1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Rentenir Online Kian Menyesakkan, Penertiban Dinilai Telat

27 Oktober 2021

Korban berjatuhan dengan reputasi yang terlanjur rusak. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno menilai penertiban pinjaman online datang terlambat.

Ilustrasi dana cair
Ilustrasi dana cairFoto: Reuters

Sari, bukan nama sebenarnya, tak habis pikir berutang kepinjaman online bisa membuat hidup keluarganya hancur berantakan. Berawal dari saran seorang teman, perempuan berusia 40 tahun ini meminjam uang dari layanan pinjaman online (pinjol) sebesar Rp1,2 juta. Sari tertarik berutang karena prosesnya sangat mudah. Cukup foto selfie terbaru dan foto Kartu Tanda Penduduk (KTP), ia bisa dapat uang.

"Waktu itu ada cicilan KPR. Gaji suami dan saya dipangkas 40% karena pandemi sementara cicilan terus ada, jadi kami kurang untuk biaya hidup sehari-hari," kata Sari.

Tahu ada biaya administrasi dan bunga yang cukup besar, tapi Sari tak berpikir panjang. Ia kembali tergoda meminjam dengan jumlah uang yang lebih besar. Ia pun mulai meminjam uang sebesar Rp2,2 juta. Namun total dana yang ia terima hanya Rp1,5 juta dengan tenor selama 7 hari dan angsuran yang ditetapkan, serta denda per hari jika telat bayar.

Gali lubang tutup lubang, dari pinjol ke pinjol

"Awalnya saya masih bisa membayarnya tepat waktu namun makin ke sini utang dan bunganya semakin menggulung dan membengkak," ujar Sari kepada DW Indonesia. Guna menutup utang, Sari meminjam uang dari pinjol lain. Begitu terus, hingga setidaknya ada lebih dari 24 aplikasi pinjol yang ia pinjami.

"Niat saya membuka utang di pinjol lain agar utang saya tertutup, agar kredibilitas saya tetap baik dan tidak di-blacklist. Namun bukannya tertutup malah semakin besar. Seperti gali lubang tutup lubang," ujar Sari penuh penyesalan.

Musibah mulai datang di waktu penagihan. Saat itu, Sari masih memiliki utang di beberapa aplikasi pinjol. Pihak penagih, ujarnya, menggunakan data kontak yang ada ponsel Sari dan mulai meneror orang-orang terdekatnya.

Menurut beberapa rekan dan keluarga yang sempat diteror, ancamannya beragam mulai dari akan mendatangi rumah, kantor, melapor ke RT dan RW serta mempermalukan keluarga Sari.

Rp1 juta membengkak jadi Rp 10 juta

Penagihan utang dengan cara yang menguras emosi juga dialami Danny Kosasih, 34. Ia mengatakan cara para penagih utang pinjol lumayan mengenai mentalnya. Awal 2021, Danny meminjam uang ke pinjol sebanyak Rp1 juta, tapi dana yang diterima hanya Rp700 ribu dan ia harus membayar Rp1,3 juta dalam waktu beberapa hari.

Perkiraannya, setelah menerima honor ia akan bisa segera membayar uang pinjaman berikut bunganya. Namun ia keliru. Selama pandemi, ada saja cobaan silih berganti, dan ia mencoba meminjam uang lagi di pinjol kedua. Seminggu sebelum jatuh tempo pihak penagih sudah melemparkan kata-kata kasar.

Danny beruntung, total utang yang bergulir hingga jadi Rp10 juta ini akhirnya terbayarkan perlahan dengan bantuan dari paman dan saudara. Namun sampai hari ini, Danny masih saja menerima ancaman-ancaman dari nomor tak dikenal.

Penertiban dinilai sudah telat

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengatakan bahwa 33% dari sekitar 3.600 aduan yang masuk ke YLKI merupakan aduan terkait pinjol ilegal. Aduan tertinggi tentang cara penagihan, penggunaan data pribadi, dan besaran administrasi dan bunga.

"Semua jenis pinjol ada masalah di situ, terutama dalam hal transparansi. Konsumen tidak terinformasi dengan jelas berapa sih bunga dari pinjaman tersebut dan potongan administrasi. Jumlah yang diterima tidak sesuai dengan pinjaman yang tertera," kata dia. 

Inilah yang membuat jumlah total utang dengan mudah membengkak tanpa diketahui si peminjam. "Ini tentu saja melanggar karena berdasarkan UU perlindungan konsumen, konsumen berhak mendapatkan informasi jelas dan jujur sementara ini tidak ada informasi jelas, ini melanggar pasal 4 UUPK."

Menurutnya, penertiban pinjol layak diapresiasi, tapi sudah telat karena korbannya sudah terlanjur banyak. Ia berharap upaya menghapus pinjol dilakukan secara berkelanjutan untuk terus pengawasan terutama OJK. "Jangan hanya ditutup aplikasinya, tapi ditindak pelakunya," ujar Agus Sujatno kepada DW Indonesia. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya merilis terdapat lebih dari 22 ribu pengaduan masyarakat terkait pinjaman daring ilegal sepanjang periode Januari-Agustus 2021. OJK mendapati jumlah pinjaman daring melonjak selama masa pandemi COVID-19, dengan uang yang tersalurkan sepanjang periode Juni 2020 hingga Juni 2021 mencapai Rp221,56 triliun untuk 64,8 juta nasabah. Jumlah ini naik hampir 93% dibandingkan tahun sebelumnya.

Teror berujung hilangnya pekerjaan

Kembali ke Sari, penagih juga menerornya dengan membuat satu grup di aplikasi WhatsApp yang berisi ratusan kontak milik Sari. Di sana, penagih mengirimkan pesan berantai bernada ancaman disertai foto selfie Sari dilengkapi keterangan jumlah utangnya, serta data pribadi seperti alamat dan no HP. Akibatnya, nama Sari dan suaminya pun tercoreng di mata keluarga, rekan kerja, dan teman terdekatnya.

"Padahal di dalamnya ada kontak bos, keluarga dan rekan kerja sehingga saya merasa malu, foto kami disebar seperti DPO dan kriminal," ujar dia.

Puncaknya adalah ketika suami Sari kehilangan pekerjaan akibat berita pinjol yang sudah menyebar ke rekan kerjanya.

Setelah itu, Sari dan suami dinyatakan gagal bayar dan tak mampu lagi membayar utang dari pinjol. Total utang Sari saat itu, termasuk akibat bunganya pinjaman yang membengkak, mencapai sekitar Rp300 juta. Belum lagi utang dari aplikasi di ponsel suaminya yang jika dijumlahkan bisa dua kali lipat. Saat ini ia sedang berusaha menjual rumahnya untuk melunasi utang ke sanak keluarga lain.

Kredit kecil lunak dari bank, mungkinkah?

Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, menilai pinjam-meminjam uang menjadi kebutuhan dan tidak bisa dielakkan lagi. Namun menurutnya, maraknya pinjol ilegal menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas kredit kecil lunak dari bank pemerintah yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat.

Pinjol ilegal bisa dijerat hukum karena melanggar cara penagihan dengan cara yang memalukan peminjam. Seperti, menyebar gambar porno dan mempermalukan korban.

"Itu pidana dan bisa dikenai pencemaran nama baik. Dari sisi usaha pinjol juga tidak punya izin sehingga dia tidak punya hak untuk meminjamkan dan bunga yang tinggi melanggar kepatutan. Karena bunga harian itu sangat tinggi, seharusnya bunga bulanan," kata dia.

Oleh karena itu, ia menyarankan bank pemerintah segera mengambil alih pinjaman online dan memberikan akses kepada rakyat dalam meminjam uang dalam jumlah kecil

"Seharusnya negara juga memenuhi kebutuhan masyarakat yang kecil itu. Pinjaman di bawah Rp5 juta. Di satu sisi ada kebutuhan besar dari masyarakat bawah. Bank negara tidak bisa memenuhi kebutuhan itu," kata dia. (ae/as)

Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait