Penerima Nobel: Mengapa Manusia Bisa Begitu Kejam?
Brenda Haas
11 Desember 2024
Menerima penghargaan Nobel Sastra, Han Kang dalam ceramahnya membahas tentang bagaimana kekerasan dan cinta telah menginspirasi karya-karyanya, seperti "The Vegetarian" dan "Human Acts." Simak pemikirannya.
Iklan
Bersama para peraih Nobel di bidang fisika, kimia, fisiologi atau kedokteran dan ekonomi, penulis Korea Selatan Han Kang menerima penghargaan bergengsi ini dalam sebuah upacara yang diadakan di Aula Konser Stockholm di Swedia, pada tanggal 10 Desember — tanggal peringatan kematian Alfred Nobel -dermawan asal Swedia, penemu dinamit dan pendiri Yayasan Hadiah Nobel.
Han Kang telah menyampaikan ceramah Penghargaan Nobelnya pada tanggal 7 Desember, sebelum upacara resmi penyerahan hadiah itu berlangsung.
Dalam ceramahnya yang berjudul "Light and Thread," sang penulis melakukan kilas balik meninjau dorongan yang telah membimbing perjalanan sastranya.
Kembali ke buku puisi yang ia tulis pada usia 8 tahun, Han Kang melihat kesinambungan yang kuat, antara hasrat awalnya terhadap kata-kata dan karyanya saat ini: "Di mana cinta? Cinta ada di dalam dadaku yang berdebar-debar. Apa itu cinta? Cinta adalah benang emas yang menghubungkan antara hati kita," demikian bunyi puisinya.
Ia kemudian melanjutkan dengan menunjukkan bahwa di seluruh karyanya, yang meliputi "The Vegetarian" atau "Human Acts," ia mengeksplorasi pertanyaan tentang mengapa manusia begitu kejam, dan apa artinya "menjadi bagian dari spesies yang disebut manusia."
Mengapa dunia begitu keras dan menyakitkan? Namun, bagaimana dunia bisa seindah ini? -- adalah dua pertanyaan yang menjadi inti tulisannya.
Eksplorasi hebat Han Kang terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang membuat Akademi Nobel di Swedia memberikan pengakuan atas prestasi penulis Korea Selatan itu dengan menganugerahkan penghargaan tertinggi di dunia dalam bidang sastra, dengan mencatat "prosa puitisnya yang intens yang menghadapi trauma historis dan mengungkap kerapuhan kehidupan manusia."
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Dari puisi ke prosa
Han Kang yang berusia 53 tahun berasal dari keluarga berlatar belakang sastra, dengan ayahnya seorang novelis yang disegani. Ia memulai kariernya pada tahun 1993 dengan menerbitkan sejumlah puisi di majalah Literature and Society, sementara debut prosanya muncul pada tahun 1995 dengan kumpulan cerita pendek "Love of Yeosu."
Iklan
Ia kemudian mulai menulis karya prosa yang lebih panjang dan meraih terobosan internasional besar lewat "The Vegetarian." Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Korea pada tahun 2007, novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2015 dan memenangkan Penghargaan Man Booker International setahun kemudian.
Novel ini mengisahkan tentang Yeong-hye, seorang ibu rumah tangga yang suatu hari memutuskan untuk berhenti makan daging setelah mengalami serangkaian mimpi yang menggambarkan pembantaian hewan.
Pemenang Nobel Kontroversial: Yang Layak dan Tidak Layak Memperoleh
Hadiah Nobel sudah berulang kali menyebabkan terbelahnya opini publik dan menyulut debat sejak mulai diberikan tahun 1910. DW mengajak Anda untuk menengok kembali beberapa pemenang Nobel yang kontroversial.
Foto: AP
Pembuat Pupuk dan Senjata Kimia
Ilmuwan Jerman Fritz Haber dianugerahi Nobel untuk bidang kimia tahun 1918 dengan menemukan metode sintesa amoniak. Ini penting untuk produksi pupuk yang merevolusi produksi pangan global. Tapi Haber juga terkenal sebagai "bapak senjata kimia" karena mengembangkan gas beracun Chlor yang digunakan dalam Perang Dunia I.
Foto: picture-alliance/akg-images
Penemuan Mematikan
Ilmuwan Jerman lain, Otto Hahn (tengah), memenangkan Nobel bidang kimia tahun 1945 dengan penemuan fisi nuklir. Walaupun ia tidak pernah memakainya untuk kebutuhan militer, penemuannya langsung dikembangkan jadi bom atom. Komite Nobel rencananya menganugerahkan hadiah kepada Hahn tahun 1940, tapi ia baru memperolehnya 1945, beberapa bulan setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Foto: picture-alliance/G. Rauchwetter
Nobel bagi Terobosan Yang Ditolak Dunia
Ilmuwan Swiss Paul Müller dianugerahi hadiah Nobel Kedokteran tahun 1948, dengan temuannya DDT yang bisa membunuh serangga inang penyakit seperti malaria. Penggunaan pestisida itu selama Perang Dunia II dan setelahnya menyelamatkan jutaan nyawa. Tapi pakar lingkungan kemudian menyebutnya ancaman bagi kesehatan manusia dan satwa liar. Penggunaan DDT dalam pertanian kini dilarang secara global.
Foto: picture-alliance/dpa/UN
Nobel bagi Perdamaian Yang Gagal
Nobel Perdamaian tahun 1994 diberikan kepada tiga orang, Pemimpin Palestina Yasser Arafat, PM Israel Yitzhak Rabin dan Menlu Israel Shimon Peres. Tujuannya untuk mendorong proses perdamaian di Timur Tengah. Kenyataannya, perundingan gagal, dan Rabin dibunuh warga nasionalis Israel 1995. Seorang anggota komite tanggalkan jabatan karena tidak setuju keputusan itu, dan menyebut Arafat teroris.
Foto: Jamal Aruri/AFP/Getty Images
Terlalu Dini Dapat Hadiah Bergengsi
Banyak orang kaget ketika Barack Obama mendapat Nobel Perdamaian 2009, termasuk Obama sendiri. Belum setahun menduduki jabatan presiden AS, Obama dihargai karena "upaya gigihnya untuk memperkuat diplomasi internasional dan kerja sama antar semua pihak." Kritikus, dan sebagian pendukung Obama mengatakan penghargaan diberikan terlalu dini, karena ia belum sempat menunjukkan kemampuan.
Foto: picture-alliance/dpa
Dapat Anugerah Setelah Meninggal
Tahun 2011, hadiah Nobel diperoleh Jules Hoffman, Bruce Beutler dan Ralph Steinman untuk penemuan prinsip yang memicu pengaktifan sistem kekebalan tubuh. Masalahnya, Steinman meninggal beberapa hari sebelumnya akibat kanker. Menurut peraturan, hadiah tidak bisa diberikan setelah pemenang meninggal. Hadiah tetap diberikan dengan alasan, dewan pengambil keputusan tidak tahu tentang kematiannya.
Foto: picture-alliance/dpa/Rockefeller University
Kelalaian Terbesar
Hadiah Nobel Perdamaian terbukti kontroversial, karena siapa yang terpilih menerima dan yang tidak. Mahatma Gandhi, pemimpin perjuangan tanpa kekerasan di India, dinominasikan lima kali tapi tidak pernah memperolehnya. Geir Lundestad dari komite Nobel Norwegia, 2006, mengakui: "Dalam 106 tahun sejarah kita, kesalahan terbesar adalah tidak memberikan hadian Nobel Perdamaian kepada Mahatma Gandhi."
Foto: AP
7 foto1 | 7
Keputusannya untuk tidak makan daging disambut dengan beragam reaksi; di antaranya menjauhkannya dari keluarga dan masyarakat, dan akhirnya membuatnya terjerumus ke dalam kondisi seperti psikosis.
Sementara "Human Acts" (2014) menceritakan kisah para penyintas dan korban Pemberontakan Gwangju 1980 di Korea Selatan. Karena tumbuh besar di Gwangju, buku karya Han Kang ini menggambarkan peristiwa ketika ratusan pelajar dan warga sipil tak bersenjata dibunuh dalam pembantaian yang dilakukan oleh militer Korea Selatan.
Akademi Swedia menyatakan: "Dalam upaya menyuarakan para korban sejarah, buku ini menghadapi episode ini dengan aktualisasi brutal dan, dengan demikian, mendekati genre sastra kesaksian." Beberapa kritikus menyebut ini sebagai novel terbaik karya Han. Novel ini memenangkan Penghargaan Manhae untuk Sastra Korea pada tahun 2014 dan Penghargaan Malaparte Italia pada tahun 2017.
Dalam buku "The White Book" (2016), narator cerita yang tidak disebutkan namanya, pindah ke sebuah kota Eropa tempat ia dihantui oleh kisah kakak perempuannya, yang meninggal hanya dua jam setelah dilahirkan. Buku tentang duka cita, kelahiran kembali, dan kegigihan jiwa manusia ini masuk dalam daftar pendek Penghargaan Man Booker International pada tahun 2018.
Dalam penghargaannya, Akademi Swedia memuji karya Han karena "kesadaran uniknya tentang hubungan antara tubuh dan jiwa, yang hidup dan yang mati." Melalui "gaya puitis dan eksperimentalnya," kata akademi tersebut, Han "telah menjadi inovator dalam prosa kontemporer."
Luaskan Pikiran dan Diskusi Langsung dengan Penerima Hadiah Nobel
Penerima Hadiah Nobel tiap tahun berkumpul di acara Lindau Nobel Laureate Meetings. Tahun ini untuk ilmu fisiologi dan kedokteran. Ajang ini dinanti peneliti muda karena bisa berdiskusi langsung dengan penerima Nobel!
Foto: Arti Ekawati/DW
Lebih banyak keberagaman dalam sains
Pertemuan tahunan para penerima Hadiah Nobel atau Lindau Nobel Laureate Meetings tahun 2023 dibuka pada Minggu (25/06). Dr. Nkechi Madubuko, jurnalis dan sosiolog dari Universitas Giessen di Jerman tampil sebagai pembawa acara. Perhelatan tahunan ini berupaya untuk lebih menampilkan suara peneliti dari gender minoritas.
Foto: Arti Ekawati/DW
Dihadiri 40 penerima Hadiah Nobel
Tahun ini, perhelatan berfokus pada disiplin ilmu fisiologi dan kedokteran. Hadir sejumlah nama besar, seperti ahli saraf John O'Keefe penerima Nobel tahun 2014.Juga Emmanuelle Charpentier dari Max Planck Unit for the Science of Pathogens, Berlin, yang tahun 2020 dianugerahi Nobel Kimia bersama rekannya Jennifer Doudna karena menemukan ‘gunting genetik’ untuk mengedit DNA.
Foto: Arti Ekawati/DW
Dinanti peneliti muda untuk berdiskusi
Sekitar 600 peneliti muda dari seluruh dunia ikut hadir dalam pertemuan. Ini adalah kesempatan yang hanya mereka peroleh sekali seumur hidup. Peneliti muda berkesempatan mengikuti acara makan siang dengan idola mereka di dunia sains. Selain itu ada pula acara Science Walks di mana mereka bisa berjalan santai sambil mengobrol dengan penerima Nobel.
Foto: Arti Ekawati/DW
Agnes Rosarina Prita Sari: Sains untuk kesejahteraan masyarakat
Peneliti dari Indonesia juga hadir, salah satunya Agnes Rosarina Prita Sari atau Ita, dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM. "Covid-19 berhasil dituntaskan gara-gara vaksinasi, sedangkan vaksinasi itu berasal dari sains," ujarnya. Karena itu ia berpesan kepada sesama peneliti muda utamanya perempuan untuk menuntut ilmu setinggi mungkin untuk kesejahteraan masyarakat.
Foto: Arti Ekawati/DW
Antonia Morita Iswari Saktiawati: Tes TBC lewat e-Nose
Sebagai negara mitra, Indonesia diberi kesempatan mengadakan acara khusus, yang bertajuk "Indonesia in Overcoming COVID-19 Pandemic and Domestic Vaccine". Di acara ini, salah satu pembicara adalah Antonia Morita Iswari Saktiawati yang biasa disapa Morita. Selama pandemi, ia mengembangkan e-Nose untuk bisa mendeteksi COVID-19. Tapi awalnya alat ini dirancang untuk deteksi TBC.
Foto: Arti Ekawati/DW
E-Nose memantik rasa ingin tahu para peneliti
Presentasi Morita tentang e-Nose mengundang rasa ingin tahu peneliti dari berbagai negara, seperti Cina, Brasil, Kuba dan Arab Saudi. Pertanyaan utaman seputar efektivitas pendeteksian dan apakah e-Nose bisa diperkecil agar menjadi semacam alat portable tapi tetap efektif. "Ini menjadi tantangannya, kami sedang bekerja sama dengan departemen fisika kami untuk mewujudkan hal ini," ujar Morita.
Foto: Arti Ekawati/DW
Azzahra Asysyifa: Riset kanker payudara di usia muda
Usianya baru menginjak 23 tahun, Azzahra Asysyifa termasuk salah satu ilmuwan termuda di acara ini. Riset perempuan lulusan S1 dari Universitas Gadjah Mada ini adalah tentang bagaimana sel-sel kanker di payudara bermetastesis. Syifa, panggilan akrabnya, berharap bisa menjalin koneksi dan mendapatkan inspirasi dari sesama peneliti dan penerima Hadiah Nobel.
Foto: Arti Ekawati/DW
Alvin Santoso Kalim: Meneliti penyakit genetik di usus
Alvin Santoso Kalim saat ini sedang menempuh studi S3 di Kyusu University, Jepang. Di sana ia meneliti dengan membuat model hewan coba untuk penyakit bedah anak khususnya penyakit genetik gastrointestinal motility disorder atau gangguan pergerakan usus. "Penyakit ini cukup jarang, tapi secara medis banyak komplikasinya dan masih belum banyak pengetahuan tentang proses penyakit itu," kata Alvin.
Foto: Arti Ekawati/DW
Digelar di kota cantik di selatan Jerman
Lindau berbentuk seperti pulau di Danau Bodensee di selatan Jerman. Kota ini jadi salah satu tujuan wisata musim panas. Selain berlayar dengan kapal-kapal kecil seperti di foto, Lindau juga kerap disinggahi para pesepeda dan pejalan kaki untuk melepas lelah setelah menjalajahi wilayah pegunungan Allgäu yang tidak begitu jauh jaraknya.
Dengan kemenangannya, ia bergabung dengan delapan orang Asia lainnya yang sejauh ini telah memenangkan hadiah paling bergengsi kesuasteraan tersebut. Penyair, filsuf, komposer, dan visioner Rabindranath Tagore (1861-1941) adalah orang Asia pertama yang memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1913.
Didirikan pada tahun 1786 oleh Raja Swedia Gustav III, Akademi Swedia adalah badan yang bertanggung jawab untuk memilih peraih Nobel dalam bidang sastra. Terdiri dari 18 anggota — dikenal sebagai "De Aderton" (atau Delapan Belas) — dengan masa jabatan seumur hidup, anggotanya saat ini termasuk penulis, ahli bahasa, sarjana sastra, sejarawan, dan ahli hukum terkemuka.
Akademi ini telah lama dikritik, karena terlalu banyak memilih penulis Eropa dan Amerika Utara serta penulis laki-laki kulit putih di antara para penerima penghargaannya. Selain itu akademi ini juga diguncang oleh skandal #MeToo pada tahun 2018. Dari 120 penerima penghargaan, hanya 18 yang merupakan perempuan, dengan delapan di antaranya telah menerima penghargaan tersebut dalam 20 tahun terakhir.
Han Kang mengikuti jejak penulis Norwegia Jon Fosse, seorang penulis drama yang dikenal dengan gaya ”avant-garde”-nya. Penulis Prancis Annie Ernaux, yang dipuji oleh akademi karena "keberanian dan ketajaman kritisnya," adalah pemenang tahun 2022; dan pada tahun 2021, akademi ini memberikan penghargaan kepada penulis kelahiran Tanzania asal Inggris Abdulrazak Gurnah, yang karyanya mengeksplorasi pengasingan, kolonialisme, dan rasisme.