Orangutan Tapanuli yang Terancam Proyek Pembangunan PLTA
12 Juli 2018
Penemuan bayi kembar orangutan Tapanuli yang terancam punah dirayakan komunitas konservasi di seluruh dunia. Namun pembangunan PLTA Batang Toru mengancam keasrian ekosistem milik satwa langka tersebut.
Iklan
Tanpa diduga, dua staf organisasi konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), berhasil mengabadikan bayi kembar orangutan Tapanuli di hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Fenomena tersebut tergolong langka, terutama untuk orangutan Tapanuli yang jumlahnya saat ini ditaksir hanya berkisar 800an.
"Kejadian bayi kembar yg lahir di alam liar ini adalah baru pertama kalinya untuk orangutan di Sumatera", kata Suryadi, Jurubicara SOCP, dalam pesan tertulis kepada DW. "Ini akan dapat mendorong para ilmuwan untuk meneliti lebih jauh lagi tentang spesies yang DNA-nya 97% mirip dengan manusia. Jadi tentu dunia akan lebih menyadari lagi betapa pentingnya konservasi orangutan untuk manusia sendiri."
Kendati baru resmi diumumkan sebagai spesies baru tahun 2017 silam, orangutan Tapanuli yang hanya hidup di ekosistem Batang Toru langsung masuk dalam daftar satwa terancam punah dan tergolong yang paling langka di dunia.
"Hal ini semakin terancam dengan adanya rencana pembangunan PLTA ditengah-tengah habitat ku Tapanuli ini di Batang Toru, Sumatera Utara." kata Suryadi lagi.
Ancaman Pembangunan
PLTA Batang Toru rencananya akan mulai beroperasi tahun 2022. Proyek yang dikerjakan PT. North Sumatera Hydro Energy ini dianggap berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan pada kawasan hutan primer seluas 1.400 hektar yang menjadi habitat orangutan Tapanuli.
Kepada situs berita lingkungan Mongabay, Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, mengeluhkan PLTA Batang Toru hanya beroperasi jika terjadi puncak kebutuhan listrik. "Laporan analisis mengenai dampak lingkungan yang dibuat perusahaaan, mengabaikan keberadaan spesies yang terancam punah beserta dampaknya terhadap masyarakat yang tinggal di hilir sungai Batang Toru. Lokasinya tidak cocok untuk bendungan PLTA besar."
Menurut Walhi selain ekosistem orangutan Tapanuli, PLTA juga akan mengancam pasokan air untuk sekitar 1.200 hektar lahan pertanian milik masyarakat sekitar.
Bukti Kekejaman Manusia Pada Orangutan
Rumah mereka dibabat dan dibakar pebisnis kelapa sawit. Para induk dibunuh pemburu liar, sedangkan anak-anak orangutan diperdagangkan secara ilegal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kenalkan, Ini Dina…
Dina masih bayi saat diselamatkan petugas konservasi dari aksi perdagangan ilegal. Di Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera, banyak anak-anak orangutan tumbuh tanpa ibu, karena induk mereka dibunuh pemburu liar. Anak-anaknya diperjualbelikan.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tumbuh tanpa ibu
Orangutan biasanya sering tinggal dengan induknya sampai mereka berusia enam atau tujuh tahun. Mereka benar-benar tergantung pada ibu mereka selama dua tahun pertama kehidupan mereka, dan disapih pada usia sekitar lima tahun. Di pusat konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programm (SOCP), Sumatera Utara, mereka dirawat.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Butuh waktu lama
Oleh karenanya, orangutan tanpa induk di pusat konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programm (SOCP), Kuta Mbelin, Sumatera Utara ini dididik untuk bisa bertahan hidup di hutan - sebuah proses yang memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Jauhi predator
Mereka juga belajar bagaimana membangun sarang di pohon-pohon dan menjauhi jangkauan predator. Pemburu liar umumnya beroperasi di ekosistem Leuser yang luasnya 2,5 juta hektar, yang menjadi habitat sekitar 6.700 orangutan, dan juga badak, gajah, harimau dan macan tutul.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Rumah mereka dibabat
Penebangan hutan di Singkil, Leuser, yang merupakan rumah bagi orangutan dan satwa liar lainnya. Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit selama ini dianggap sebagai biang keladi kepunahan satwa langka termasuk orangutan, disamping menggilanya perburuan liar.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Operasi
Operasi dilakukan terhadap orangutan yang terluka di di konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programm (SOCP), Kuta Mbelin, Sumatera Utara.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ditembaki senapan angin
Ini hasil rontgen seekor orangutan bernama Tengku yang diselamatkan dari perburuan liar. Di tubuhnya bersarang 60 peluru senapan angin.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Pakai kutek
Staf SOCP membubuhi kutek di kuku seekor orangutan yang baru selesai dioperasi dan masih kesakitan, agar orangutan tersebut dapat teralihkan pikirannya dari rasa sakit yang diderita pasca operasi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Dilepas kembali ke alam liar
Setelah melewati masa perawatan di SOCP, adaptasi di lokasi konservasi, dan dianggap siap, mereka mulai dilepaskan kembali ke hutan dan dipantau. Perpisahan antara petugas yang merawat mereka dengan kasih sayang tentu bukan perkara mudah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Terancam kehidupannya
Orangutan Sumatera maupun Kalimantan, saat ini berada dalam status konservasi sangat terancam. Berdasarkan status yang dilabelkan Lembaga Konservasi Satwa Internasional IUCN, orangutan Kalimantan dikategorikan spesies genting (endangered), sementara orangutan Sumatera dianggap lebih terancam lagi nasibnya karena masuk kategori kritis (critically endangered). Penulis: Ayu Purwaningsih (vlz)