengah, menghantam Palu dan menyapu bangunan dan jembatan utama, dan menyebabkan jatuhnya ratusan korban di kota berpenduduk lebih dari 380.000 jiwa itu. Jumlah korban jiwa yang terdata hingga berita ini diturunkan berjumlah 384 orang, dan data yang terhimpun masih hanya dari Palu.

Banyak yang mempertanyakan mengapa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengakhiri peringatan dini tsunami setelah gempa bumi utama berakhir sekitar setengah jam. Peneliti Widjo Kongko, mengatakan, seharusnya BMKG menahan peringatan dini Tsunami setidaknya satu jam.

Berikut wawancara DW Indonesia dengan Widjo Kongko:

DW: Apa faktor utama penyebab tsunami di Donggala dan Palu?

Widjo Kongko: Saat ini para ahli masih berspekulasi, karena sesar (patahan) yang menyebabkan gempa tersebut memang menuju ke arah laut, dan arah ini belum terpetakan secara jelas. Ada kemungkinan juga ada sesar lainl. Tetapi kita belum bisa menganalisa lebih jauh terkait dengan sesar apa yang ada di laut itu karena belum ada penelitian lebih lanjut.

Peneliti tsunami Widjo KongkoFoto: Privat

Mekanisme gempa tersebut adalah sesar mendatar dan biasanya tidak menyebabkan tsunami yang cukup kuat. Indonesia punya pengalaman di tahun 2012 ada gempa 8,4 -8,7 SR di Semelu agak jauh, di Padang, menghasilkan tsunami hanya 30 cm atau 40 cm, jadi tidak besar. Tapi gempa Palu ini magnitudo-nya lebih kecil, namun menghasilkan tsunami yang cukup besar sampai 2-3 meter. Ini mengejutkan karena perhitungannya hanya setengah sampai satu meter. Mungkin memang ada mekanisme penyebab tsunami lain. Yang lebih penting dari sains menurut saya, pemicu tsunami ini apa hanya single source atau ada mekanisme lain. Dengan mengetahui itu kita bisa lebih waspada ke depan.

Melihat peristiwa sebelumnya, gempa dan tsunami juga pernah terjadi di Donggala dan Palu, apakah pemerintah tidak menyiapkan mitigasi yang lebih baik?

Ini tantangan bagi kita semua. Di Indonesia undang-undang kebencanaan baru saja setelah bencana Aceh dibuat. Kita selalu adaptif saja setelah bencana, kita menerima bahwa negeri kita memang penuh bencana. Ini lah tantangan kita. Kita banyak mengalami dan kita banyak belajar tentang bencana tersebut. Dalam artian sebagai cerita-cerita rakyat. Bahkan tsunami di beberapa daerah memiliki nama sendiri. Setelah 1900 ada tiga kali tsunami terjadi di Donggala dan Palu. Peneliti telah mempelajari itu, ada catatan dan studi tentang sesar Palu-Koro. Studi dan catatan ini hendaknya bisa diimplementasikan dalam kebijakan dan program pemerintah. Saya dan para peneliti lain mendorong pemerintah kshususnya BMKG dan BNPB unutk bersinergi dengan instansi lain dalam memperbaiki penanganan dan mitigasi bencana ke depan.

10 tahun setelah gempa besar di Aceh tahun 2004, kita sudah buat undang-undang kebencanaan dan kita sudah punya pendeteksi gempa di tiap provinsi dan di banyak kabupaten, karena Indonesia memiliki banyak potensi gempa. Tetapi program-program tersebut menurut saya belum menunjukkan hasil yang signifikan. Seperti di Lombok bencana sebelumnya. Pemerintah daerah masih banyak membutuhkan bantuan untuk program mitigasi dan lainnya. Begitu juga di Donggala dan Palu. Kita perlu menyoroti tentang Early Warning System yang menurut saya belum berjalan optimal. Contohnya, tidak berjalannya alat pasang surut di Palu. Kita hanya punya sensor yang ada di Mamuju, yang cukup jauh. Masih banyak yang harus diperbaiki pemerintah dalam hal ini. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai kegagalan pemerintah.

Secara teknis apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Para peneliti selalu lakukan kajian-kajian terkait dengan sumber gempa dan tsunami. Dari tahun 2012 sampai tahun 2017 sudah ada buku mengenai gempa di Indonesia. Sesar yang tadinya sekitar 80-an sudah diperbarui jumlahnya menjadi 250. Masih banyak yang kita kaji karena masih banyak yang belum kita ketahui. Saran saya kita harus melakukan peringatan dini dengan tidak hanya mengandalkan sensor yang ada di darat tapi juga laut. Kita pernah memasang sensor laut namun terkendala oleh vandalisme dan sebagainya. Tapi seharusnya, ke depan dengan sistem yang lain bisa dilakukan, seperti dengan fiber optik yang lebih terjamin dari sisi keamanan. Sensor di laut Ini harus ada dan bisa diintegrasikan dengan Early Warning Systemyang di sentralisasikan, lalu tiap ada gempa berpotensi tsunami, kajiannya bisa di kirim ke daerah atau pantai yang berpotensi tsunami. Jadi informasi bisa lebih cepat tersampai.

Terkait penghentian peringatan dini tsunami setelah gempa Palu, bagaimana menurut anda?

Hasil kajian saya dengan suatu model, tsunami itu harusnya sampai di sekitar pantai Donggala dan Palu dalam waktu lima sampai 10 menit. Kemudian sampai di Mamuju 30 hingga 35 menit. Dan model ini sudah divalidasi dengan data di lapangan. Tetapi setelah tsunami  yang dianggap dari gempa utama itu tidak kunjung muncul, lalu peringatan dini dihentikan. Dan ternyata tsunami datang tak lama setelah itu. Memang bencana tsunami ini bisa jadi disebabkan oleh tidak hanya satu sumber. Analisa saya setelah gempa pertama, terjadi rekahan. Setelah ada gempa susulan beberapa kali yang cukup besar, rekahan itu jadi longsoran di bawah laut yang kemudian menyebabkan tsunami. Hal ini masih perlu dikaji dan perlu waktu. Namun, menurut saya penghentian peringatan dini itu terlalu cepat. Seharusnya bisa ditahan hingga satu jam.  Karena kemungkinan ada sumber tsunami lain yang mengikuti dan dapat menyebabkan tsunami.

yp/ts